BerandaTafsir TematikAl-Qur’an dan Realitas Sosial: Membincang Makna Adil dalam Islam

Al-Qur’an dan Realitas Sosial: Membincang Makna Adil dalam Islam

Berbicara tentang Islam, bukan saja berbicara tentang kemanusiaan dan revolusi damai yang diproklamirkan pemegang tonggak karir Islam pertama kali, Nabi Muhammad saw. Akan tetapi turut serta membincang keadilan yang menjadi nilai penting mengapa ajaran Islam bisa klop dan mudah diterima.

Keadilan merupakan tema sentral yang terus diperbincangkan umat manusia. Dalam bidang teologi, filsafat, hukum, politik, sampai pada ekonomi dan sosial pun keadilan akan ada dan menjadi denyut nadi dalam topik pembahasannya (Konsep Keadilan dalam Al-Qur’an, 8).

Al-Qur’an lebih dari sekadar kompleks dalam menyusun rancangan hukum-hukum yang serasi dengan kebutuhan manusia. Salah satunya konsep sikap adil. Manusia sebagai makhluk sosial, dalam tatanan dan hubungan sosial, kemampuan bersikap adil sangat dibutuhkan. Adil dalam bersosialisasi dibutuhkan dalam segala aspek. Tidak terkecuali dalam berpikir dan menentukan sikap ketika harus berhadapan dengan mereka yang seagama maupun tidak.

Makna adil dalam Al-Qur’an

Hasil kajian beberapa literatur menyimpulkan bahwa setidaknya ada dua terma yang dipakai Al-Qur’an untuk menyebut “keadilan”. Yaitu kata ‘adl dan qist (Mufradat Alfaz Al-Qur’an, 75). Masing-masing digunakan dengan macam-macam derivasi katanya. Jumlah kata yang mengandung makna adil ada 51 buah dan tersebar dalam 44 ayat. Dengan rincian sebagaimana berikut: kata ‘adl 28 buah dalam 24 ayat dan kata qist 23 buah dalam 20 ayat (al-Mu’jam alMufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, 165-166)

Untuk memfokuskan pembahasan, dalam tulisan ini hanya akan dibahas makna adil dalam surah Al-Maidah ayat 8 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Ma’idah: 8).

Surah al-Maidah ayat 8 ini turun kepada Nabi Muhammad saw berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang hendak membunuh beliau. Al-Tabari menukil riwayat dari Abdullah bin Katsir yang berkata; “Rasulullah saw pergi ke orang-orang Yahudi untuk meminta pertolongan kepada mereka tentang diyat namun mereka malah hendak membunuh beliau, oleh karena itu Allah Swt berfirman: “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” (Tafsir alTabari, Vol VIII, 550).

Menurut Ibnu Kasir, surah al-Maidah ayat 8 ini menyeru kepada orang-orang beriman supaya menjadi orang-orang yang menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan kezaliman. Menegakkan keadilan karena Allah, bukan karena manusia atau karena harga diri.

Dalil hadits yang mendukung pesan ayat tersebut antara lain sebagaimana yang disebut­kan dalam kitab al-Sahihain:

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّهُ قَالَ: نَحَلَنِي أَبِي نَحْلا فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهد رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَجَاءَهُ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ: “أُكَلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ مِثْلَهُ؟ ” قَالَ: لَا. قَالَ: “اتَّقُوا اللَّهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ”. وَقَالَ: “إِنِّي لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْر”. قَالَ: فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ.

Dari An-Nu’man ibnu Basyir, ia men­ceritakan bahwa ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pemberian yang berharga. Ibunya, Amrah binti Rawwahah ber­kata; “Aku tidak rela sebelum kamu mempersaksikan pemberian ini kepada Rasulullah saw.” Ayahnya kemudian datang menghadap Rasulullah saw. untuk meminta kesaksian atas pemberian tersebut. Maka Ra­sulullah saw. Bertanya; “Apakah semua anakmu diberi hadiah yang semisal?” Ayahku menjawab; “Tidak.” Lalu Rasulullah Saw. Bersabda; “Bertakwa­lah kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anak­mu. Sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas kezaliman.” Lalu ayahku pun pulang dan mencabut kembali pemberian darinya tersebut. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Selain itu, lanjut Ibn Kasir, ayat tersebut juga menyeru supaya jangan sekali-kali seseorang membiarkan perasaan bencinya terhadap ­suatu kaum mendorongnya berlaku tidak adil kepada me­reka. Akan tetapi ia hendaknya berusaha tetap berlaku adil terhadap setiap orang, baik teman ataupun musuh, sebab sikap adil lebih dekat kepada takwa daripada mening­galkannya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Makna adil menurut para ahli

Berbicara tentang keadilan, semua kita tahu ia merupakan gagasan agama paling sentral. Tidak hanya dunia Islam, semua agama, bahkan tradisi sosial, dan etika kemanusiaan turut serta mengajarkannya.

Hal ini ditegakkan dalam rangka upaya meraih cita-cita kemanusiaan dalam kehidupan bersama. Abu Bakar al-Razi – salah satu filsuf abad pertengahan – bahkan menegaskan, “Tujuan tertinggi untuk apa manusia diciptakan dan ke mana ia diarahkan bukan untuk memenuhi kesenangan fisik. Akan tetapi lebih pada pencapaian ilmu pengetahuan dan praktik keadilan.” Senada dengan pernyataan al-Razi di atas, filsuf klasik paling terkemuka, Aristoteles juga menyatakan bahwa keadilan merupakan kebajikan tertinggi. (Teologi Keadlan Perspektif Al-Qur’an, 155).

Gagasan yang dibangun Aristoteles ini terlihat seulur dengan latar belakang ayat tersebut difirmankan dan diturunkan. Dalam tafsirnya, al-Tabari menyebutkan sebuah hadis yang menceritakan pada zaman Nabi terjadi ketimpangan sosial, bahkan permusuhan antara orang fakir dan orang kaya.

Saat itu, pembelaan Nabi jatuh pada kelompok fakir, dengan anggapan orang fakir tidak akan bisa menyentuh atau menzalimi orang yang kaya. Dan tidak berlaku sebaliknya. Maka turunlah ayat ini sebagai teguran untuk Nabi agar senantiasa berlaku adil dan menjadi penegak keadilan.

Secara nalar kemanusiaan, apa yang dilakukan Nabi tidaklah menyimpang dari jalur “kebenaran” sehingga beliau harus mendapat teguran. Akan tetapi, secara mutlak, kacamata dan sudut pandang Tuhan jauh lebih jeli dan tajam. Tidak semua orang miskin dianiaya orang kaya. Dan tidak semua orang kaya bisa menganiaya orang kelas bawah. Andai saja keputusan Nabi untuk meletakkan pembelaannya terhadap kelas bawah yang lumrahnya memang teraniaya, barangkali jenis kebaikan yang coba ditawarkan Nabi tidak dapat dipahami.

Dalam salah satu tulisannya, Ibn Qayyim al-Jauziyyah  mengatakan:

“Sesungguhnya Allah Swt mengutus rasulNya dan menurunkan kitab suciNya agar manusia memutuskan urusan mereka dengan adil. Yang dengannya langit dan bumi berdiri tegak. Jika telah tampak bukti-bukti keadilan dengan jalan apapun ia diperoleh, maka di situlah hukum Allah dan agamaNya. Maka cara apapun yang menghasilkan keputusan yang adil adalah bagian dari agama dan tidak bertengan dengannya.” (al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, 153).

Adapun terkait masalah larangan berbuat zalim, disebutkan dalam sebuah hadith Qudsi, Allah Swt menyampaikan:

يا عبادى إنى حرمت الظلم على نفسى وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا

Wahai hamba-hambaKu, Aku telah mengharamkan kezaliman atas DiriKu dan kepada kalian. Maka janganlah kalian saling menzalimi” (Shahih Muslim, Vol VIII, 16).

Nabi juga pernah bersabda:

اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة

Hindarilah kezaliman, karena ia adalah kegelapan berlapis-lapis di hari kiamat kelak” (Shahih Muslim, Vol VIII, 18).

Baca juga: Berkat Kegigihan Muslimah Memperjuangkan Keadilan, Firman Allah Turun dalam Surat Mujadilah

Penutup

Dari beberapa bidang gagasan mengenai makna adil di atas setidaknya dapat disimpulkan, bahwa upaya penegakan keadilan memiliki dua sisi yang harus diperjuangkan secara simultan: menciptakan moralitas kemanusiaan yang adiluhung dan menghapuskan segala bentuk kekerasan, tirani, penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, penipuan, dan segala moralitas rendah lainnya. Wallahu a’lam.

Baca juga: Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi

Lifa Ainur R
Lifa Ainur R
Mahasiswi STAI Al Fithrah
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...