BerandaTafsir TematikSurat An-Nisa Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

Surat An-Nisa [4] Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

Secara bahasa taubat berasal dari bahasa Arab taba-yatubu yang memiliki arti kembali, menyesal, dan jera. Artinya, orang yang bertaubat berarti kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji oleh syariat. Taubat nasuha juga bisa diartikan “kembali” kepada Allah, kembali taat kepada Allah pasca kemaksiatan, dan menyesali segala perbuatan dosa yang telah lalu.

Sedangkan taubat secara terminologi adalah menyesal dengan sepenuh hati atas dosa yang telah lalu, memohon ampunan (istigfar) dengan lisan, menghentikan kemaksiatan dari badan, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan. Pengertian taubat nasuha yang sebenarnya adalah kembali kepada Allah dengan konsekuensi menjalankan apa yang diwajibkan dan meninggalkan apa yang dilarang (Tafsir al-Munir: 706).

Dalam ajaran tasawuf, taubat menduduki maqam pertama karena ia menghapus dosa yang menjadi penghalang utama antara manusia dan Tuhannya. Oleh sebab itu, sebelum menempuh maqam-maqam lain, seorang salik harus bertaubat dari segala dosa yang telah dia perbuat. Jadi, taubat adalah bagian terpenting dalam perjalanan seseorang menuju Allah swt. Tidak ada ibadah yang benar apabila tidak disertai rasa bersalah, menyesal, dan berharap kepada ampunan-Nya.

Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Taubat Nasuha

Taubat dalam arti taubat nasuha adalah usaha manusia untuk menyesali segala kesalahan yang lalu dan tidak akan mengulangi lagi di waktu yang akan datang. Taubat adalah bagian dari usaha manusia untuk menyucikan jiwa dari sifat-sifat yang tidak terpuji yang diharapkan berimplikasi terhadap tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik tingkah laku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, rasul, orang tua, atau sesama manusia dengan lingkungannya.

Surat An-Nisa [4] Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

Berkenaan dengan taubat nasuha, Allah swt berfirman dalam surah an-Nisa [4] ayat 17-18 yang berbunyi:

اِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَاُولٰۤىِٕكَ يَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ١

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۚ حَتّٰىٓ اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ اِنِّيْ تُبْتُ الْـٰٔنَ وَلَا الَّذِيْنَ يَمُوْتُوْنَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا ١٨

“Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Surah an-Nisa [4] ayat 17)

 “Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertobat sekarang.” Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih.” (Surah an-Nisa [4] ayat 18)

Menurut Quraish Shihab, secara umum ayat ini berbicara mengenai taubat nasuha dan bagaimana taubat seseorang bisa diterima atau ditolak. Dalam surah an-Nisa [4] ayat 17-18 ini Allah mengingatkan manusia tentang apa makna taubat dan kondisi seorang pentaubat yang bisa diterima taubatnya, yakni orang yang melakukan dosa dalam keadaan kelemahan dalam akal, atau gerak yang menjadikan dia bagaikan tidak tahu.

Pada ayat Nisa [4] Ayat 17-18, Allah swt. seakan berfirman, “hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan, baik dosa kecil maupun dosa besar lantaran kejahilan, yakni didorong oleh ketidaksadaran akan dampak buruk dari kejahatan itu, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, yakni paling lambat sesaat sebelum berpisahnya ruh dari jasad, maka mereka itulah – yang kedudukannya cukup tinggi – yang diterima Allah taubatnya.”

Dan Allah swt. sejak dahulu hingga kini Maha Mengetahui siapa yang tulus dalam taubatnya lagi Maha bijaksana, yakni menempatkan segala sesuatu pada tempatnya secara wajar dan proporsional menurut-Nya, sehingga Dia menerima taubat siapa yang wajar diterimanya dan menolak siapa yang pantas ditolak taubatnya.” (Tafsir Al-Misbah [2]: 378).

Dan tidaklah taubat, yakni pengampunan dosa itu diberikan Allah swt untuk orang-orang yang mengerjakan kejahatan-kejahatan, yakni orang yang durhaka terus menerus silih berganti tanpa penyesalan, hingga apabila datang kepada seseorang di antara mereka itu kematian, yakni sesaat sebelum keluarnya ruh dari jasad yang biasa ditandai dengan bunyi “gher” barulah ia mengatakan: “Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.

Dan tidak pula ada pemberian pengampunan untuk orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran, yakni mereka yang mati membawa serta bersama kematian itu kekufurannya yang – sebelumnya ketika hidup – tidak disertai dengan taubat nasuha. Itulah orang-orang yang telah Kami sediakan buat mereka siksa yang pedih.” (Tafsir Al-Misbah [2]: 379)

Baca Juga: Tafsir Surah Hud Ayat 112: Perintah Istiqomah Dalam Kebaikan

Menurut sebagian ulama – yakni Muhammad al-Bayjuri, imam an-Nawawi, dan imam al-Qusyairi – taubat nasuha dari segala dosa adalah kewajiban, baik itu berupa dosa kecil atau besar, baik dosa yang nampak atau yang tidak (seperti penyakit hati berupa riya, ‘ujub, dan lain-lain). Jika dosa dihasilkan dari maksiat yang hanya berkaitan dengan pelaku dan Allah, tidak berhubungan dengan hak manusia, maka taubat harus memenuhi tiga syarat, yaitu sebagai berikut:

Pertama, seseorang yang ingin bertaubat nasuha harus menyesali semua perilaku menyimpang dari syariat yang telah dilakukannya dan memohon ampun atas semua itu. Kedua, segera meninggalkan perilaku tersebut dan perilaku serupa serta tidak mencoba mendekati perbuatan itu bagaimanapun alasannya. Ketiga, bertekad dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat.

Namun jika perbuatan dosa berkaitan dengan hak manusia lain, maka ada satu syarat tambahan yang wajib dilakukan ketika bertaubat nasuha, yaitu menyelesaikan hak tersebut pada orang yang bersangkutan. Jika ia memakai harta orang lain, maka ia harus mengembalikan barang yang digunakan kepada pemiliknya, atau meminta pembebasan tanggungan pada yang bersangkutan dan sebagainya. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...