Telah disepakati oleh para ulama bahwa alasan peletakan dasar ilmu nahwu adalah guna menjaga “keselamatan” al-Quran dan menjaga ke-saliqah-an masyarakat Arab dalam berbahasa dan terhindar dari lahn (kesalahan berbahasa). Tujuan itulah yang menyebabkan faktor kemunculan ilmu nahwu.
Seiring semakin meluasnya penyebaran Islam dengan membawa bahasa aslinya, bahasa Arab, para linguis Arab risau akan tercampurnya bahasa Arab dengan bahasa bangsa-bangsa lain yang masuk Islam. Sementara semangat mempelajari Islam dan bahasa Arab—bahasa yang menjadi pilihan lahirnya agama Islam dan piranti untuk memahami al-Quran—semakin tinggi pada diri para bangsa non-Arab ini.
Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 2-4: Sumpah Allah atas Kerasulan Nabi Muhammad saw
Muasal Gejala Lahn
Lahn (kesalahan berbahasa) merupakan gejala yang telah muncul sejak masa Rasulullah Saw. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat yang menceritakan salah seorang sahabat Nabi yang salah berucap dalam majelis Nabi. Lantas Nabi memerintahkan sahabat lainnya untuk membenarkan kesalah ucapan saudaranya itu. Kendati gejala tersebut merupakan hal yang lumrah, seperti kesalahan berbahasa umumnya, akan tetapi semakin diperparah akibat percampuran bangsa Arab dengan bangsa lainnya.
Dengan demikian, kita melihat, ajakan Nabi untuk membenarkan lahn keluar melalui lisan sahabat Umar bin Khattab. Al-Zabidiy meriwayatkan dari Qasim bin Asbagh dari Abi Utsman al-Hindi bahwasanya surat Umar telah sampai kepada mereka yang sedang berada di Azerbaijan berisi perintah-perintah untuk umat Islam di sana dan salah satunya perintah belajar bahasa Arab.
Riwayat lainnya menceritakan kala masa Umar bin Khattab, ada seorang badui yang datang ke Madinah untuk belajar al-Quran. Lalu salah seorang di antara penduduk Madinah mengajarinya membaca al-Quran. Al-Qurthubi juga meriwayatkan cerita tersebut dari Ibn Abi Malikah. Suatu kali datanglah seorang badui—pada masa Umar bin Khattab—dan meminta salah satu penduduk Madinah untuk mengajarinya al-Quran, “Adakah yang berkenan mengajariku apa yang diturunkan kepada Muhammad?” lalu seorang lelaki menawarkan dirinya dan dimulailah pengajaran dengan membacakan surah al-Taubah [9].
Kala sampai pada ayat ketiga, lelaki yang mengajari badui tadi membaca surah al-Taubah [9] ayat 3 : Innallaha bari’un min al-musyrikina wa rasulihi (dengan membaca jarr rasulihi). Tiba-tiba si badui menyela, “Benarkah Allah berlepasdiri dari rasulnya? Jika Allah berlepasdiri dari rasulnya, maka saya pun juga berlepasdiri darinya.”
Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah
Cerita ini akhirnya sampai ke telinga Umar bin Khattab lalu memintanya untuk bertemu dengan Umar. “Benarkah kau berlepas diri dari Rasulullah?” si badui menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku datang dari kampung ke Madinah sini tanpa mengerti satu ilmu pun tentang al-Quran. Lalu aku bertanya adakah yang berkenan mengajariku al-Quran. Lalu seorang lelaki tadi mengajariku dengan surah al-Taubah,” dan melanjutkan cerita sebagaimana di atas.
Semua riwayat qiraat al-Quran yang tujuh berbunyi—dengan men-dhammah rasuluhu, bukan rasulihi;
وَاَذَانٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖٓ اِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْاَكْبَرِ اَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ ەۙ وَرَسُوْلُهٗ ۗفَاِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَاِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِى اللّٰهِ ۗوَبَشِّرِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ ٣
Artinya: “Dan satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka itu lebih baikmu; dan kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (al-Taubah [9] : 3)
Pada ayat tersebut, kesalahan pada rasuluhu menjadi rasulihi sangatlah fatal. Sebab jika dibaca rasulihi, maka berarti Allah berlepasdiri dari orang-orang musyrik dan (juga berlepasdiri) dari rasulnya. Wajar jika si badui tadi menyela dan bertanya bagaimana bisa Allah berlepasdiri dari rasulnya. Jika Allah saja berlepasdiri dari rasulnya, apalagi si badui tadi, pikirnya.
Selain itu, gejala lahn juga terjadi pada surah al-Haqqah [69] ayat 37:
لَّا يَأْكُلُهُ اِلَّا الْخَاطِـُٔوْنَ ٣٧
Artinya; “Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.”
Kesalahan pada ayat tersebut adalah lafal al-khathi’un(rafa’-fail) dibaca al-khathi’in(nashab). Cerita ini diriwayatkan al-Anbari dalam Tarikh Adab al-‘Arabiy (1997) karya Musthafa Sadiq al-Rafi’i.
Kedua kesalahan di atas—barangkali ada riwayat lainnya—membuat Ibrahim Abdullah Rafidah dalam bukunya al-Nahw wa Kutub al-Tafsir(1990) meyakini bahwa gejala lahn muncul sejak awal-awal masa Islam, bisa jadi terjadi juga kesalahan pada ayat lainnya selain kedua ayat tersebut.
Baca juga: Memahami Makna Kata Jaza dalam Al-Quran dan Penggunaannya
Faktor-Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu
Lantaran riwayat-riwayat di atas, Ibrahim (1990) membagi faktor kemunculan ilmu nahwu menjadi dua, yaitu faktor umum dan khusus. Faktor khusus yang pertama adalah banyaknya lahn pada sebagian ayat al-Quran memunculkan teori-teori peletakan ilmu nahwu. Kedua, adanya riwayat ajakan Ziyad kepada Abu al-Aswad untuk meletakkan dasar ilmu nahwu. “Buatlah sesuatu yang dapat menjadi imam dan bermanfaat bagi manusia serta dapat mengetahui Kitabullah.” Kelak dibuatlah ilmu nahwu itu.
Adapun faktor umumnya adalah pertama, untuk menjaga dan merawat keselamatan al-Quran dari gejala lahn. Kedua adalah upaya mendokumentasikan teks-teks al-Quran supaya menjaganya dari kesalahan dalam membaca. Ketiga adalah pemberian tanda pada mushaf untuk membedakan huruf satu dengan huruf lainnya. Sebab kesalahan pada huruf ketika membaca al-Quran ini sama fatalnya dengan kesalahan membaca harakat yang dapat merubah makna al-Quran.
Baca juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran
Faktor-faktor yang dibabarkan Ibrahim dalam Tarikh Adab al-‘Arabiy kemudian diklasifikasi oleh Syuqi Dhaif dalam Madaris al-Nahwiyyah menjadi dua; teoligis dan politis. Faktor-faktor yang berkaitan dengan al-Quran dimasukkan dalam faktor teologis, sementara yang berkaitan dengan ekspansinya Islam ke wilayah-wilayah non-Arab (‘ajam) oleh Syauqi disebut sebagai faktor politis.
Pada akhirnya, tujuan ilmu nahwu yang mulanya untuk menjaga lahn dalam membaca al-Quran dan berkomunikasi, kini menjadi suatu ilmu tersendiri yang sarat dengan analisis filosofis pada setiap bab-babnya. Wallahu a’lam.