BerandaUlumul QuranBagaimana Proses Kemunculan Penafsiran Al-Quran Era Sahabat? Ini Penjelasannya

Bagaimana Proses Kemunculan Penafsiran Al-Quran Era Sahabat? Ini Penjelasannya

Era sahabat merupakan era pertama dalam fase pengkajian Al-Quran. Munculnya penafsiran Al-Quran di era sahabat telah mengilhami fase penafsiran berikutnya. Para sahabat pun yang telah mengetahui gramatika bahasa Arab (uslub Al-Quran) akan mendapati bahwa betapa Al-Quran juga mengakomodasi uslub bahasa Arab dalam redaksinya.

Di antara uslub bahasa Arab yang biasa dipraktekkan oleh orang Arab dalam keseharian mereka ialah kalam atau ungkapan yang berbentuk majaz (kiasan) dan haqiqah (kebenaran/ bukan kiasan), tashrih (jelas) dan kinayah (samar), ijaz (ringkas/ singkat) dan ithnab (panjang/ terkesan berlebihan).

Sebagian sahabat yang telah peka terhadap uslub akan mendapati bahwa dalam Al-Quran terdapat redaksi-redaksi ayat yang memuat uslub tersebut. Ada redaksi yang ringkas ada pula yang dipanjangkan.

Ada redaksi yang memuat informasi yang sifanya ijmal (general) lalu diperjelas (dispesifikkan) dalam redaksi lainnya. Kemudian ada juga redaksi yang sifatnya muthlaq (tidak terbatas/ umum) kemudian dibatasi (taqyid) oleh redaksi lainnya.

Atas sebab-sebab di atas, dalam mengkaji Al-Quran, para sahabat mulai mengkategorisasi redaksi-redaksi ayat. Kategorisasi ini berdasarkan rumusan uslub lughah yakni dengan mencari terlebih dahulu redaksi-redaksi ayat yang masuk dalam kategori ijmal, ijaz, muthlaq, ‘am dan kemudian mencari bagian redaksi yang berkaitan yakni redaksi yang sifatnya menjadi tabyin, ithnab, taqyid dan khas. Oleh karena itu mengkaji internal Al-Quran menjadi tahap pertama dalam memahami Al-Quran di era tersebut. (Baca juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran)

Secara lebih detail ada beberapa metode yang telah digunakan para sahabat dalam menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran. Beberapa metode disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassirun antara lain: 1) membawa redaksi mujmal pada mubayyan; 2) membawa redaksi muthlaq pada muqayyad; 3) mengumpulkan kosa kata yang berbeda dalam beberapa redaksi yang memuat informasi sejenis untuk mendapatkan maqshud al-ayat; 4) mengumpulkan dan mencari benang merah antar ragam bacaan (qira’at). (Baca juga : Kenapa Hasil Penafsiran itu Berbeda-beda? Ini Salah Satu Alasannya)

Supaya lebih jelas akan ditampilkan masing-masing contohnya. Pertama, dalam kasus redaksi ayat mujmalmubayyan salah satu contohnya pada Q.S. al-Baqarah [2]: 37 dan al-A’raf [7]: 23. Lafaz كَلِمٰتٍ pada Baqarah [2]: 37 yang dapat dimaknai “beberapa kata” merupakan redaksi mujmal yang kemudian diperjelas oleh redaksi mubayyan-nya yakni al-A’raf [7]: 23 bahwa yang dimaksud  كَلِمٰتٍ itu adalah ungkapan do’a

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Kedua, contoh redaksi muthlaq-muqayyad adalah pada Q.S. al-Mujadilah [58]: 3 dan al-Nisa’ [4]: 92. Dua redaksi ayat ini sama-sama memberikan informasi mengenai hukuman yang diberikan bagi seorang yang berbuat zihar dan melakukan pembunuhan yang tidak disengaja.

Pada Q.S. al-Mujadilah [58]: 3 terdapat redaksi فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ  kata رَقَبَةٍ mengisyaratkan kemutlakan bahwa yang dimaksud adalah menebus atau memerdekakan budak tanpa dibatasi status apapun (yang penting budak). Namun redaksi pada Q.S. al-Nisa’ [4]: 92 فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ  memberikan batasan atau menjadi taqyid bahwa yang dimerdekakan sebaiknya budak yang berstatus mukmin.

Contoh metode ketiga ini adalah pada kasus banyaknya redaksi ayat yang memuat informasi tentang penciptaan Adam a.s. Sebagian ayat menyebut Adam diciptakan dari tanah (turab), lalu tanah liat (thin), lumpur yang berbau (hama’ masnun), tanah liat yang lunak (shalshal).

Ragam kosa kata yang memuat informasi sejenis itu kemudian disimpulkan sebagai fase-fase (athwar) yang dilalui oleh Adam a.s. mulai dari awal penciptaannya sampai pada fase ditiupkan ruh. Jadi mulai dari fase turab hingga shalshal. (Baca juga: Ragam Corak Tafsir Al-Quran)

Contoh tafsir Al-Quran dengan melakukan analisa atas ragam bacaan (qira’at) dapat dilihat pada Q.S. al-Baqarah [2]: 198 لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ Di mana qira’at Ibn Abbas yang menambahkan kata  فِي مَوَاسِمِ الَحجِّ di akhir penggalan ayat, telah membuat lega para pedagang muslim Arab yang sebelumnya ragu untuk berdagang di musim haji.

Pentingnya mengkaji qira’at dan menempatkannya sebagai elemen penting dalam memahami Al-Quran terdapat dalam sebuah riwayat yang menampilkan wejangan Mujahid kepada seseorang di mana ia mengatakan, “seandainya kamu membaca qira’at Ibn Mas’ud sebelum bertanya kepada Ibn Abbas, niscaya kamu tidak perlu bertanya banyak hal padanya (Ibn Abbas)”.

Praktek tafsir Al-Quran dengan Al-Quran yang dilakukan oleh sahabat bukanlah sebuah praktek kosong tanpa pemikiran—sebab mereka orang Arab. Praktek ini merupakan hasil dari perenungan dan penelaahan mendalam mereka terhadap Al-Quran. Tanpa adanya kajian dan pemikiran yang mendalam serta kepekaan mereka terhadap aspek gramatika bahasa Arab, tentunya tidak akan mampu mengetahui kategorisasi dari redaksi-redaksi ayat.

Maka di sini terlihat bahwa praktek menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran tidak dilakukan oleh semua sahabat Nabi melainkan hanya sahabat yang memiliki kapasitas untuk melakukan itu. Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud merupakan contoh yang memiliki kapasitas demikian.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU