BerandaTafsir TematikTafsir AhkamAkad Ju’alah dan Legalitasnya dalam Alquran dan Hadis

Akad Ju’alah dan Legalitasnya dalam Alquran dan Hadis

Dinamika kehidupan manusia meniscayakan meningkatnya kebutuhan terdadap materi, baik berupa barang maupun jasa. Dari sini, manusia sering melakukan transaksi untuk memperjual berikan barang dan jasa guna memebuhi kebutuhan hidup. Prilaku ekonomi yang sering dilakukan manusia selain jual beli adalah ijarah dan ju’alah.

Jika jual beli merupakan prilaku ekonomi yang objeknya berupa barang, ijarah dan ju’alah adalah transaki finansial yang menjadikan manfaat barang atau jasa sebagai objek akadnya. Akad ijarah sendiri dapat dimaknai dengan akad sewa menyewa, dan ini telah lumrah diketahui dan dilakukan masyarakat pada umunya. Namun untuk ju’alah, namanya tidak sepopuler ijarah meski sejatinya ia sangat identik dengan ijarah itu sendiri.

Baca Juga: Dalil Al-Quran Tentang Akad Ijarah 

Agar memperoleh sedikit gambaran mengenai akad ju’alah dan legalitasnya dalam Islam, simak penjelasan berikut ini.

Pengertian Ju’alah

Secara bahasa, term ju’alah merupakan derivasi dari kata al-ja’lu yang berarti upah yang diberikan kepada seseorang sebagai reward atas suatu pekerjaan, baik melalui kesepakatan kontrak atau tidak. Secara terminologi, terdapat beberapa ungkapan yang mendefinisikan ju’alah, di antaranya:

التزام مطلق التصرف عوضا معلوما على عمل معين أو مجهول لمعين أو غيره

Kesanggupan seseorang yang kapabel untuk memberikan upah/komisi yang diketahui (kadar dan nominalnya) kepada seseorang atas prestasi atau pekerjaan yang berhasil dilakukan, baik pekerjaan yang diketahui (standarnya) maupun tidak. [Fath al-Qarib, hal. 36]

Sedangkan dalam Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd dari kalangan Malikiyah mengemukakan definisi ju’alah sebagai berikut,

هو الإجارة على منفعة مظنون حصولها

Ju’alah adalah ijarah atau sewa-menyewa atas manfaat jasa yang realisasinya belum dapat dipastikan. [Bidayah al-Mujtahid, Juz 2, hal. 3]

Legalitas Akad Ju’alah

Jumhur ulama, yakni dari kalangan Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, melegalkan akad ju’alah sebagaimana akad ijarah. Keputusan ini didasarkan kepada aspek maslahat dan kebutuhan masyarakat terhadap akad ju’alah, meskipun sejatinya ada unsur gharar di dalamnya.

Berbeda dengan Mazhab Hanafiyah yang tidak memperbolehkan melakukan akad ju’alah. Alasannya, karena adanya spekulasi berupa ketidakjelasan ukuran pekerjaan dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam

Dalam Mazhab Hanafiyah, upah atau komisi (al-ju’lu) hanya berhak didapatkan ketika ada seseorang berhasil mengembalikan budak milik seseorang yang hilang. Batasannya adalah sampai tiga hari, dan upah yang diterima sebesar 40 dirham. Ketentuan ini, menurut mazhab Hanafi, didasarkan pada konsep istihsan. [Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 5, hal. 3965]

Selain karena kebutuhan manusia, kebolehan akad ju’alah juga didasarkan pada berbagai dalil, baik dari Alquran maupun Hadis. Di antaranya adalah firman Allah swt. dalam surah Yusuf ayat 72:

{ قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ}

Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala (tempat minum) raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan) seberat unta, dan aku jamin itu’. Q.S. Yusuf [12]: 72

Dalam Tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa ayat di atas menjadi dalil yang menjustifikasi kebolehan memberikan upah untuk pekerjaan yang tidak tertentu. Secara aturan, kegiatan tersebut tidak boleh diakukan karena terdapat spekulasi berupa ketidakjelasan standar pekerjaan yang dilakukan. Namun, karena kesepakatan semacam ini dibutuhkan berbagai situasi, syariat akhirnya melegalkannya. [Tafsir al-Qurthubi, Juz 9, hal. 232]

Selain ayat di atas, ulama juga menjadikan hadis tentang kisah sejumlah sahabat yang berhasil mengobati seorang pimpinan klan sebagai dalil kebolehan ju’alah. Dalam Kitab Shahih Bukhari, redaksi hadisnya sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ»

Dari sahabat abu said al-khudri ra., sesungguhnya sekelompok orang sahabat Nabi saw. singgah di salah satu perkampungan Arab, tetapi penduduknya tidak memberikan jamuan kepada mereka. pada saat itu, tiba-tiba kepala desa mereka digigit kalajengking. Kemudian mereka bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian memiliki obat atau seseorang yang bisa meruqyah?” para sahabat menjawab, “Kalian tidak menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya sampai kalian meberikan kami imbalan. Kemudian penduduk kawasan tersebut memberikan mereka beberapa ekor kambing. Lalu, seorang sahabat membacakan al-Fatihah, sembari mengumpulkan ludah dan menyemburkannya kepada pimpinan tersebut. akhirnya, ia pun sembuh dan mereka memberikn kambing-kambing tersebut. para sahabat tadi berkata, “Kami tidak akan mengambil kambing tersebut sampai kita menanyakannya kepada Nabi saw. mereka lalu bertanya kepada rasulullah saw. beliau lalu tersenyum dan bersabda, “bagaimana kalian tahu kalau al-Fatihah adalah ruqyah? Ambillah kambing tersebut dan berikan saya juga bagian.” H.R. Bukhari Muslim.

Para ulama menjadikan hadis di atas sebagai argumentasi diakuinya akad ju’alah dalam Islam. Hal ini karena adanya timbal balik berupa imbalan atau komisi atas tindakan pengobatan yang dilakukan oleh sahabat nabi tersebut kepada pemimpin suku. Kejadian tersebut diafirmasi oleh Nabi saw., sehingga hal tersebut sudah cukup menjadi bukti legalitas akad ju’alah secara syara’.

Baca Juga: Praktik ‘Ju’alah’ atau Sayembara dalam Alquran

Ala kulli hal, akad ju’alah merupakan akad ijarah atau jual beli jasa dengn format yang lebih fleksibel. Disyariatkannya akad ju’alah adalah untuk memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan yang membutuhkan bantuan tenaga orang lain, tetapi tidak sah dilakukan dengan akad ijarah.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Etika Islam di Ruang Publik: Memadukan Adab dan Martabat dalam Relasi Sosial

Etika Islam di Ruang Publik

0
Di zaman sekarang, banyak pertemuan terjadi baik secara fisik maupun virtual. Kita sering berada dalam berbagai majelis, entah itu dalam seminar, diskusi, atau acara-acara...