Akhir-akhir ini kita dipertontonkan dengan banyak perkataan kasar atau ungkapan buruk di ruang publik. ‘Kenormalan baru’ ini akhirnya menjadi tren dan diikuti oleh khalayak. Sungguh sangat disesalkan. Jika kita mau sejenak saja mengingat masa kecil, sedari belajar berbicara, kita diajari oleh orang tua kita dengan ucapan yang baik. Guru-guru kita di sekolah juga mengajari kita dengan kalimat thayyibah, bukan sebaliknya.
Perkataan yang baik atau kalimat thayyibah ini bahkan juga sudah disinggung lama sekali dalam Al-Quran, mulai dari kriteria dan pengaruhnya. Surat Ibrahim Ayat 24-26 menyinggung tentang kalimat thayyibah atau perkataan yang baik dan kebalikannya yaitu kalimat khabitsah (perkataan buruk). Berikut bunyi ayatnya,
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ 24 تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ 25 وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيْثَةِ ِۨاجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْاَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ 26
“Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (24) (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat (25) Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun (26)”
Kalimat thayyibah itu perkataan yang memberikan energi positif
Mufasir seperti At-Thabari dan Al-Qurthubi menyebut kalimat thayyibah dengan kalimat tauhid, la ilaha illallah. Az-Zamakhshari dalam Al-Kasysyaf menambahi definisi kalimat thayyibah dengan setiap kalimat yang baik, seperti kalimat tasbih, tahmid, takbir, istighfar, dan semacamnya.
Sementara itu, Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir mengartikan thayyibah di sini dengan manfaat. Mengikuti pengertian ini, kalimat thayyibah berarti tidak hanya dibatasi pada kalimat-kalimat yang biasa jadi wiridan umat Islam, seperti kalimat tahlil, tahmid, tasbih, takbir, istighfar, hawqalah dan semacamnya, melainkan setiap kalimat yang membawa manfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ 148-149: Allah Tidak Menyukai Perkataan Buruk
Nah, untuk manfaat ini coba kita baca lagi deskripsi kalimat thayyibah dalam ayat. Di situ Allah mengumpakannya dengan “pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu”. Perumpamaan ini membawa kita untuk merenungi pohon dan manfaat yang diberikannya.
Mulai dari akar, batang, daun, hingga buahnya, pohon memberi manfaat penuh untuk keberlangsungan hidup manusia. Pohon yang tumbuh dengan baik ia akan ikut membersihkan udara, membantu daya serap air dalam tanah, batangnya bisa dimanfaatkan untuk bangunan dan semacamnya. Pohon yang tumbuh dengan baik juga bisa memberi kenyamanan bagi siapapun yang berteduh di bawahnya.
Artinya, pohon yang tumbuh dengan baik, dari setiap bagian-bagiannya akan mendatangkan manfaat untuk sekelilingnya. Begitupun dengan perkataan yang baik. Ia akan mendatangkan juga menularkan kemanfaatan dan hal-hal positif, tidak hanya bagi dirinya sendiri melainkan pula untuk sekelilingnya. Bukankah itu yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai paling baiknya manusia?
Sebaliknya, kalimat khabitsah atau perkataan yang buruk dilukiskan dengan “pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun”. Pohon yang tidak tumbuh dengan baik tentu mengurangi kemanfaatannya, atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali, yang ada ia merepotkan orang lain. Pada akhirnya ia mati dan menjadi sampah.
Demikian pula dengan perkataan yang buruk, jangankan manfaat, ia justru akan mendatangkan mudharat, baik untuk dirinya sendiri maupun sekelilignya. Perkataan buruk tersebut menjadikan sang penutur tidak ubahnya seperti sampah yang kotor dan mencemari orang-orang di sekelilingnya.
Kapan kita harus berkata dengan santun (kalimat thayyibah)?
Kapanpun, siang ataupun malam, pagi dan sore, saat terang maupun gelap, di saat bahagia ataupun sedih, di waktu senggang maupun sibuk, ketika susah juga senang, saat menangis maupun tertawa, ketika tegar maupun rapuh, saat sepi dan ramai, tenang ataupun gaduh, ketika berdiri maupun duduk, di saat panas juga hujan, cerah dan mendung, sedang bekerja atau rebahan, di kala cinta ataupun benci, sedang marah ataupun sabar.
Jadi ingat kata-kata Andrea Hirata dalam Guru Aini, ‘Beda orang sabar dan tidak sabar adalah, meski muntab, orang sabar tetap menjaga kesantunan berbahasa’.
Di mana kita harus berkata dengan perkataan yang baik? di manapun, di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di gedung mewah, di pinggir jalan, di masjid, di pusat perbelanjaan, di toko kelontongan, di pasar tradisional, di tempat wisata, di dunia nyata maupun di dunia maya.
Baca Juga: Dia yang Berlaku Baik Kepadamu, Lebih Baiklah Kepadanya! Pesan Surat An-Nisa Ayat 86
Dan kepada siapa saja? siapapun, kepada teman anda, musuh anda, karib dan lawan anda, ia yang anda hormati, terlebih ia yang anda benci, bos atau atasan anda, bawahan anda, ia yang lebih muda, terutama yang lebih tua, orang yang mengajari dan yang anda ajari, follower anda juga hater anda, orang yang anda kenal maupun yang baru anda temui, dan lainnya.
You are what you say (anda adalah apa yang anda ucapkan). Dalam pepatah Arab juga ada salamat al-insan fi hifdz al-lisan (keselamatan manusia terdapat dalam penjagaan lidahnya). Perkataan anda adalah identitas dan nilai anda. Wallahu A’lam