Banyak ulama telah melakukan penyelidikan terhadap makna-makna Alquran dalam bentuk karya-karya tafsir. Kendati demikian, upaya tersebut belumlah usai, justru membuka adanya eksplorasi makna. Dengan banyaknya penyelidikan tersebut memperlihatkan proses sekaligus prosedur yang akan terus menerus dilakukan. Hal ini dikarenakan Alquran memuat kekayaan makna sehingga bagi siapa saja yang berusaha menyelidikinya (melakukan upaya penafsiran) belum mampu merepresentasikan keseluruhan maknanya secara komprehensif. Ini menyebabkan tafsir selalu berkembang, kritik metodologis menjadi hidup dan dialektika tafsir dengan demikian akan selalu berlanjut.
Enigma Penafsiran al-Huruf al-Muqatta‘at
Salah satu lokus tafsir Alquran yang masih senantiasa memunculkan pertanyaan akan makna adalah perihal al-huruf al-muqatta‘at (the disconnected letters), biasa juga disebut fawatih atau awa’il al-suwar (pembuka atau permulaan surah-surah). Pada ayat-ayat yang di dalamnya tercakup al-huruf al-muqatta‘at memunculkan banyak ragam makna (polivalensi), terlebih karena mereka tidak hadir dalam bentuk satu kata atau kalimat utuh, tetapi dalam bentuk huruf-huruf yang terpotong sehingga maknanya tidak bisa tercerap begitu saja, butuh upaya penafsiran bahkan takwil.
Ayat-ayat grafem tersebut bisa ditemukan di dalam permulaan dari 29 surah. Terkadang mereka hadir dalam bentuk huruf tersendiri, seperti ص (Q. 38:1), ق (Q. 50:1), dan ن (Q. 68:1), tapi lebih sering muncul dalam bentuk berkelompok. Pengelompokan itu terdiri dari pasangan dua huruf, yaitu طه (Q. 18:1), طس (Q. 27:1), يس (Q. 36:1), dan حم (Q. 40:1, Q. 41:1, Q. 43:1, Q. 44:1, Q. 45:1, Q. 46:1); dari tiga huruf, yaitu الم (Q. 2:1, Q. 3:1, Q. 29:1, Q. 30:1, Q. 31:1, Q. 32:1), الر (Q. 10:1, Q. 11:1, Q. 12:1, Q. 14:1, Q. 15:1), طسم (Q. 26:1, Q. 28:1); dari empat huruf, yaitu المص (Q. 7:1), المر (Q. 13:1); kemudian dua kali dalam kelompok lima huruf, yaitu كهيعص (Q. 19:1) and حم عسق (Q. 42: 1) (Martin Nguyen, Exegesis of Huruf al-Muqatta‘a, Journal of Qur’anic Studies, Vol. 14, No. 2, 2012, hlm. 1).
Baca juga: Ayat-Ayat Spesial itu Dikenal dengan Huruf Muqattaah
Banyak ulama yang telah menafsirkan ayat-ayat tersebut. Sebagian menganggap bahwa maknanya hanya diketahui oleh Allah Swt., sebagaimana komentar al-Tha‘labi pada Q.S. 2: 1. Ia menyatakan, “Kami percaya pada proses pewahyuan (tanzil) mereka, tetapi kami menyerahkan penafsiran (ta’wil) pada Allah Swt.”
Sebagiannya lagi mencoba untuk melampaui anggapan tersebut. Salah satunya adalah Ibn ‘Arabi yang menganggap bahwa meskipun grafem-grafem tersebut terletak pada permulaan 29 surah berbeda, seluruhnya terikat (secara makna) satu dengan lainnya. Sehingga di dalam al-Futuhat al-Makkiyyah ia menerangkannya dalam bab terkhusus berjudul Manzil al-Rumuz (The Abode of Symbols). Martin Nguyen, seorang dosen Studi Agama, menganggap Ibn ‘Arabi mengerti bahwa terdapat polivalensi dalam mengurai makna dari ayat-ayat ‘spesial’ tersebut. Selain itu ada juga yang menganggap bahwa huruf-huruf tersebut tidak memiliki makna.
Eksplorasi Penafsiran al-Huruf al-Muqatta‘at
Apakah huruf-huruf tersebut memang tidak memiliki makna? Jika demikian, kenapa di Alquran justru banyak keterangan yang memperlihatkan sebaliknya? Misalnya, di Q.S. al-Baqarah, 2: 2, “Itulah kitab (Alquran) yang tiada keraguan di dalamnya.” atau di Q.S. Yunus, 10: 1. “Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Alquran yang penuh hikmah.” Tentu penyandingan al-huruf al-muqatta‘at dengan frasa-frasa tersebut bukan tanpa alasan. Dalam merespon hal ini seorang ahli nahwu, al-Akhfash al-Awsat, menyodorkan pertanyaan tentang apakah mungkin sesuatu yang berasal dari Alquran tidak memiliki makna (Martin, 7).
Dalam kategorisasinya, ayat-ayat grafem tersebut termasuk ke dalam ayat mutashabih, yaitu samar. Sehingga ayat tersebut cenderung ditafsirkan secara equivokal, tidak seperti muhkam yang univokal.
Baca juga: Penafsiran Kyai Sholeh Darat tentang Makna Alif Lam Mim
Beberapa ulama mencoba mengurai makna dari huruf-huruf tersebut. Pada masa-masa awal, misalnya, Ibn ‘Abbas mencoba menafsirkan makna a-l-m yang merupakan singkatan dari ana Allah a‘lam (Akulah Tuhan, Aku Mengetahui), a-l-r dengan ana Allah ara (Akulah Tuhan, Aku Melihat), a-l-m-s dengan ana Allah a‘lam wa-afsil. Kemudian ada al-Zamakhsari dengan pengertian bahwa huruf-huruf tersebut hadir sebagai i‘jaz, yaitu makna yang dihadirkan untuk memperlihatkan bahwa Alquran tersusun dari huruf spesial sehingga ia tidak memungkinkan untuk diimitasi (Martin, 10).
Sayyid Qutb, pemikir dari Mesir, mencoba menafsirkannya secara analogis-materialis. Disebabkan huruf-huruf tersebut adalah elemen-elemen dasar dari alfabet Alquran, dengan demikian, menurut Qutb, diandaikan sebagai tanah bumi. Sebagaimana Allah mengambil tanah dan darinya menciptakan kreasi yang luar biasa, sehingga Dia juga mengambil huruf-huruf itu untuk kemudian dihasilkanlah darinya Alquran. Di lain sisi, manusia hanya mampu membuat batu bata dan ubin. Ciptaan mereka bersifat sangat terbatas. Demikian juga kemampuan mereka memahami huruf-huruf berakhir pada ‘keagungan dan kekuatan’ wahyu Tuhan (Martin, 12).
Baca juga: Tafsir Alquran Bersifat Multivokal, Ini Tiga Alasannya
Sedangkan kalangan sufi menafsirkannya dengan paradigma berbeda dari contoh-contoh sebelumnya. Mereka memperhatikan nilai kebermaknaan (meaningfulness) dari makna dalam melakukan pendekatan terhadap al-huruf al-muqatta‘at.
Ibn ‘Arabi, seperti yang telah disinggung sebelumnya, juga tidak melepaskan perhatiannya pada huruf-huruf. Dalam a-l-m, misalnya, ia menghadirkan makna yang lebih bersifat esoteris. Ia menganggap a (huruf terpisah dari l-m) sebagai ‘Esensi Yang Sempurna dan Transenden’ dari Tuhan. Pemaknaan demikian ditujukan pada murid-murid dalam jalur sufistik. Sebuah karakterisasi dalam rangka mencapai pendalaman batiniah.
Dari sini dapat dilihat Ibn ‘Arabi meneropong lebih dalam makna dari huruf-huruf, secara khusus a-l-m sebagai simbol dari totalitas eksistensi yang menggambarkan elemen-elemen dari transendensi Tuhan sekaligus imanensi manusia. Dari pandangan ini, yaitu kemungkinan untuk bermeditasi melalui huruf-huruf menunjukkan ada pembayangan kembali (re-envision) terhadap realitas melalui kebenaran mistis (Martin, 12).
Kritik terhadap Kalangan Revisionis
Dari beberapa contoh tersebut dapat dipahami bahwa dalam tradisi tafsir, sarjana-sarjana muslim telah banyak melakukan penyelidikan. Dialektika kritis telah terjadi selama berabad-abad dalam konteks pemahaman terhadap al-huruf al-muqatta‘at.
Baca juga: Mengenal Kesarjanaan Revisionis dalam Studi Alquran
Di lain sisi, lokus tafsir ini juga telah mengundang ketertarikan sarjana-sarjana barat. Kendati demikian, implikasi tafsir yang muncul memiliki perbedaan yang begitu signifikan, bahkan cenderung pada pandangan revisionis. Beberapa misalnya menganggap bahwa al-huruf al-muqatta‘at bukanlah bagian dari Alquran karena adanya asumsi bahwa huruf-huruf tersebut tidak wajar dengan bandingan norma teks Alquran. Hal ini berimplikasi pada anggapan bahwa al-huruf al-muqatta‘at tidak orisinal, tetapi tambahan dari penulisnya. Narasi ini sebagaimana penyelidikan yang dilakukan oleh Jacob Golius (m. 1667).
Menurut Martin, hal ini menunjukkan bahwa kalangan revisionis itu tidak melihat sejarah Islam secara utuh. Selain itu juga memperlihatkan bahwa mereka tidak memperhatikan, bahkan menolak memperhatikan keluasan diskursus yang telah diperlihatkan oleh sarjana-sarjana muslim berabad-abad lalu. Wallahu a‘lam.