Pernah merasa janggal ketika ada terjemahan al-Quran yang kemudian penulisnya dianggap sebagai penafsir (mufasir)? Atau karya ilmiah tentang tafsir yang isinya nukilan dari kitab-kitab tafsir lalu penulisnya masuk dalam kategori penafsir Al-Quran? Atau penulis yang hanya menafsirkan satu surah lalu disebut sebagai penafsir?
Menjawab pertanyaan yang terakhir, bahwa untuk disebut sebagai tafsir, seseorang tidak harus menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an 30 juz. Karena Nabi Muhammad Saw sendiri menurut pendapat yang kuat tidak menafsirkan seluruh ayat, namun siapa yang menolak bahwa beliau adalah mufassir?
Tafsir al-Quran secara singkat didefinisikan sebagai penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia, demikian tulis Quraish Shihab. Di situ tidak dijelaskan batasan minimal suatu karya dapat disebut tafsir. Namun Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa selain proses tersebut mesti dilakukan secara sungguh-sungguh dan berulang, penafsir juga tidak sebatas menjelaskan makna yang dipahami, namun juga mengungkap kesamaran atau kemusykilan kandungan ayat. Akan tetapi hal itu dikembalikan lagi kepada batas kemampuan dan kecenderungan mufassir.
Di beberapa literatur seringkali tingkatan penafsir dibedakan berdasarkan era di mana seorang mufassir hidup atau dibedakan berdasarkan latar belakang ideologi. Al-Suyuthi misalnya, dalam Thabaqat al-Mufassirin, ia memilah kategori mufassir berdasarkan era dan kecenderungan.
Pertama, mufassir salaf, yaitu para penafsir yang hidup di era sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, seperti Ibnu Abbas dan Mujahid. Kedua, mufassir muhaddis, yaitu para penafsir yang menulis karya dalam bidang tafsir dengan menyandarkan penafsirannya kepada penafsiran sahabat dan tabi’in lengkap dengan sanadnya. Ketiga, mufassir sunni, yaitu mereka yang menggunakan takwil dalam penafsirannya serta membicarakan perihal lain, seperti makna kosakata, hukum, dan i’rob dalam al-Qur’an. Keempat, penafsir mubtadi’, yaitu penafsir dari kalangan mu’tazilah dan syi’ah serta golongan lain yang menulis karya tafsir.
Ada pula yang memetakan tingkatan mufassir berdasarkan era dan nalar yang digunakan. Abdul Mustaqim misalnya, dalam disertasinya ia memetakan perkembangan tafsir dengan memakai perspektif the history of idea ke dalam tiga bagian.
Pertama, era formatif dengan nalar quasi-kritis, dimulai sejak zaman Nabi saw sampai abad ke-2 H. Penafsiran pada era ini dicirikan dengan ketergantungan pada riwayat dan tidak memaksimalkan rasio. Kedua, era afirmatif dengan nalar ideologis, yang terjadi pada abad pertengahan, di mana penafsiran al-QUr’an lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, madzhab ataupun ideologi keilmuan tertentu. Ketiga, era reformatif dengan nalar kritis. Era ini lahir dari kritikan para cendekiawan terhadap penafsiran terdahulu yang dinilai sudah tidak relevan. Sehingga mereka berupaya untuk membuat penafsiran yang mampu tantangan zaman dan menjadi solusi.
Baca Juga: Salim Fachry: Sang Penulis Mushaf Al-Quran Kenegaraan Pertama
Pemetaan-pemetaan sebagaimana di atas tampaknya belum bisa menjawab pertanyaan penulis di awal. Kiranya perlu adanya kategorisasi mufassir dari sudut yang lain, sebagaimana tingkatan mujtahid dalam bidang fikih. Terkait hal ini, Musa’id Sulayman al-Thayyar membaginya dalam empat level mufassir: 1) mufassir-mujtahid, yaitu mereka yang memiliki ijtihad yang genuin dalam bidang tafsir, seperti mufassir dari kalangan sahabat yang pendapatnya dibukukan dalam karya-karya tafsir, 2) mufassir-penukil (naqalatut-tafsir), yaitu mereka yang menulis tafsir dengan menukil pendapat orang-orang sebelumnya tanpa melakukan pembacaan kritis dan perdebatan, 3) mufassir-kritis, yaitu mereka yang menukil pendapat tafsir ulama sebelumnya namun dengan menyertakan catatan kritis. Mufassir pada tingkatan ini hampir mirip pada level pertama, sebab mereka berusaha berijtihad untuk memilih suatu pendapat atau menawarkan pendapat baru setelah mengkritisi, dan 4) mufassir yang memilih satu pendapat (al-mutakhayyir qawlan wahidan), yaitu mereka yang hanya memilih satu dari banyak penafsiran tanpa memberi catatan kritis.
Pemetaan al-Thayyar ini kiranya lebih tepat untuk menjawab kejanggalan mengapa para penulis tafsir yang sifatnya menukil dari penafsir lain dapat dianggap sebagai mufassir. Dari sini dapat dipahami ketika Islah Gusmian memasukkan hasil penelitian skripsi yang umumnya berisi nukilan tafsir sebagai karya tafsir yang layak diteliti. Lalu bagaimana dengan terjemahan al-Qur’an?
Terjemahan al-Qur’an, dalam pengertian yang sederhana, menurut Abdul Mustaqim, juga dapat dikatakan sebagai tafsir. Sebab, sesungguhnya dengan terjemahan itu sang penerjemah hendak menjelaskan kandungan al-Qur’an dari bahasa Arab ke bahasa tujuan. Bahkan di Indonesia, jenis terjemahan al-Qur’an terbagi dalam varian yang bermacam-macam berikut karakteristiknya.
Islah Gusmian memetakan penulisan tafsir dan terjemah al-Qur’an di Indonesia ke dalam enam model: 1) Terjemah Tafsiriyah, dengan memberikan penjelasan singkat terkait makna kata yang diletakkan dalam tubuh teks terjemah, 2) Terjemah disertai komentar singkat atas ayat atau kata yang dipandang perlu dijelaskan oleh penafsir dan diletakkan di catatan kakai, 3) Terjemah disertai uraian yang luas dan komprehensif, 4) Terjemah perkata, terjemah perayat dan kemudian disertai penjelasannya, 5) Terjemah gandul, yaitu terjemah perkata disertai makna, posisi kata dan strukturnya dalam kalimat, lalu dilanjutkan dengan penjelasan, dan 6) Tafsir disertai penjelasan dan gambar yang dikemas dalam bentuk buku anak-anak.
Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau
Apapun bentuknya, selama ditujukan untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusia, maka kiranya dapat disebut sebagai tafsir. Hanya tingkatan yang membedakannya serta respon khalayak yang kelak akan menyeleksinya. Wallahu a’lam.