Al-Quran sulit dipahami sesuai istilahnya sendiri (in its ownright). Ia butuh penafsiran agar maknanya tidak ambigu. Tafsir itu sendiri adalah mekanisme penafsiran yang digunakan oleh setiap mufasir untuk memproduksi makna atas wahyu Al-Quran. Makna hanya muncul ketika wahyu Al-Quran berinteraksi secara historis dengan komunitas penafsir di berbagai aliran keislaman. Keragaman mufasir dalam tradisi penafsiran al-Quran membuka ruang terjadinya pluralisme dan kontradiksi makna. Inilah yang terjadi ketika komunitas penafsir melibatkan diri secara aktif dalam menafsirkan surah An-Najm ayat 10.
Baca Juga: Tidak Ada Makna dalam Al-Quran, Lalu…
Kontradiksi tafsir An-Najm [53] ayat 10
Makna yang ditafsirkan dan akhirnya diproduksi oleh komunitas penafsir berbeda dari satu penafsir ke penafsir lain. Jika metode pembaruan Islam dengan slogannya kembali pada Al-Qur’an dipraktikkan untuk membaca An-Najm [53]: 10—fa-awha ila ‘abdihi maa awha—maka makna yang dipahami dan diproduksi melalui proses pembacaan teks wahyu secara langsung itu menjadi ambigu dan tidak jelas.
Hal ini terefleksikan pada Kementerian Agama yang menerjemahkan An-Najm [53]: 10 secara problematik. Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya [Muhammad] apa yang telah diwahyukan Allah. Penerjemahan ini mengandung masalah yang serius. Frase awal fa-awha dan akhir frase maa awha menunjukkan makna bahwa agen wahyu dalam mekanisme pewahyuan Al-Quran itu bersifat aktif, tetapi Kementerian Agama sengaja memproduksi makna yang pasif.
Konsekuensinya, agen wahyu menjadi ambigu. Ikhtiar untuk “kembali pada Al-Qur’an,” yakni makna An Najm ayat 10, dengan bersandarkan pada terjemahan otoritas Kementerian Agama, justru menimbulkan kemusykilan baru. Yaitu, referensi ambigu atas identitas agen wahyu itu sendiri, siapakah yang sebenarnya bertindak sebagai agen dalam mekanisme pewahyuan Al-Quran: Tuhan, Jibril, ataukah keduanya? Metode untuk “kembali pada Al-Qur’an”, dan kenyataannya hanya “kembali pada terjemahan al-Qur’an” terbukti menimbulkan masalah yang kompleks.
Baca Juga: Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Al-Quran
Agen pembawa wahyu itu malaikat
Karena itu, saya menegaskan tesis utama risalah ini bahwa Al-Qur’an sebaiknya dipahami dan ditafsirkan tidak menurut istilahnya sendiri (on its own terms), tetapi melalui lensa tradisi tafsīr. Dalam Tafsīr al-Mishbah, M. Quraish Shihab menerjemahkan dan sekaligus menafsirkan (An–Najm [53] :10) dengan merujuk pada agen wahyu yang aktif dalam proses pewahyuan: Lalu dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan. “Lalu dia, yakni malaikat itu, mewahyukan, yakni menyampaikan secara cepat dan rahasia, kepada hamba-Nya, yakni Nabi Muhammad saw, apa yang telah Dia, yakni Allah, wahyukan” (M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Mishbah, bagian An-Najm/53:10).
Melalui lensa tafsir, Shihab menafsirkan frase awal fa-awha merujuk pada agen wahyu yang aktif, yakni malaikat. Penafsiran ini memberikan implikasi teologis bahwa proses pewahyuan dalam Islam terjadi secara tidak langsung, melalui perantara agen wahyu yang bernama malaikat (Angel as an intermediary agent of revelation). Penafsiran yang diformulasikan oleh M. Quraish Shihab ini sesungguhnya tidak menawarkan orisinalitas (originality) maupun kebaruan (novelty), karena makna yang dia tampilkan dalam Tafsīr al-Mishbah merupakan repetisi atas makna yang telah tersimpan selama ratusan tahun dalam khazanah intelektual tafsīr, baik fase awal maupun pertengahan Islam. Karena itu, gagasan tentang makna yang repetitif ini menunjukkan bahwa penafsiran Al-Qur’an di dunia modern, yang terefleksikan pada Tafsīr al-Mishbah, bersandar pada makna yang telah diproduksi oleh komunitas penafsir di fase awal Islam.
Hal ini terbukti dengan pemaknaan frase fa-awha dalam literatur tafsir awal yang memang ditafsirkan dengan rujukan pada malaikat Jibril yang bertindak sebagai agen pewahyuan. Itulah yang terlihat pada penafsiran ar-Rābi‘ b. Anas “melalui lisan Jibril” (‘alā lisān Jibrīl) dan penafsiran ‘Abd al-Rahmān b. Zayd: “Jibril mewahyukan kepada rasul Tuhan, apa yang telah Tuhan wahyukan kepadanya” (awha Jibrīl ila rasūl Allāh mā awha Allāh ilayhi). Kedua riwayat yang diatributkan kepada dua otoritas penafsir Al-Qur’an pada fase awal Islam ini terekam dalam karya tafsir awal abad pertengahan yang monumental, Jāmi‘ al-bayān ‘an ta’wīl āy al-Qur’ān, 30 vol. (Cairo: Mustafa al-Bābi al-Halabi, 1986, vol. 27, h. 47), karya penafsir agung Abū Ja‘far b. Jarīr At-Thabari (w. 310/923).
Penafsiran atas wahyu yang dikomunikasikan kepada Muhammad melalui perantara agen pewahyuan, yakni Jibril, ini tampaknya telah menjadi konsensus yang sesuai dengan paham ortodoksi Islam, sehingga kebenarannya nyaris tidak pernah dipertanyakan kembali secara kritis. Padahal, makna yang sudah menjadi konsensus itu, sebagai produk pemikiran manusia, hanyalah salah satu dari kemungkinan makna-makna yang telah diproduksi oleh otoritas penafsir awal.
Baca Juga: Ketika Al-Quran Menceritakan Proses Nuzulul Quran
Pembawa wahyu itu Tuhan sendiri
Sebagai produsen makna, penafsir bertindak secara kreatif dalam menafsirkan An-Najm [53]:10 dengan makna yang lain bahwa Tuhan sendiri yang mewahyukan Al-Qur’an secara langsung kepada hamba-Nya, yakni Muhammad, tanpa perantara Jibril. Penafsiran ini dapat ditemukan pada, pertama, ‘Abd. Allāh b. ‘Abbās (w. 68/688), yang berkomentar: “[Dia mewahyukan kepada] hamba-Nya, yakni Muhammad, apa yang Tuhan wahyukan kepadanya” (fa-awha ila ‘abdihi Muhammad, salla Allāh ‘alayhi wa-sallām, ma awha ilayhi rabbuhu) (lihat At-Thabari, Jāmi‘ al-bayān, 1986, vol. 27:47); kedua, Sa‘īd b. Jubayr (w. 95/714) berkata; “Dia [Tuhan] mewahyukan kepadanya, [yakni, Muhammad]” (awha ilayhi) (Tafsir Sa‘īd b. Jubayr, dalam Ahmad al-‘Umrāni [editor], Mawsu‘at madrasat makkah fī al-tafsīr, 8 vols., Cairo: Dār al-Salām, 1960, vol. 6:390);
Ketiga, Muqātil b. Sulaymān (w. 150/767) yang berkomentar: “Lalu Dia [Tuhan] mewahyukan kepada hamba-Nya, [yakni Muhammad], apa yang Dia [Tuhan] wahyukan kepadanya” (fa-awha ila ‘abdihi Muhammad, salla Allāh ‘alayhi wa- sallām, ma awha ilayhi) (Tafsīr Muqātil b. Sulaymān, Cairo: 2002, vol.4:159); dan keempat, Ja‘far al-Sādiq (w. 148/765), yang berkata: “tanpa perantara antara Dia [Tuhan] dan dia [Muhammad], [Dia] secara rahasia [mewahyukan] kepada hati Nabi yang tak seorang pun tahu kecuali dia sendiri” (bi-la wāsita baynahu wa baynahu, sirrān ila qalbihi. la ya‘lam bi-hi ahadun siwāhu) (Ja‘far al-Sādiq, Kāmil al-Tafsīr al-Sūfi al-‘Irfāni li al-Qur’ān 2002:160).
Sejumlah penafsiran ini memberikan bukti kuat bahwa otoritas penafsir awal memproduksi makna baru atas surah ke-53 ayat 10. Yakni, Tuhan sendiri bertindak sebagai agen pewahyuan secara langsung; dan Dia memaknai hamba-Nya sebagai Muhammad; dan karena itulah, Dia mengkomunikasikan pesan wahyu secara langsung kepada Muhammad tanpa perantara Jibril, seperti yang selama ini dipahami secara umum dalam paham ortodoksi Islam.
Dalam mekanisme pewahyuan Al-Quran secara langsung ini, perjumpaan spiritual antara Muhammad dan Tuhannya bersifat rahasia, tak dapat diakses oleh siapa pun, dan hanya mereka yang berpartisipasi dalam pengalaman spiritual itulah yang mengetahui dan merasakan rahasia di balik perjumpaan tersebut.
Dua makna yang kontradiktif dalam mekanisme pewahyuan Al-Quran itu hanya semakin memperkuat tesis utama risalah ini bahwa makna dalam wahyu Al-Quran adalah sepenuhnya produk dari pemikiran manusia. Adalah otoritas penafsir Al-Quran pada fase awal Islam yang bertanggung jawab penuh dalam memproduksi makna teks yang kontradiktif itu. pada fase awal Islam, kontradiksi makna menjadi karakteristik utama dalam tradisi penafsiran Al-Quran yang multivokal.