Banyak dari kita melakukan hal yang kurang tepat saat mendampingi orang yang sedang menjelang ajal atau sakaratulmaut. Alih-alih membuatnya ingat kepada rahmat Allah, ada yang justru menakut-nakutinya dengan azab Allah atau membuat dirinya teringat dengan keluarga atau tanggung jawab yang ditinggalkan. Padahal para ulama menjelaskan, orang yang sedang sakratulmaut sebaiknya senantiasa diingatkan dengan rahmat Allah dan berbaik sangka bahwa Allah akan memperlakukannya dengan baik. Berikut keterangan para ulama:
Berbaik sangka kepada Allah menjelang ajal
Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ١٠٢
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (Q.S. Ali Imran: 102).
Tatkala menguraikan tafsir ayat di atas, Imam Ibn Katsir mengutip hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dari sahabat Jabir, bahwa termasuk beberapa sabda Nabi yang diucapkan menjelang kewafatan beliau adalah (Tafsir Ibn Katsir, 2/101):
“لَا يَمُوتَنَّ أحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ”
Jangan sampai salah seorang dari kalian menghadapi kematian kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah azza wa jalla (H.R. Imam Ahmad dan Muslim).
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Berdoa Meminta Kematian
Imam al-Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim berkomentar, bahwa hadis ini menunjukkan pentingnya untuk tidak berputus asa dengan rahmat Allah, serta senantiasa berharap kepada rahmat-Nya (raja’) saat menjelang ajal. Peluang melakukan dosa bagi orang yang menjelang ajal amat kecil, sehingga perasaan berharap kepada rahmat Allah sudah seharusnya lebih besar dari takut terhadap azab Allah. Berbeda dengan saat selain menjelang ajal, yang dianjurkan senantiasa takut dengan azab Allah (khauf) (Syarah Sahih Muslim, 9/256).
Imam al-Munawi di dalam Faidul Qadir menjelaskan, makna berbaik sangka kepada Allah dalam hadis di atas adalah, meyakini bahwa Allah mengasihi dirinya dan mengampuni dosa-dosanya. Hal ini berguna untuk membuat dirinya terhindar dari dosa besar berupa putus asa terhadap rahmat Allah (Faidul Qadir, 6/589).
Berdasarkan hadis di atas para ulama menyatakan, bagi pendamping orang yang sedang sakaratulmaut disunahkan untuk membuat orang tersebut senantiasa berprasangka baik kepada Allah. Bahkan ada yang menyatakan hukum wajib apabila muncul tanda-tanda rasa putus asa pada rahmat Allah dalam diri orang yang sedang mengalami sakratulmaut tersebut. Imam al-Syaukani menceritakan, salah satu tradisi ulama salaf adalah mengingatkan orang yang sedang sakratulmaut kepada amal baik yang pernah dia lakukan. Tujuannya agar orang tersebut senantiasa berbaik sangka kepada Allah (Tuhfatul Muhtaj, 10/372 dan Subulus Salam, 3/61).
Imam al-Nawawi menjelaskan, membuat orang yang sedang sakratulmaut senantiasa berprasangka baik kepada Allah, dapat dilakukan dengan cara membacakan ayat-ayat Alquran yang berisi tentang kebijaksanaan, ampunan, serta rahmat Allah. Dapat juga dengan mengingatkannya tentang rahmat Allah di akhirat kelak (al-Majmu’, 5/108).
baca juga: Anjuran Mengingat Allah dengan Muhasabah dalam Alquran dan Hadis
Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan, anjuran para ulama tatkala mendampingi orang yang sedang sakratulmaut, adalah melakukan hal-hal yang dapat membuat orang tersebut senantiasa berbaik sangka kepada Allah.
Hal ini memperlihatkan pandangan Islam terkait menghadapi kematian. Kematian tidak seharusnya dihadapi dengan buruk sangka terhadap apa yang dilakukan Allah kepada kita di akhirat kelak. Meski amal perbuatan kita tatkala di dunia dipenuhi catatan buruk. Kematian memang akhir dari kesempatan kita untuk berbuat baik, tapi jangan sampai hal itu membuat harapan kita akan rahmat Allah sampai hilang menjelang pertemuan dengannya. Wallahu a’lam.
Baca juga: Pembacaan Zaghlul An-Najjar terhadap Ayat-ayat Kematian