BerandaTafsir TematikBagaimana Menyikapi Kesalahan Orang lain Menurut Al-Qur'an?

Bagaimana Menyikapi Kesalahan Orang lain Menurut Al-Qur’an?

Dalam waktu seminggu yang lalu aksi teror kembali terjadi di tanah air. Setelah aksi bom bunuh diri di Makassar, yang terbaru adalah aksi teror yang terjadi di Mabes Polri, pelakunya diduga teroris yang sedang melancarkan aksinya. Peristiwa tersebut masih menjadi problem bagi negara yang majemuk ini, bahkan pada level tertentu ada kekhawatiran pelakunya, yang dikaitkan dengan salah satu agama; sehingga masyarakat menganggap itu adalah representasi dari ajaran suatu agama. Meihat hal ini, bagaimana cara menyikapi kesalahan orang lain menurut al-Quran?

Selain itu, menarik untuk diperhatikan, karena ada tanggapan dari Alissa Wahid terkait dengan peristiwa-peristiwa yang belakang terjadi. Aksi-aksi tersebut tidak terlepas dari penafsiran terkait ajaran agama, di antaranya tentang jihad dan interpretasi yang dianggap menjadi musuh.

Kaitannya dengan tanggapan Alissa Wahid tersebut, sebelum pelaku teror di Mabes Polri dilakukan, ia telah menulis surat ‘wasiat’ yang di antara isinya ialah mendeskripsikan bagaimana kesalahan dan posisi pemerintah yang dianggapnya adalah thogut, sehingga olehnya elemen pemerintah dipandang sebagai musuh, karena tidak sesuai dengan ajaran agama versi pelaku.

Pandangan tersebut jelas keliru karena para tokoh telah menyebutkan sistem yang ada di negara kita merupakan semangat dari ajaran Islam. Kalau memang ada yang keliru dengan kebijakan pemerintah tidak perlu memusuhinya apalagi melakukan aksi teror; lantas bagaimana ketika melihat orang lain melakukan kesalahan? Apa yang harus dilakukan?

Pertama, Memahami Makna Hikmah dalam Al-Quran

Lafaz hikmah ((حكمة di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 20 kali (al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fādz al-Qur’an al-Karīm, 313-314). Dari sekian banyak lafaz hikmah, sebagaimana yang telah dirangkum oleh M. Nafuddin dalam tesisnya; bahwa al-Rāzī merumuskan empat makna, sementara Fairuzabādī berpendapat bahwa makna hikmah mencakup enam makna.

Namun dalam konteks ini, pendapat al-Rāghib al-Ashfahānī lebih mewakili bahwa hikmah ialah memperoleh kebenaran dengan ilmu (pengetahuan) dan akal; adapun hikmah yang datang dari Allah yakni pengetahuan dan penciptaan sesuatu dengan paling akurat; sedangkan hikmah dari manusia yaitu pengetahuan terhadap yang wujud dan mengerjakan kebaikan (al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’an, 249).

Baca juga: Menafsir Ayat tentang Pakaian dengan Tafsir Maqashidi

Hikmah yang dinisbatkan kepada Allah lebih menekankan pada eksistensi Allah sebagai Tuhan yang disifati tanpa ada kekurangan, di antaranya dalam penciptaan dan pengetahuannya. Sementara hikmah dari manusia ditunjukkan sebagai proses memahami yang wujud (makhluk/peristiwa) serta berusaha mengambil pelajaran dari yang wujud itu, sehingga dapat menstimulus untuk mengerjakan kebaikan.

Dua poin yang menjadi kelebihan memahmi dan menggunakan metode ‘hikmah’; pertama, melalui proses penelitian dan verifikasi ketat dalam memahami orang, peristiwa, sebab-akibat, dan yang melatak belakangi adanya suatu tindakan/peristiwa; kedua, orientasi dan cara yang digunakan untuk merespon kejadian atau yang wujud itu dilakukan dengan yang baik dan terhormat.

Perlu ditegaskan, dalam konteks berbangsa dan bernegara interpretasi ‘yang baik dan terhormat’ bukanlah versi pribadi, melainkan harus berbasis lima elemen, yakni menjaga agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal; atau yang lebih dikenal dengan maqāshid al-Syarī’ah.

Oleh karena itu, cara yang dilakukan oleh pelaku teror yang ‘mengaggap’ pemerintah thagut tidak dibenarkan oleh agama, bahkan adat sekalipun. Siapa pun yang memang melihat adanya kesalahan di pihak lain maka yang harus dilakukan ialah dengan kebaikan, tentunya setelah melakukan kajian yang mendalam, apakah hal yang dilakukan pihak lain itu salah atau benar? Dan bagaimana signifikansinya?.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Kewajiban Menutup Aurat dalam Al-Quran

Kedua, Menanamkan Pelajaran yang Bijaksana

Dalam al-Qur’an, istilah ‘pelajaran bijaksana’ atau ‘nasihat yang baik’ dikenal dengan al-Mau’idzah al-Hasanah. Al-Thabari perpendapat bahwa al-Mau’idzah al-Hasanah  adalah pelajaran (hujjah) yang telah dijadikan (termaktub) dalam kitab-kitab-Nya (Tafsīr al-Thabarī 17,321).

Al-Mawardi mengutip pendapat Al-Kilby dan Muqatil, bahwa al-Mau’idzah al-Hasanah memiliki dua takwil; 1) dengan al-Qur’an yang qaul (setiap teksnya) mengandung lemah lembut; dan 2) di dalamnya terdapat perintah dan larangan  (al-Nukt wa al-‘Uyūn 3, 220).

Muhammad Sayyid al-Thanthawi (al-Tafsīr al-Wasīth 8, 262) mekonstruksi makna al-Mau’idzah al-Hasanah lebih luas lagi, yakni cara yang kedua dalam dakwah (mengajak) ke jalan Allah dengan perkataan-perkataan yang berisi nasihat dan ibrah yang menggugah hati, membersihkan jiwa, sehingga -penerima nasihat- sanggup menerima dengan suka rela nasihat-nasihat tersebut , takut melakukan maksiat, dan menginginkan berbuat ta’at.

Dari tiga penafsiran di atas, terlihat konsistensi mufasir klasik hingga modern menafsirkan al-Mau’idzah al-Hasanah, yakni memberikan pelajaran dan nasihat yang bersifat lemah lembut -khususnya dengan al-Quran- dan memberikan dampak baik kepada objeknya yaitu berupa penerimaan dengan sukarela, sekaligus merealisasikan dalam kehidupan tanpa rasa takut, semata-mata takut kepada Allah dan ta’at kepada-Nya.

Oleh karena itu, sikap/prilaku yang mendatangkan teror, ketakutan, dan keresahan itu bukan cara untuk mengekspresikan tidak setujunya dengan pihak lain, karena itu jalan terorisme dengan tujuan apa pun -termasuk dalam isi wasiat pelaku- tidak dibenarkan dan tidak sesuai dengan semangat al-Quran, lemah lembut dan kasih sayang.

Maka dari itu, sebesar apa pun seseorang melihat kejelekan, diusahakan untuk merubah dengan kebaikan, tidak boleh kejelekan dibalas dengan kejelekan -kecuali dalam keadaan tertentu.

Baca juga: Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat

Ketiga, Membantah atau Berdebat dengan Baik

Cara yang terakhir ialah melakukan bantahan, tapi tetap dengan mengedepankan cara baik. Bantahan tersebut bukan dilakukan dengan aksi “mujādalah” pada umumnya, dimana salah satu dari kedua pihak merasakan kerugian yang cukup signifikan, baik materi atau non-materi. Namun, maksud dari ‘berdebat’  disana adalah memberikan peringatan dengan cara baik.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Rāzī (Mafātīh al-Ghaib 20, 287) ‘jadl’ itu bukan pokok dari dakwah; karena itu makna yang ada dalam kata “wa jadilhum billati hiya ahsan’ memiliki tujuan lain yaitu membantah dengan cara baik. Di samping itu, dipastikan ‘jadl’ tidak bisa mencapai tujuan dari dakwah.

Bahkan Abu Mansūr al-Māturīdī (Ta’wīlāt Ahl al-Sunnah  6, 595) meberikan informasi lebih bahwa ketika diharuskan harus ‘mujadalah’ maka dilakukan dengan kebaikan, di antaranya ucapannya harus lemah lembut disertai dengan rendah hati dan tawadu’; supaya agamanya dapat diterima dan mereka -objek dakwah- berserah diri kepada Allah.

Alhasil, peristiwa dengan dalil merubah atau mengajak orang ‘yang dianggap salah’ dengan melancarkan teror jelas bertentangan dengan konsep ada dalam al-Quran yaitu mengedepankan lemah lembut, kasih sayang, dan cinta damai. Bukan dengan hal-hal yang menurunkan martabat marwah agama Islam. Wallahu ‘Alam.

Sihabussalam
Sihabussalam
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...