Sebagai wahyu yang dipandang begitu bernilai, Al-Quran dengan tingkat sakralitasnya telah menghadirkan pemahaman, resepsi, dan budaya tanpa batas. Semua ini bisa dilacak berdasarkan sejumlah peristiwa yang berkembang dalam sejarah peradaban masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia, terutama timur tengah.
Al-Quran menjelma dari sebuah kitab suci yang diturunkan dari Allah Swt menjadi salah satu bagian dari kehidupan masyarakat. Sejak awal pewahyuan, Al-Quran selalu mempengaruhi lingkungan sekitar, mulai dari dibaca, diamalkan, ditransmisikan hingga berpengaruh terhadap arsitektur (kaligrafi dalam bangunan), peradaban dan budaya.
Interaksi Al-Quran dan masyarakat Islam terus menerus terjadi (berkesinambungan) hingga saat ini. Salah satu produk interaksi tersebut adalah tradisi rukyah. Bagi sebagian besar masyarakat muslim, Al-Quran berperan sebagai as-syifa (obat atau penawar) terhadap berbagai penyakit, baik penyakit batin maupun jasmani.
Meskipun demikian, terjadi banyak perdebatan mengenai pandangan Al-Quran berperan sebagai obat bagi segala penyakit. Apalagi, ketika wacana itu dilanjutkan dengan fungsinya (Al-Quran) sebagai rahmat (karunia) Allah. Benarkah Al-Quran itu memiliki kegunaan yang seperti itu, dan apakah nilai kegunaannya bersifat mutlak atau relatif?
Baca Juga: Al-Quran Sebagai Obat, Bagaimana Memahaminya?
Perdebatan itu kemudian memicu para mufasir Al-Quran untuk menjelaskan dengan berbagai ragam pendekatan, metode dan secara terperinci tentang asal mula pandangan Al-Quran adalah obat segala penyakit. Sebenarnya, jika pandangan tersebut dicermati, maka akan ditemukan bahwa semua itu bermuara pada penafsiran Surat Al-Isra ayat 82.
Tafsir Surat Al-Isra Ayat 82: Al-Quran adalah Obat Rohani
Bagi mereka yang mempercayai efektifitas Al-Quran sebagai obat bagi penyakit jasmani Surat Al-Isra ayat 82 adalah landasan legitimasi. Sedangkan bagi mereka yang menolak–tanpa menyalahkan tradisi rukyah–ayat tersebut memiliki makna bahwa Al-Quran dapat menyembuhkan penyakit rohani, bukan jasmani.
Firman Allah Swt:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا ٨٢
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (Surat Al-Isra Ayat 82)
Secara umum ayat di atas bermakna, “Dan bagaimana kebenaran itu tidak akan menjadi kuat dan batil tidak akan lenyap, sedangkan Kami telah menurunkan Al-Quran sebagai obat penawar keraguan dan penyakit-penyakit yang ada dalam dada dan Al-Qur’an juga adalah rahmat bagi orang-orang yang beriman dan ia yakni Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian disebabkan oleh kekufuran mereka.”
Kata شِفَاۤءٌ syifa’ biasa diartikan kesembuhan atau obat, dan digunakan juga dalam arti keterbebasan dari kekurangan, atau ketiadaan aral dalam memperoleh manfaat. Menurut Thabathaba’i ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai obat penawar penyakit-penyakit jiwa yang dialami manusia, terutama bagi mereka yang beriman.
Pendapat ini berbanding terbalik dengan pendapat ulama-ulama lain yang memahami bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dapat juga menyembuhkan penyakit-penyakit jasmani. Mereka merujuk kepada sekian riwayat yang diperselisihkan nilai dan maknanya, antara lain riwayat oleh Ibn Mardawaih melalui sahabat Nabi Saw Ibn Mas‘ud ra, bahwa nabi menyuruh seseorang yang dadanya sedang sakit untuk membaca Al-Qur’an.
Menurut Quraish Shihab, hadis tersebut–jika benar riwayatnya–tidak menunjukkan kepada penyakit jasmani, tetapi itu menunjukkan kepada penyakit rohani/jiwa yang berdampak pada jasmani atau biasa disebut psikosomatik. Memang tidak jarang seseorang merasa sesak nafas atau dada bagaikan tertekan karena adanya ketidakseimbangan rohani.
Seorang sufi besar bernama al-Hasan al-Bashri–sebagaimana dikutip oleh Muhammad Sayyid Thanthawi–dan berdasarkan pada riwayat Abu asy-Syeikh berkata: “Allah menjadikan Al-Qur’an obat terhadap penyakit-penyakit hati, dan tidak menjadikannya obat untuk penyakit jasmani.” (Tafsir Al-Misbah [7]: 532).
Thabathaba’i memahami fungsi Al-Qur’an sebagai obat dalam arti menghilangkan dengan bukti-bukti yang dipaparkannya aneka keraguan atau syubhat serta dalih yang boleh jadi hinggap di hati sementara orang. Hanya saja ulama ini menggarisbawahi bahwa penyakit-penyakit tersebut berbeda dengan kemunafikan apalagi kekufuran.
Pada ayat ini dijelaskan juga bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai rahmat. Rahmat adalah kepedihan di dalam hati karena melihat ketidakberdayaan pihak lain, sehingga mendorong yang pedih hatinya itu untuk membantu menghilangkan atau mengurangi ketidakberdayaan tersebut. Ini adalah rahmat manusia atau makhluk. Sedangkan rahmat Allah dipahami dalam arti bantuan-Nya, sehingga ketidakberdayaan itu tertanggulangi.
Menurut Thabathaba’i, rahmat Allah berarti limpahan karunia-Nya terhadap wujud dan sarana kesinambungan wujud serta aneka nikmat yang tidak dapat terhingga. Rahmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada orang-orang mukmin adalah kebahagiaan hidup dalam berbagai aspeknya, seperti pengetahuan tentang ketuhanan yang benar, akhlak yang luhur, masuk surga dan sebagainya.
Baca Juga: Ibn Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim
Karena alasan itulah Al-Qur’an kemudian disifati sebagai rahmat untuk orang-orang mukmin, maknanya Al-Qur’an merupakan limpahan karunia kebajikan dan keberkatan yang disediakan Allah Swt bagi mereka yang menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang diamanatkan di dalamnya. (Tafsir Al-Misbah [7]: 533).
Terlepas dari perdebatan apakah Al-Qur’an dapat menyembuhkan penyakit jasmani dan rohani atau hanya salah satu dari keduanya, terdapat satu kesamaan dalam pendapat dua kelompok yang menafsirkan Surat Al-Isra ayat 82, yaitu peran sentral keimanan. Tanpa keimanan segala macam kelebihan dan keutamaan Al-Qur’an tidak akan bisa dirasakan, baik secara jasmani maupun rohani. Wallahu a’lam.