Pada penghujung abad ke-20, lahir para cendekiawan muslim menuangkan berbagai ide dan gagasan terutama dalam kajian keislaman. Para pemikir muslim modern menyodorkan beragam paradigma terkait reinterpretasi, rekonstruksi, dan semacamnya.
Al-Qur’an dan kandungannya menjadi sasaran utama reinterpretasi, beriringan dengan rekonstruksi metodologi penafsiran sebagai fondasi pembacaan sumber ajaran Islam. Studi Al-Qur’an dan metodologi tafsir ini akan senantiasa berkembang secara signifikan, sejalan dengan kecepatan perkembangan sosial budaya dan peradaban umat manusia sejak Al-Qur’an diwahyukan hingga saat ini.
Fakta ini agaknya menjadi sebuah konsekuensi logis dari adanya gairah umat Islam untuk sebisa mungkin menyelaraskan antara Al-Qur’an dengan problem sosial kemanusiaan yang semakin tak berujung. Hal ini juga menjadi bentuk implikasi dari haluan teologis umat Islam bahwa Al-Qur’an akan senantiasa relevan dalam setiap masa dan tempat (shalihun li kulli zaman wa makan) (Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsuddin, 2000, hal. 9).
Sejalan dengan kenyataan tersebut, lahirlah seorang tokoh cendekiawan muslim yang berupaya menjawab tantangan zaman seperti Muhammad Syahrur. Dia mengemukakan bahwa Al-Qur’an harus senantiasa dikaji dan diinterpretasikan sesuai dengan tuntutan serta kebutuhan umat manusia di era kontemporer (Syahrur, 1992). Dalam hal ini, Syahrur sangat menekankan bahwa setiap generasi mampu menyuguhkan penafsiran yang dapat digali dari realitas Al-Qur’an.
Baca Juga: Muhammad Syahrur, Salafisme dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan
Lebih jauh dikatakan pula bahwa persoalan pokok Fiqh Islam dan Tafsir Al-Qur’an konvensional saat ini berasal dari kecacatan metodologi yang kurang mengindahkan karakteristik dan fleksibilitas pemaknaan teks-teks kitab suci. Sehingga, hal ini cenderung memberatkan dan mempersempit ruang gerak umat Islam, lantaran akan sulit melebur dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan aktualisasi abad ke-20.
Dengan dorongan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan, Syahrur bersikeras bahwa muslim modern memiliki konstruksi metodologis yang jauh lebih unggul daripada generasi pendahulu mereka pada abad ke-7, khususnya dalam menarik pesan-pesan Al-Qur’an. Atas dasar ini, Syahrur lebih menerapkan metode interpretasi Al-Qur’an menggunakan Kamus Maqayis al-Lughah ibn al-Faris atau ilmu modern linguistik sebagai rujukan utama untuk mengkaji antagonisme berbagai makna kata.
Secara umum, metodologi penafsiran Syahrur ini berlandaskan pada teori-teori dalam filsafat bahasa atau linguistik, yang selanjutnya dilakukan telaah makna tiap-tiap kata. Dia juga berpandangan bahwa tidak ada sinonim (muradif) dalam bahasa Arab. Dengan ini, Syahrur kemudian memberikan batasan dalam kaidah dasar metodologi linguistik yang ia pegang.
Batasan-batasan tersebut antara lain pertama, tidak ditemukan sinonim (muradif) dalam bahasa Arab, lantaran bisa jadi satu kata mengandung beragam makna. Sehingga, teori adanya sinonim dianggapnya sebatas kepalsuan dan muslihat. Kedua, kata merupakan bentuk ekspresi dari makna. Ketiga, makna adalah perangkat terpenting dari bahasa. Keempat, pemahaman terhadap bahasa tidak akan tercapai tanpa memperoleh keselarasan bahasa tersebut dengan nalar dan realitas objektif (Syahrur, 1992).
Tak hanya itu, Syahrur juga membagi substansi Al-Qur’an dalam tiga kategori yaitu Umm al-Kitab yang mencakup ayat-ayat muhkamat, Al-Qur’an wa al-Sab’ al-Matsani yang meliputi ayat-ayat mutasyabihat, serta Tafsir al-Kitab. Adapun Umm al-Kitab yang diwahyukan kepada Nabi berisi kajian hukum dan akhlak, sehingga bisa membuka pintu ijtihad di luar ibadah murni. Pastinya, disesuaikan pula dengan situasi dan kondisi suatu masyarakat.
Hasil interaksi intelektual umat Islam dengan Umm al-Kitab boleh jadi berbeda antara masa yang satu dengan lainnya. Sehingga, Syahrur menegaskan bahwa penerapan hukum pada era Nabi hanya sebatas metode awal penafsiran dan tidak menjadi satu-satunya pedoman penerapan hukum Umm al-Kitab yang relevan sepanjang zaman. Tuturnya, selain bersifat fleksibel, Umm al-Kitab juga bercorak subjektif. Artinya, keberadaan berbagai aturan hukum, norma, maupun akhlak yang terkandung di dalamnya sangat bergantung pada upaya manusia masing-masing (Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsuddin, 2000, hal. 135).
Selain Syahrur, lahir pula tokoh cendekiawan muslim lain yakni Fazlur Rahman yang datang dengan pola pikir kritis terkait eksistensi Islam sebagai warisan keagamaan, kebudayaan, politik, serta etika di tengah gelombang modernisasi dan transformasi global yang semakin tak terkendali. Pada satu sisi, kenyataan ini tentu memberikan pengaruh positif bagi umat Islam, terlebih dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain terdapat bahaya yang mengancam nilai-nilai kepribadian dan kebudayaan Islam.
Modernisasi ini perlahan juga mengubah tatanan kehidupan manusia, hingga menodai dunia pendidikan. Fazlur Rahman mengkaji bahwa sistem pendidikan yang tidak bernafaskan keislaman akan mengakibatkan tumbuhnya benih-benih ateisme yang merobohkan kemurnian dan keutuhan nilai-nilai moral Islam. Oleh sebab itu, digagaslah berbagai upaya rekonstruksi falsafah intelektual Islam era modern.
Fazlur Rahman mengangkat kebangkitan dan pembaharuan sebagai tema utama dalam paradigma pemikirannya. Unsur-unsur tajdid (pembaharuan) dan ijtihad (kebebasan berpikir) kiranya patut dijadikan komponen pertama dan utama dalam ruang lingkup pemikiran Islam, termasuk pada kajian Al-Qur’an (Rahman, 1989, hal. 11-12). Urgensinya adalah bagaimana menginterpretasikan Al-Qur’an dengan metode yang cocok untuk menggali kandungannya.
Hal ini dianggap cukup penting lantaran pada faktanya, Al-Qur’an layaknya sebuah puncak gunung es yang mengapung di mana sembilan persepuluh darinya berada di bawah lautan (historis) serta hanya tersisa sepersepuluh yang muncul di permukaan. Dengan demikian, dalam mengkaji Al-Qur’an seseorang harus mendalami historisitas Nabi dan dakwahnya selama 23 tahun. Di samping itu, perlu pula menelaah situasi dan kondisi masyarakat Arab awal Islam, termasuk tradisi, tatanan sosial, serta pandangan hidup mereka.
Dalam analisisnya, Fazlur Rahman menyatakan bahwa untuk menjadikan Islam senantiasa relevan dengan dinamika kehidupan, umat Islam harus membatasi pola penafsiran konvensional dan tekstual. Lalu lebih fokus pada pemahaman girah Al-Qur’an yang hakikatnya mengandung pesan-pesan moril universal, dan tidak berupa ketetapan hukum yang spesifik (Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsuddin, 2000, hal. 49).
Baca Juga: Dunia Berduka, Intelektual dan Filsuf Asal Mesir Hasan Hanafi Wafat
Selain kedua tokoh tersebut, hadir pula seorang cendekiawan muslim dan tokoh pembaharu yang menorehkan keprihatinannya terhadap keadaan umat Islam serta warisan intelektual di dalamnya. Dialah Hassan Hanafi yang atas kekhawatirannya ini akhirnya melahirkan sebuah gagasan baru yang dikenal dengan Kiri Islam atau Al-Yasr al-Islamy (Noor, 2013, hal. 74-87).
Ketiga cendekiawan muslim yang telah berpulang inilah yang terbilang sangat getol dengan berbagai ide pembaharuan, utamanya dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an. Meski cukup banyak yang memandang pemikiran mereka dominan terkontaminasi oleh pikiran Barat, namun tak dapat dipungkiri bahwa buah pemikiran mereka mampu menciptakan nuansa baru dalam dunia keislaman. Terlebih dalam mempertahankan eksistensi spirit Al-Qur’an yang semakin menggelora dan tak lekang oleh zaman. Wallahu A’lam.