Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar

Ayat-Ayat Zihar
Ayat-Ayat Zihar credit: mawdoo3.com

Ayat-ayat zihar seringkali ditelaah oleh ulama tafsir berkenaan dengan isi kandungan hukumnya didasarkan pada konteks sejarah pewahyuan. Padahal jika historisitas QS. Al-Mujadalah [58]: 1-4 dilihat secara mendalam terdapat kisah romantis seorang sahabat perempuan Rasulullah bernama Khaulah bint Tsa’labah yang memperjuangkan cintanya melawan tradisi (zihar) lewat munajat kepada Allah.

Zihar merupakan salah satu tradisi Arab pra Islam yang masih menjadi norma pada masa awal Islam. Zihar secara bahasa berasal dari kata zhahr artinya punggung, yakni menyamakan punggung istri dengan ibu. Secara singkat, zihar dapat dikatakan sebagai perkataan seorang suami yang digunakan untuk menyamakan istri dengan ibunya. Dalam tradisi arab jahiliyah zihar merupakan bentuk talak (perceraian) yang paling tinggi (Tafsir Al-Marāgī [28]: 3).

Zihar adalah tradisi problematis dan diskriminatif, karena perempuan yang telah dizihar statusnya tidak jelas dan terluntang-lantung. Pada masa jahiliyah, zihar dilakukan ketika seorang suami tidak menginginkan bersama istrinya lagi dan ia juga tidak ingin istri tersebut dipersunting orang lain. Ini sangat merendahkan martabat dan kedudukan wanita, karena ia tidak bisa meminta haknya dan di sisi lain ia juga tidak bisa menikah dengan orang lain.

Problematika zihar di atas membentang dari Arab jahiliyah hingga awal kedatangan Islam, tepatnya berakhir ketika ayat-ayat zihar diturunkan, yaitu QS. Al-Baqarah [2]: 226-227, QS. Al-Mujadalah [58]: 2-4 dan Al-Ahzab [33]: 4. Menurut Sayyid Sabiq (Fiqh Sunnah: 620), berdasarkan ayat-ayat zihar ulama sepakat bahwa zihar diharamkan dan suami yang melakukan zihar diwajibkan untuk membayar kafarat agar bisa mencampuri istrinya lagi.


Perjuangan Cinta Khaulah bint Tsa’labah

Diceritakan bahwa suatu ketika Khaulah bertengkar dengan suaminya Aus bin Shamit al-Ansari. Dalam perdebatan tersebut, Aus merasa jengkel dan marah lalu tanpa sengaja menzihar istrinya dengan berkata, “bagiku engkau (dirimu) seperti punggung ibuku”. Setelah mengatakan hal itu, kemudian Aus pergi dari rumah untuk menenangkan pikiran dan melepaskan amarah dengan duduk santai seraya bercengkerama bersama teman-temannya.

Tidak berselang lama, Aus menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan, lalu ia pulang ke rumah untuk meminta maaf dan ingin berkumpul dengan Khaulah. Akan tetapi Khaulah menolak keinginan tersebut, karena ia menyadari dalam agama dan tradisi mereka hal itu tidak diperkenankan. Khalah berkata, “Tidak, jangan! Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan zihar kepadaku, hingga Allah dan rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.”

Ketaatan terhadap norma agama dan tradisi masyarakat Arab membuat Khaulah menolak secara tegas permintaan suamianya untuk bergaul. Namun sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati ia masih menyimpan cinta mendalam terhadap suami dan ingin hidup bersama seperti sedia kala. Oleh karena itu, ia menemui Rasulullah dan menceritakan peristiwa yang telah terjadi sekaligus untuk meminta fatwa beliau terkait permasalahan tersebut.

Mendengar cerita Khaulah, Rasulullah sedikit kaget dan bersabda, “kami belum pernah mendapatkan wahyu berkaitan dengan urusan itu.” Karena belum ada wahyu mengenai permasalahan zihar, akhirnya Rasulullah membuat keputusan berdasarkan urf (adat) masyarakat Arab untuk menyelesaikan permasalahan ini sementara sambil menunggu perintah dari Allah. Rasul bersabda, “Aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya (Aus).

Jawaban Rasulullah di atas tidaklah memuaskan hati Khaulah, bahkan diceritakan ia sempat mendebat nabi namun tetap diberi jawaban yang sama. Apa yang dilakukan Khaulah bukan bertujuan untuk mendiskreditkan nabi atau menentang hukum yang telah ditetapkan beliau, akan tetapi didasari oleh keinginan untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami dan keinginan untuk mempertahankan kisah romantisnya bersama suami tercinta (Aus).

Dengan hati berat Khulah kembali ke rumah, namun ia masih memegang secercah harapan terhadap penyelesaian masalah yang dialaminya. Ia kemudian mengadukan segala permasalahan kepada Allah, “Masa mudaku telah berlalu, perutku telah keriput, aku sudah tua dan tidak mampu melahirkan anak lagi, sedang suamiku men-ziharku. Ya Allah! aku mengadu kepada-Mu.” Setiap siang dan malam ia senantiasa berdoa dan bermunajat kepada Allah.

Segala keluh kesah dari Khaulah terkait permasalahan zihar kemudian dijawab tuntas oleh Allah melalui Ayat-ayat zihar dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 1-4. Ayat pertama berbunyi:

قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِ ۖوَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ

Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. Al-Mujadalah [58]: 1)

Baca Juga: Esensi Sujud dan Fungsi Masjid Yang Sebenarnya

Setelah Ayat-ayat zihar turun Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah bahwa ia bisa bersama kembali dengan suaminya, asalkan Aus membayar kafarat zihar. Dengan penuh kasih Khaulah menjawab bahwa Aus sama sekali tidak mampu untuk membayar kafarat, baik itu memerdekakan budak, puasa maupun bersedekah kurma kepada 60 orang miskin, karena ia adalah seorang yang lemah lagi miskin.

Mendengar hal itu, Rasulullah berinisiatif untuk membantu membayarkan setengah kafarat Zihar yang dilakukan Aus dengan memberi makan 30 orang miskin. Kemudian Khaulah menunjukkan bentuk kasih sayang kepada Aus dengan membayarkan sisa setengah kafarat-nya. Begitulah perjuangan cinta Khaulah untuk mempertahankan kisah romantis bersama sang suami. Wallahu a‘lam.