BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPraktik ‘Ju’alah’ atau Sayembara dalam Alquran

Praktik ‘Ju’alah’ atau Sayembara dalam Alquran

Dalam tradisi fikih, dikenal istilah ju’alah atau yang biasa diterjemahkan dengan ‘sayembara’. Ju’alah atau sayembara adalah perlombaan atau kompetisi dengan memperebutkan suatu hadiah. Hal ni menjadi perhatian para ulama fikih karena di dalam praktiknya terdapat muamalah (urusan kemasyarakatan), juga ada akad (janji) antara dua pihak yang harus dipenuhi. Ulama fikih telah menyusun beberapa ketentuan ju’alah atau sayembara agar hal tersebut bisa terlaksana dengan efektif, dua pihak sama-sama merasakan kemanfaatannya. Beberapa ketentuan yang sudah disusun tidak lain merupakan turunan atau penjelasan ulama fikih dari suatu ayat Alquran, surah Yusuf ayat 72 yang menjadi dasar hukum dari adanya ju’alah atau sayembara. Berikut penjelasannya.

Pengertian  Ju’alah

Secara etimologi ju’alah berarti mengupah. Sedangkan secara terminologi, definisi ju’alah  sebagaimana diterangkan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam  Fiqh al Sunnah, adalah

الجعالة عقد على منفعة يظن حصولها كمن يلتزم بجعل

al Ju’alah adalah akad atas suatu manfaat yang diperkirakan akan mendapatkan imbalan sebagaimana yang dijanjikan atas suatu pekerjaan.”

Dalam implementasinya akad ju’alah adalah suatu kontrak antara dua pihak. Pihak pertama menjanjikan untuk memberikan sejumlah imbalan tertentu kepada pihak kedua atas suatu usaha yang sifat, jenis dan batasan nya termaktub dalam perjanjian.

Baca Juga: Dalil Al-Quran Tentang Akad Ijarah

Dasar Hukum Ju’alah

Mayoritas ulama memperbolehkan transaksi ju’alah dengan berpedoman atas ayat Alquran, surah Yusuf ayat 72:

 قَالُوا۟ نَفْقِدُ صُوَاعَ ٱلْمَلِكِ وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٌ

Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”

Ayat diatas menjelaskan bahwa saat itu raja melakukan praktik ju’alah dalam bentuk sayembara, karena  raja kehilangan alat takar kerajaan. Di situ tercantum pengumuman bagi siapa saja yang bisa menemukan alat takar tersebut akan diberikan komisi berupa bahan makanan seberat beban unta. (At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayil Qur’an).

Ayat ini juga menunjukkan bahwa praktik ju’alah atau sayembara sudah ada sejak lama sebelum masa Nabi Muhammad, sebelum ada ajaran Islam tentunya. Dan seperti biasa, Alquran tidak detail menjelaskan ketentuan tradisi tersebut ke tataran teknis. Jadi, secara historis Alquran membenarkan adanya tradisi ju’alah atau sayembara. Namun untuk keabsahannya, nanti dulu.

Mengenai keabsahan akad jualah atau sayembara, Ibnu Qudamah memberikan komentar sebagaimana yang  disebutkan dalam  kitab al-Mughni,

أَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُوْ إِلَى ذلِكَ (الجُعَالَةِ)، فَإِنَّ الْعَمَلَ قَدْ يَكُوْنُ مَجْهُوْلاً كَرَدِّ اْلآبِقِ وَالضَّالَّةِ وَغَيْرِ ذلِكَ، وَلاَ تَنْعَقِدُ اِلإِجَارَةُ فِيْهِ وَالْحَاجَةُ دَاعِيَةٌ إِلَى رَدِّهِمَا وَقَدْ لاَ يَجِدُ مَنْ يَتَبَرَّعُ بِهِ، فَدَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَى إِبَاحَةِ الْجُعْلِ فِيْهِ مَعَ جَهَالَةِ الْعَمَلِ

Komentar Ibnu Qudamah ini menunjukkan bahwa akad ju’alah atau sayembara ini ada, karena kondisi di masyarakat tidak memungkinkan untuk hanya menggunakan akad sewa (terutama sewa jasa), karena jenis pekerjaan dan masa kerjanya tidak tentu, tidak tetap, berubah-ubah. Jenis pekerjaan dan masa kerja pada akad ju’alah atau sayembara tergantung kebutuhan dan keperluan pemberi imbalan atau orang yang mengadakan sayembara, Ibnu Qudamah mencontohkan orang yang kehilangan hewan peliharaan dan ingin peliharaannya tersebut ditemukan. Kenapa harus menggunakan imbalan atau upah? karena pemilik sayembara itu tidak menemukan orang yang mau membantu kebutuhannya dengan suka rela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, terlaksanalah ju’alah atau sayembara tesrebut.

Baca Juga: Tafsir Surah Alisra’ Ayat 34: Kewajiban Menepati Janji

Syarat Ju’alah

Penjelasan Ibnu Qudamah di atas menjadi pijakan dalam menentukan sah atau tidaknya suatu ju’alah atau sayembara. Berdasarkan keterangan tersebut, disimpulkan bahwa sayembara akan menjadi sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Shighat atau akad yang menunjukkan pekerjaan yang akan diberi imbalan. Lafaz shighat harus jelas dan mudah dipahami serta berisi janji untuk memberikan imbalan atas pekerjaan yang ditentukan. Seperti perkataan “Siapa yang bisa menemukan dompet yang hilang, maka baginya imbalan uang lima ratus ribu rupiah.”
  2. Upah atau i Imbalan ini harus disebutkan secara jelas jumlah dan kadarnya. Maka, tidak boleh mengungkapkan  “Siapa menemukan dompet saya, maka baginya hadiah menarik.” Hal ini merupakan akad Ju’alah yang salah, tidak sah, karena imbalan dalam perjanjian tersebut tidak jelas. Begitu pula sifat dari imbalan yang diberikan harus barang yang halal maka  tidak boleh upah yang dijanjikan dalam ju’alah berasal dari sesuatu yang haram seperti khamr, daging babi, atau barang-barang curian. Hendaknya upah yang diberikan sebanding dengan beratnya pekerjaan.
  3. Orang yang menjanjikan upah. Orang yang menjanjikan upah tidak harus yang mempunyai hajat, boleh jadi orang lain yang m
  4. Pekerjaan yang di sayembarakan bersifat mubah, seperti kompetisi penelitian, lomba menulis cerpen, menemukan barang hilang, dan lainnya.

Demikian penjelasan singkat tentang  ju’alah atau sayembara, mulai dari historisitasnya yang ada dalam Alquran, hukum dan syarat-syaratnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Kholid Irfani
Kholid Irfani
Alumni jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...