Dalam tulisan sebelumnya, dijabarkan mengenai progresivitas Umar bin Khattab dalam memahami dan menerapkan ayat-ayat hukum. Beliau berhasil memahami teks suci secara komprehensif dan mendalam sehingga berhasil menemukan inti sari dari aturan yang terkandung dalam syariat tersebut.
Inti sari yang dimaksud adalah hikmah di balik pnsyariatan hukum yang orientasinya adalah maslahat. Hal inilah yang mengantarkan sahabat Umar bin Khattab mampu mendialogkan antara teks dan konteks sehingga hukum Islam benar-benar menemukan momentumnya untuk menebar kemaslahatan bagi umat manusia.
Tindakan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dalam upaya memahami ayat-ayat hukum belakangan menuai kontroversi. Banyak kalangan yang memahami bahwa sahabat Umar bin Khattab telah mengabaikan teks suci dan beralih kepada maslahat. Beliau dinilai lebih mendahulukan maslahat dari pada menerapkan teks Alquran atau hadis dalam beberapa kasus tertentu.
Sebagai penutup dari beberapa tulisan sebelumnya tentang progresivitas sahabat Umar bin Khattab dalam memahami ayat-ayat hukum, tulisan kali ini mencoba mengelaborasi diskursus mengenai maslahat di hadapan nas Alquran. Ada apa antara maslahat dan nas Alquran?
Baca Juga: Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 3)
Teori Maslahat; Definisi
Maslahat secara sederhana dapat diartikan kebaikan. Ditinjau dari perspektif syariat, maslahat adalah kebaikan atau kemanfaatan yang menjadi tujuan utama syariat terhadap umat manusia dalam setiap postulat hukumnya. Kemanfaatan yang berusaha diwujudkan syariat untuk umat manusia terdiri dari perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, harta benda, keturunan dan kehormatan mereka.
Dalam kitab Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, Imam Ibnu Asyur menjelaskan bahwa syariat itu hadir membawa kebaikan bagi manusia. Misalnya, syariat melarang minum minuman keras karena tindakan tersebut memicu kehilangan kesadaran yang jelas-jelas berdampak buruk bagi manusia. Menurut beliau, sudah terlalu banyak ayat maupun hadis yang mendukung tesis bahwa aturan-aturan dalam Islam dikaitkan dengan illat-illat (alasan-alasan), hikmah dan maslahat yang semuanya diproyeksikan untuk kemaslahatan individu maupun kolektif.
Baca Juga: Prinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan
Klasifikasi Maslahat
Secara umum, ulama membagi maslahat menjadi tiga bagian. Yaitu maslahat mu’tabarah, maslahat mulgha dan maslahat mursalah. Maslahat mu’tabarah adalah maslahat yang diakui eksistensinya oleh syariat. Maslahat jenis ini yang kemudian dikenal dengan maqasid syariah atau al-kulliyat al-khamsah. Maslahat jenis ini tidak mungkin bertentangan dengan nas. alasannya karena keberadaanya dilegitimasi oleh syariat itu sendiri.
Sedangkan maslahat mulgha adalah maslahat yang secara eksplisit ditolak oleh nas. Misalnya seorang raja yang memiliki kewajiban membayar kafarat karena melakukan hubungan intim di siang hari pada bulan suci Ramadan, maka kewajibannya adalah secara hirarki memerdekakan budak, memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Raja tersebut sepertinya akan sangat mudah jika memerdekakan budak, sehingga maslahat berupa efek jera tidak akan timbul jika hanya dibebankan memerdekakan budak. Oleh karenanya, secara sepintas hukuman berpuasa dua bulan berturut-turut lebih pantas untuknya. Akan tetapi, maslahat atau pertimbangan tersebut tidak diakui oleh syariat.
Ketiga adalah maslahat mursalah. Maslahat mursalah adalah maslahat yang tidak ditemukan dalam teks suci yang mengakomodirnya dan di saat yang sama juga tidak ada penolakan dari syariat. Mursalah sendiri artinya lepas. Ia terlepas dari pengakuan maupun penolakan dari syariat.
Agaknya sulit membayangkan kontradiksi antara nas dengan maslahat mu’tabarah. Alasannya karena syariat langsung yang melegitimasi keberadaannya. Legitimasi tersebut menjadi syarat utama suatu maslahat bisa digolongkan sebagai maslahat mu’tabarah sehingga maslahat yang tidak atau belum mendapat legitimasi dari syariat tidak berhak disebut maslahat mu’tabarah.
Sedangkan untuk maslahat mulgha, pertentangan antara maslahat dan nas terlihat jelas. Akan tetapi ulama sepakat mengabaikan maslahat jenis ini karena ia dianggap secara tegas ditolak oleh nas. Dari namanya saja dapat kita tahu bahwa ia adalah maslahat yang diabaikan (mulgha). Di samping itu, banyak kalangan yang menilai bahwa maslahat jenis nini sejatinya bukan maslahat, melainkan hanya klaim maslahat belaka.
Berbeda dengan dua jenis masahat diatas, maslahat mursalah menurut penulis cukup unik namun agak rawan. Unik karena keberadaanya sebagai maslahat yang lepas dari penilaian syariat memberi kesan fleksibelitas yang cukup luas. Ia dapat menjelma sebagai perspektif teori untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum terekam status hukumnya dalam alquran maupun sunnah.
Akan tetapi, sifatnya yang fleksibel karena lepas dari penilaian nas membuatnya cukup rawan untuk dipertentangkan dengan nas. Oleh karenanya, para ulama memberikan semacan batasan operasional untuk maslahat jenis ini. Salah satu kitab yang cukup komprehensif mengkaji masalah ini adalah Dhawabit al-Maslahat karya al-Syahid Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.
Dalam kitab tersebut, beliau mengemukakan setidaknya ada beberapa batasan operasional maslahat mursalah. Diantaranya:
Pertama, tergolong sebagai salah satu bagian dari tujuan syari’ (yakni kulliyat al-khams, yaitu menjaga agama, jiwa akal, harta dan keturunan).
Pertama, tidak bertentangan dengan nas Alquran dan hadis.
Kedua, tidak kontradiksi dengan ketentuan qiyas.
Ketiga, tidak menegasikan masahat lain yang lebih kuat dan umum.
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa syariat Islam, semuanya mengandung maslahat, sehingga sulit membayangkan adanya kontradiksi antara maslahat dan nas karena nas atau syariat adalah maslahat itu sendiri, akan tetapi secara lahiriyah terdapat beberapa jenis maslahat yang bertentangan dengan nas dan harus mengalah ketika berhadapan dengan nas, yaitu maslahat mulgha.
Sedangkan untuk maslahat mursalah, salah satu syaratnya adalah tidak bertentangan dengan nas, karena jika sampai bertentangan dengan nas maka akan tergolong sebagai maslahat mulgha. Wallah a’lam.