Pada masa Nabi Muhammad saw ada dua muazin yang paling terkenal, yakni Bilal bin Rabah, seorang mantan budak berkulit hitam dari Habasyah (sekarang Ethiopia), dan Abdullah bin Ummi Maktum, seorang penyandang disabilitas penyebab turunnya surah ‘Abasa. Kehadiran dua tokoh ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam secara simbolik telah melawan berbagai diskriminasi yang ada dalam masyarakat Arab.
Bilal bin rabah dan Abdullah bin Ummi Maktum merupakan orang-orang yang pertama kali masuk Islam atau sering disebut sebagai al-sabiqun al-awwalun. Meskipun Abdullah bin Ummi Maktum digambarkan sebagai penyandang disabilitas, sebab tidak bisa melihat alias buat, ia dikenal berilmu dan beradab serta memiliki kepekaan yang tinggi. Tak heran bila dirinya mampu mengetahui dengan detail pergeseran waktu, sehingga tugas muazin diserahkan kepadanya.
Abdullah bin Ummi Maktum adalah sahabat yang giat beribadah. Diceritakan suatu hari ia mengikuti pengajian Rasulullah saw. Dalam kesempatan itu, baginda rasul menyampaikan kewajiban setiap Muslim yang mendengar azan untuk segera menunaikan shalat berjamaah. Setelah mendengar penjelasan nabi saw, ia lalu bertanya apa yang harus dilakukannya sebagai penyandang disabilitas.
“Wahai Rasulullah saw, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat?” tanya Ibnu Ummi Maktum. Rasul menjawab, “Apakah kamu mendengar seruan azan?” Ibnu Ummi Maktum menjawab, “Ya, saya mendengarnya.” Rasul pun memerintahkannya agar ia tetap pergi ke masjid meskipun sambil merangkak.” Maksud perintah nabi ini adalah ia harus ke masjid sekalipun dengan jalan perlahan.
Baca Juga: Lembaran Surah Taha dan Kisah Keislaman Umar bin Khattab
Maka dengan penuh keimanan, setiap kali azan berkumandang dan waktu shalat tiba, Ibnu Ummi Maktum pun segera pergi ke masjid dan berjamaah dengan Rasulullah saw. Suatu ketika di waktu subuh, saat azan dikumandangkan, ia bergegas ke masjid. Di tengah perjalanan, kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjamaah ke masjid. Ini menggambarkan betapa kuatnya keimanan dan semangat beragamanya.
Abdullah bin Ummi Maktum mempunyai naluri yang sangat peka untuk mengetahui waktu. Setiap menjelang fajar, dengan perasaan jiwa yang segar ia keluar dari rumahnya, dengan bertopang tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang kaum Muslimin untuk mengumandangkan azan di masjid Rasul. Dia selalu bergantian azan dengan Bilal bin Rabah. Jika salah satu dari mereka berdua azan, maka yang lainnya bertindak mengumandangkan iqamat.
Salah satu azan yang sering dikumandangkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum adalah azan sebelum subuh, yakni azan penanda bahwa waktu shalat malam akan segera habis sekaligus sebagai penanda datangnya subuh. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengatakan, “Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092).
Ibnu Ummi Maktum: Penyandang Disabilitas Penyebab Turunnya Surah ‘Abasa
Ada kisah menarik terkait Abdullah bin Ummi Maktum, yakni kisah yang menjadi penyebab turunnya surah ‘Abasa. Pada suatu hari, Nabi saw tengah duduk bersama para pemuka Quraisy. Tiba-tiba Abdullah menanyakan sesuatu ke beliau, tapi Rasul tak menghiraukannya karena sedang sibuk berbicara dengan beberapa tokoh Quraisy yang di antaranya ada Syaibah bin Rabi’ah.
Setelah selesai berunding dengan para pemuka Quraisy, Rasulullah saw kemudian bersiap untuk pulang ke rumah. Namun, beliau mendadak merasa kesakitan sebagaimana kondisi turunnya wahyu biasanya. Saat itulah Firman Allah berupa surah ‘Abasa ayat 1 sampai 16 turun yang secara umum menjelaskan tentang kesetaraan manusia, baik itu orang kaya maupun miskin, baik penyandang disabilitas maupun tidak dan sebagainya.
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman).” (QS. ‘Abasa [80]: 1-7)
“Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang dia takut (kepada Allah), engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki, tentulah dia akan memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah), yang ditinggikan (dan) disucikan, di tangan para utusan (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. ‘Abasa [80]: 8-16).
Aisyah ra juga berkata, “Diturunkan ‘Abasa wa Tawallaa’ berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta, ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah berilah saya bimbingan’. Sedangkan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu ada salah seorang pembesar kaum musyrikin.”
“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan berbalik ke arah lelaki pembesar musyrikin tersebut, lalu beliau berkata: ‘Apakah menurutmu apa yang aku sampaikan kepadamu ini baik?”, maka lelaki pembesar musyrikin itu menjawab: ‘Tidak’. Peristiwa inilah penyebab turunnya surah ‘Abasa.” (HR. at-Tirmidzi no. 2651)
Baca Juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran
Patut diketahui bahwa berpalingnya Rasulullah saw dari Abdullah bin Ummi Maktum bukan dalam rangka merendahkan dirinya, hanya saja pada waktu itu beliau sedang sibuk berbicara dengan para pemuka Quraisy sehingga tidak memiliki waktu untuk menjawab pertanyaan Abdullah bin Ummi Maktum. Sikatnya, nabi saw kala itu sedang fokus dalam mendakwahi pembesar Quaisy yang beliau anggap sebagai pijakan utama mendakwahi seluruh penduduk Mekah.
Menurut al-Qasyani, pada surah ‘Abasa ayat 1 sampai 16 Allah swt ingin mengajarkan kepada rasul-Nya bahwa tugasnya adalah menyampaikan ayat-ayat-Nya kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Siapa saja yang menginginkan agar dirinya suci dan bersih dari segala dosa, maka haruslah disambut dan diperhatikan, serta lebih berhak untuk disikapi dengan lemah lembut. Tidak peduli apakah mereka itu kaum pejabat atau rakyat jelata, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Wallahu a’lam.