Kita yakini bahwa dalam islam, segala sesuatu yang sudah Allah SWT tetapkan pasti akan terlaksana. Suka ataupun tidak suka atas ketetapan itu semuanya akan terjadi. Sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman dalam surah Ali-Imran ayat 36 yang terjemahannya sebagai berikut, “ketika Allah SWT dan Rasul-Nya memutuskan sesuatu, maka mereka tidak mempunyai pilihan lain”.
Jika mengikuti ayat ini, bencana alam berarti memang sudah menjadi skenario atau keputusan Allah SWT, siapapun tanpa terkecuali tidak dapat menhalangi dan menghindarinya. Namun demikian, apakah benar bahwa tidak ada celah sedikitpun untuk menghindarinya?
Sebenarnya masih ada kemungkinan celah, meski kemungkinan itu hanya upaya memperkecil atau mengurangi dampak yang awalnya menimbulkan dampak besar. Caranya yaitu dengan mitigasi bencana. Tujuan mitigasi bencana adalah mempersiapkan lebih awal dan antisipasi terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk dalam menghadapi musibah atau bencana alam yang datangnya tiba-tiba.
Mengenai mitigasi bencana atau mengantisipasi musibah, kisah dalam Al-Quran, salah satunya adalah surah Yusuf ayat 46-47 yang menceritakan tentang antisipasi terhadap bencana yang akan terjadi pada raja dan rakyatnya.
Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 7: Belajarlah dari Kisah Nabi Yusuf!
Mimpi Raja sebagai informasi mitigasi bencana
Dalam Al-Quran diceritakan ketika nabi Yusuf menghadapi krisis pangan (paceklik), bermula dari mimpi sang raja yang mimpinya itu berkaitan dengan kehidupan masa depan negaranya. Lalu sang raja bertanya kepada para penasehat-penasehat kerajaannya, tiada salah satupun di antara mereka yang mengetahui apa maksud dari mimpi itu. (sampai kemudian ada seorang hamba yang memberikan usulan kepada Raja supaya mengirimnya untuk mendatangi sesorang yang ahli dalam urusan penakwilan mimpi. Orang yang dimaksud pelayan tersebut adalah Nabi Yusuf as.
Adegan ini dikisahkan dalam Al-Quran, surah Yusuf ayat 46-47,
يُوسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ لَعَلِّي أَرْجِعُ إِلَى النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَعْلَمُونَ (46)
”Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.” (46)
Suatu hari raja Mesir yang bernama ar-Rayyaan bin al-Walid bermimpi tentang tujuh sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina kurus-kurus, dan tujuh bulir gandum yang hijau dan tujuh bulir lainya kering. Mimpi itu pun diceritakan kepada para pemuka istana ditafsirkan. Justru al-Mala’ itu menganggap mimpi tersebut adalah adghats ahlam (mimpi yang jauh dari kebenaran). (Ali Imron, Semiotika Alquran: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Nabi Yusuf)
Thabathaba’i sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah mengatakan bahwa mimpi tersebut bukan mimpi yang sederhana yang hanya memuat informasi, tapi lebih ke perintah untuk melaksanakan sesuatu. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah). Mimpi tesebut memberikan beban psikis yang berat bagi sang raja ar-Rayyan bin al-Walid. Mimpi ini menjadi tanda realitas yang akan dialami oleh negeri yang dipimpinnya. Karena kegelisahannya itu sang raja meminta para penasehatnya untuk mena’wilkan atau mentafsirkan mimpi tersebut, tetapi apalah daya tiada satupun dari mereka yang mengetahui terkait pena’wilan mimpi. Akhirnya sang raja meminta Nabi Yusuf untuk membantu menafsirkan mimpinya.
Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim
Takwil mimpi dari Nabi Yusuf dan rencana strategisnya
Adapun tujuh ekor sapi betina gemuk-gemuk itu merupakan tanda yang diartikan Nabi Yusuf dengan bercocok tanam selama tujuh tahun seperti biasa. Dilakukannya bercocok tamam selama tujuh tahun ini supaya negara gemuk seakan seperti seekor sapi betina yang gemuk dan memiliki cadangan pangan melimpah. Bercocok tanam ini harus dilakukan terlebih dahulu, sebab pada masa sekarang ini lahan tanah masih dalam keadaan subu-suburnya sehingga tanaman dan bulir-bulir akan dapat tumbuh dengan baik dan hasinyapun melimpah. Tentunya persiapan ini harus segera dilakukan, karena tujuh tahun kesuburan ini akan dimakan atau berganti tujuh tahun kesulitan, seperti sapi betina yang gemuk-gemuk kemudian dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus. Saat itu, pada masa paceklik kesuburan lahan tanah akan sirna akibat kekeringan, sehingga tanaman akan kering dan tidak dapat tumbuh. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan seperti tujuh bulir-bulir lain yang kering.
Mimpi sang raja pun berhasil ditakwil oleh Nabi Yusuf as. bahwa suatu hari nanti akan datang tujuh tahun masa kemakmuran dengan hasil pangan yang melimpah, dan setelah itu masa kemakmuran akan berganti dengan masa kesulitan akibat kekeringan selama tujuh tahun pula.
Ali Imron dengan pendekatan semiotikanya menyampaikan bahwa dalam mimpi sang raja ini menjadi suatu persoalan menarik yang perlu unuk dicermati. Persoalan menarik itu adalah penggunaan simbol sapi betina yang gemuk-gemuk, kemudian sapi betina yang kurus-kurus, bulir gandum hijau, dan bulir gandum yang kering. Hal tersebut menunjukkan dari salah satu sumber pangan masyarakat Mesir pada saat itu adalah industri perternakan, Bulir-bulir gandum merupakan simbol dari pertanian. Dengan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa mimpi sang raja ini benar adanya dan berkaitan dengan persoalan hidup masyarakat yang dipimpinnya.
Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf, Penjara sebagai Sarana Mendekatkan Diri kepada Allah
Nabi Yusuf as. tidak mengada-ada atau asal-asalan dalam menafsirkan mimpi sang raja tersebut. Akan tetapi Nabi Yusuf as. memjelaskan arti mimpi itu berdasarkan wahyu yang diterimanya dari Allah SWT. Mesir adalah negara yang akan mengalami masa subur selama tujuh tahun dan akan berganti dengan menghadapi masa paceklik selama tujuh tahun. Nabi Yusuf memberikan masukan kepada Raja dengan perencanaan strategis untuk membangun ketahanan pangan yang kuat, yaitu dengan memperoduksi massal gandum dan membuat stok atau manajemen stok pangan. (Beta Pujangga Mukti, Strategi Ketahanan Pangan Nabi Yusuf)
Hal tersebut diterangkan dalam ayat berikutnya, ayat 47-48.
قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تَأْكُلُونَ (47) ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تُحْصِنُونَ (48)
“Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan. (47) Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. (48)”
Terhadap saran untuk memproduksi gandum secara massal dan manajemen stok pangan yang baik dari Nabi Yusuf, Raja menerimanya dengan senang hati. Ketika masa itu tiba, paceklik yang melanda tanah Mesir, masyarakat Mesir tetap tentang lantaran mereka mempunyai banyak stok cadangan makanan dalam lumbungnya. Bahkan makanan tersebut membantu Masyarakat Mesir dalam melewati masa-masa kesulitan selama paceklik. Dan persediaan itu juga cukup untuk membantu negeri-negeri sekitaran Mesir yang mengalami kemarau yang sama.
Selain strategi peningakatan produktivitas tanam dan juga memanajemen stok pangan, Nabi Yusuf juga memberlakukan strategi memberdayakan hidup hemat dalam mengonsumsi makanan. Adapun kebiasaan ini diberlakukan untuk membatasi frekuensi konsumsi makanan dan untuk menjaga kestabilan pola konsumsi gandum dalam tiga fase pembagian musim. Tiga fase musim tersebut adalah musim musim hujan, musim kemarau, dan musim hujan berikutnya. Tak heran jikalau Nabi Yusuf bersama dengan Raja hanya memakan gandum satu kali dalam sehari, sebab itu apabila mereka mampu melalui masa-masa tersebut maka mereka akan memperoleh kemakmuran, yang digambarkan dalam Al-Quran dalam bentuk pemberian hujan yang cukup. Sebagaimana dijelaskan oada ayat berikutnya, di ayat 49.
Di ayat tersebut Allah SWT telah menurunkan hujan dengan curah yang cukup ketika musim kering melanda. Buah-buahan seperti Zaitu, Qurtum sudah bisa dipetik, begitu juga dengan jenis tumbuh-tumbuhan dan biji-bijian lainnya, seperti tebu, anggur dan kurma. (Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar). Akhir kisah yang happy ending dan mitigasi bencana yang berhasil. Wallahu a’lam