BerandaTafsir TematikAlquran Tidak Melegitimasi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Alquran Tidak Melegitimasi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Perbincangan tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali hangat setelah potongan video seorang ustadzah viral di media sosial. Saya asumsikan para pembaca sudah menonton video tersebut dan sudah melihat unggahan yang bersangkutan melakukan klarifikasi dan permohonan maaf. Tentu kita tidak bisa menutup mata bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga masih sering terjadi bahkan di lingkungan terdekat kita sendiri.

Berdasarkan data Kementerian Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sedikitnya ada 8.803 kasus aduan yang diterima lembaga tersebut sepanjang tahun 2021. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang paling mendominasi sebanyak 74 persen dari total aduan. Angka yang lebih besar diperlihatkan Komnas Perempuan berdasarkan catatan tahunan (Catahu) 2021 terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan rincian 291.677 adalah kasus yang ditangani di Pengadilan, 8.234 kasus ditangani Komnas Perempuan, dan sisanya berada di lembaga lain.

Baca Juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin

Data di atas tidak bisa kita lihat hanya sebatas angka. Di sana terdapat perempuan-perempuan tidak berdaya yang seharusnya mendapatkan rasa aman dari negara dan kita semua. Akibat dari kasus-kasus seperti ini bisa saja berdampak sangat panjang bagi anak cucu kita dan generasi mendatang.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menyikapi orang-orang yang menganggap bahwa dalam Alquran Surah Annisa ayat 34 telah termaktub ajaran tentang memukul istri? Sebagaimana bunyi ayat berikut:

 وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا …

… Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.

Saya sengaja memberikan tanda coret pada terjemah kata pukullah pada ayat di atas. Karena bila kita menerjemahkan kata dharaba dengan pukul, maka akan timbul salah paham seolah-olah Islam menganjurkan kekerasan. Padahal Rasulullah saw sendiri, selaku pembawa ajaran Islam, tidak pernah sekali pun bersikap kasar kepada istri dan keluarganya, apalagi sampai memukul.

Kembali pada pertanyaan tadi, untuk menjawabnya pertama-tama kita perlu menegaskan sekali lagi bahwa Alquran tidak mengajarkan untuk memukul istri. Kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa dibiarkan dan kita sudah sepakat bahwa itu termasuk ke dalam tindak pidana, ancamannya hingga 15 tahun penjara. Oleh karena itu, ada kekeliruan dalam memahami ayat tersebut.

Para mufasir mulai dari al-Thabari, Ibnu Katsir, hingga Jalalain sepakat bahwa penjelasan lafaz dharaba pada ayat ini adalah dharban ghairu mubarrih (pukulan yang tidak menyakitkan). Dari penjelasan para mufasir ini, kita bisa mengartikan dharaba dengan ‘menepuk’. Menurut saya arti ini yang lebih tepat untuk menerjemahkan kata dharaba pada ayat tersebut. Kita bisa membayangkan ketika sepasang suami-istri sedang berselisih, maka jalan keluarnya adalah berbicara dari hati ke hati, berpelukan sambil menepuk punggung pasangan. Inilah jalan keluar yang paling masuk akal dibandingkan dengan tetap mengartikan kata dharaba dengan memukul.

Pehamaman seperti ini senada dengan pendapat Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar yang menjelaskan bahwa kata dharaba pada ayat ini tidak bisa dipahami secara harfiah, akan tetapi harus dimaknai secara metaforis dalam arti mendidik atau memberikan pelajaran.

Baca Juga: Tafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34

Begitu pun penjelasan dari Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, kata dharaba yang terdapat pada ayat adalah simbol mengenai larangan melanggar aturan yang apabila dilanggar, maka suami boleh menegakkan aturan seperti memukul istri dengan kayu siwak pada bahu sebanyak tiga kali. Praktik memukul dengan kayu siwak (kayu sebesar jari kelingking), lagi-lagi tidak bisa dibayangkan sebagai pukulan yang mencederai, tetapi sebatas menepuk.

Selain menepuk, makna lain yang bisa juga digunakan untuk kata dharaba pada ayat di atas adalah al-safar wa al-ib’ad (bepergian jauh). Artinya untuk meredakan perselisihan antara suami-istri adalah dengan traveling, jalan-jalan ke tempat yang menyenangkan. Pemaknaan ini kiranya lebih tepat dan relevan untuk dipraktikkan bagi pasangan suami-istri masa kini. Wallahu A’lam.

Wildan Imaduddin Muhammad
Wildan Imaduddin Muhammad
Dosen Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...