BerandaTafsir TematikTafsir AhkamAturan Toa Masjid dan Refleksi Moderasi Islam

Aturan Toa Masjid dan Refleksi Moderasi Islam

Belakangan ini, perbincangan tentang penggunaan toa masjid menjadi ramai. Sebab, kementerian agama mengedarkan aturan penggunaan toa masjid. Inti surat edaran tersebut adalah pengaturan waktu dan tingkat volume toa yang sebaiknya digunakan oleh masjid-masjid di Indonesia dalam rangka mewujudkan ketertiban dan ketenteraman bersama.

Edaran aturan toa masjid ini kemudian mendapatkan berbagai respons dari banyak pihak, baik positif maupun negatif. Sebagian orang menganggap bahwa aturan ini sangat bermanfaat bagi keharmonisan umat beragama. Di sisi lain, sebagian pihak menyatakan bahwa aturan tersebut terlalu membatasi ekspresi atau aktualisasi praktik keagamaan.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Larangan Salat Ketika Mabuk

 Terlepas dari perdebatan di atas, toa masjid pada hakikatnya digunakan sebagai pengeras suara untuk keperluan ibadah umat Islam, seperti azan salat, zikir, dan doa bersama. Toa masjid terkadang juga digunakan untuk keperluan-keperluan lain yang dianggap penting, mulai dari pengumuman kematian, ceramah agama, hingga penanda waktu berbuka puasa.

Istilah toa sebenarnya bukan bahasa yang baku, karena dalam KBBI pengeras suara disebut megafon. Kata toa merujuk pada salah satu produk pengeras suara buatan TOA Corporation. Karena terkenalnya merek dagang pengeras suara tersebut – secara sosiologis – masyarakat terbiasa menggunakan istilah toa ketimbang megafon atau pengeras suara.

Refleksi moderasi Islam dalam aturan toa masjid

Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang muncul terkait aturan toa masjid di antaranya adalah; kenapa volume toa masjid diatur? Apa tujuannya? Apakah dalam Islam diperbolehkan mengaturnya? dan sebagainya. Artikel ini akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut melalui refleksi moderasi Islam dalam konteks sosial-keagamaan.

Dalam Alquran dan hadis memang tidak ditemukan istilah spesifik mengenai toa masjid, karena ini merupakan persoalan kontemporer dan belum ditemukan pada masa nabi. Namun, jika merujuk pada persoalan keras dan lembutnya suara dalam beribadah, dapat ditemukan ayat-ayat relevan yang dapat menjadi isyarat proporsionalitas dan moderasi beragama.

Allah swt. berfirman:

وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ

Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman [31] ayat 19).

Secara umum, Surah Luqman [31] ayat 19 memerintahkan manusia untuk menyederhanakan berjalan atau tidak berjalan dengan angkuh dan sombong. Perintah selanjutnya adalah melunakkan suara, yakni tidak terlalu mengeraskan dan tidak pula terlalu merendahkannya atau dengan kata lain berada di tengah-tengah antara keduanya (wasathiyah).

Menurut Quraish Shihab, Surah Luqman [31] ayat 19 merupakan kelanjutan nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya yang telah disebutkan pada ayat 18. Setelah menasihati anaknya dengan pelajaran akidah (ayat 18), ia kemudian melengkapi materinya dengan pelajaran akhlak, yakni adab berinteraksi kepada sesama manusia, baik muslim maupun non-muslim.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 31: Begini Adab Memasuki Masjid

Penggabungan materi akidah dan akhlak pada kedua ayat tersebut memberikan sebuah isyarat bahwa ajaran keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, seorang yang beragama Islam berarti memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap akidah Islam. Pada saat yang sama ia wajib memiliki akhlak seorang muslim (Tafsir al-Misbah [11]: 139).

Kata ugdhudh pada Surah Luqman [31] ayat 19 terambil dari kata gadhdha yang bermakna penggunaan sesuatu tidak dalam potensi yang sempurna. Artinya, perintah di atas menyuruh seseorang untuk tidak berteriak sekuat tenaga dan tidak pula terlalu berbisik sehingga sulit didengar. Maksud yang dituju adalah bersuara secara sewajarnya atau proporsional.

Secara tegas, Quraish Shihab mengatakan bahwa Surah Luqman [31] ayat 19 merupakan isyarat moderasi beragama yang merupakan ciri dari segala macam kebaikan. Sebagai contoh, sifat pemurah, salah satu sifat terpuji dalam Islam, merupakan moderasi – titik tengah – dari sifat pelit dan boros. Hampir dalam setiap ajaran Islam mengajarkan konsep moderasi dan proporsionalitas.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Imam al-Qurthubi dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam Alquran. Menurutnya, maksud dari Surah Luqman [31] ayat 19 di atas adalah janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.

Sedangkan Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa Surah Luqman [31] ayat 19 merupakan isyarat umum untuk berlaku moderat, baik dalam berkata maupun bersuara. Hendaknya seseorang berjalan dan bersuara dengan sewajarnya (proporsional atau wasatiyah). Ia juga menjelaskan penyebab suara keledai dianggap buruk, yakni karena suara awalnya keras dan suara akhirnya lemah.

Baca juga: Tafsir Kontekstual Gus Dur Seputar Moderasi Islam

Berkenaan dengan aturan toa masjid, sebenarnya ada periwayatan kisah dari al-Qurthubi dalam penafsiran ayat ini yang cukup relevan, yakni kisah Umar bin Khattab yang pernah menegur muazin karena terlalu memaksakan untuk meninggikan suara (berteriak sekeras-kerasnya). Ia berkata dengan penuh ketegasan, “aku takut perut bagian pusar hingga rambut kemaluanmu (diagfragma) sobek.”

Teguran Umar bin Khattab itu memberi kesan bahwa meskipun wajib dilaksanakan, azan tidak boleh dilakukan secara melampaui batas sampai-sampai menyakiti diri sendiri ataupun orang lain. Gagasan ini selaras dengan esensi sabda Nabi Muhammad saw, “Tidak boleh menyakiti orang lain dan tidak boleh membalas menyakitinya,” (HR Ahmad dan Ibn Majah).

Kemudian berkaitan dengan volume toa masjid, kita dapat merujuk pada pandangan-pandangan dalam fikih, khususnya Mazhab Syafi’i. Misalnya, Syekh Zainuddin al-Malibari menerangkan dalam kitabnya Fathul Mu’in bahwa kerasnya suara azan disunahkan tergantung dengan jumlah orang yang mau salat. Jika seseorang salat sendirian, maka cukuplah azan tersebut didengar dirinya sendiri. Jika salat berjamaah, maka cukup dengan volume yang dapat menjangkau satu orang dari mereka (jamaah).

Maksud dari cukup dengan volume yang dapat menjangkau satu orang dari mereka (jamaah) tidaklah bermakna literal, melainkan kontekstual. Artinya, suara atau volume azan cukup didengungkan sekira dapat menjangkau jamaah di sekelilingnya. Dalam konteks aturan toa masjid, maka volumenya harus diatur sewajarnya.

Terakhir, hal yang harus menjadi landasan etika pengaturan volome toa masjid adalah kewajaran, proporsionalitas, dan moderasi. Suara azan harus mencapai kadar yang diperlukan sehingga dapat didengar oleh jamaah lingkungan Masjid. Namun, di sisi lain ia tidak boleh terlalu keras sehingga dapat menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU