BerandaTafsir TematikBagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

Datangnya Islam dengan diutusnya Nabi Muhammad saw di tengah-tengah masyarakat jahiliyah Arab telah membawa reformasi bagi konstruksi sosial dan moral bangsa Arab ke arah yang lebih baik. Salah satunya adalah mengenai hak-hak perempuan yang saat itu dibatasi.

Kedudukan laki-laki dan perempuan dalam perspektif Islam adalah sama. Meski secara fisiologis keduanya memiliki perbedaan, namun dalam hal derajat di sisi Allah, keduanya diperlakukan dan dipandang setara. Firman Allah dalam Q.S Al-Hujurat: 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat tersebut mengakui kaum perempuan beserta hak-haknya dan tidak membenarkan adanya diskriminasi pada perempuan, karena tidak ada yang melebihkan laki-laki di atas perempuan. Yang membedakan di antara keduanya adalah ketakwaan masing-masing individu.

Islam juga menetapkan hal yang sama mengenai hak-hak yang harus dipenuhi bagi laki-laki dan perempuan seperti hak mendapatkan pendidikan, perlakuan sama di depan hukum, dan sebagainya. Islam telah menjamin terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder masing-masing.

Baca juga: Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran

Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga

Keluarga adalah perwujudan dari cinta kasih di antara kedua insan, laki-laki dan perempuan yang diikat oleh tali pernikahan. Tujuan utama dari pernikahan selain meneruskan generasi manusia juga memenuhi kebutuhan emosional serta keseimbangan spiritual. Agar tujuan keluarga tercapai maksimal, dibutuhkan kerjasama dalam mengurusi rumah tangga. Dalam Q.S al-Baqarah: 228 disebutkan bahwa:

…وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ

“Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Ayat di atas dalam pandangan Quraish Shihab bahwa Allah tidak mempunyai tujuan lain melebihkan laki-laki satu tingkatan di atas perempuan melainkan karena laki-laki wajib melindungi dan bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarganya. Hal ini merujuk kepada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih kuat melindungi jenis yang lebih lemah. Selain itu, laki-laki (suami) dituntut untuk berlaku adil dalam menjalankan tanggungjawab keluarga.

Berbeda halnya dalam Tafsir al-Jalalain, laki-laki dalam hal ini suami, mempunyai satu tingkatan lebih tentang hak, misalnya keharusan untuk ditaati. Hal ini karena mas kawin dan belanja yang mereka keluarkan untuk kebutuhan keluarga.

Pandangan mainstream di atas harus dipahami berdasarkan konteks masa lampau ketika melindungi keluarga dan mencari nafkah hanya dapat dilakukan melalui kerja-kerja fisik. Laki-laki ketika itu secara sosial sangat diuntungkan dibanding perempuan, bahkan dalam kondisi tertentu perempuan sangat dirugikan.

Said Abdullah Seif al-Hatimy dalam al-Mar’ah fi al-Islam wa Qablahu penyebutkan bahwa perempuan di masa jahiliyyah pernah dipandang sebagai sebuah aib, makhluk rendahan dan tidak ubahnya seperti harta benda yang dapat diwariskan, hingga kemudian Islam datang memberinya hak-hak yang sesuai dengan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Oleh karena itu wajar jika urusan mencari nafkah dan melindungi keluarga oleh al-Qur’an diberikan kepada suami, terlebih istri di sisi lain memiliki tugas khusus sebagai ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui bayinya. Atas kerjanya itu juga, suami berhak dilebihkan dalam hal misalnya menjadi kepala keluarga dan mendapat bagian warisan yang lebih banyak.

Berdasarkan hal tersebut, hak dan kewajiban suami dan istri harus menyesuai peran masing-masing dalam menjalankan rumah tangga. Ini tentunya bersifat kasuistik, relatif, dan tidak tetap.

Baca juga: Kesalingan dan Kesetaraan Relasi Suami-Istri dalam Maqashid Al-Quran

Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun

Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki lebih berkuasa dibanding anggota keluarga perempuan (Ida Zahara Adibah, Struktural Fungsional Robert K. Merton: Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga).

Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab ibu/istri.

Padahal, faktanya berdasarkan riset Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang Profil Perempuan Indonesia Tahun 2020, begitu banyak kaum perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Banyak pedagang, buruh pabrik perempuan mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).

Persepsi seperti itu selain mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga juga membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.

Jika diamati, pada saat krisis ekonomi terjadi, di mana banyak pekerja (laki-laki) yang terkena PHK, membuat kaum perempuanlah yang bangkit menjadi pengganti peran pemenuhan kebutuhan keluarga. Di permukiman pinggiran kota, banyak kaum ibu yang membuka usaha seperti warung, berjualan makanan atau bekerja paruh waktu untuk tetap menjaga keberlangsungan hidup keluarga mereka.

Faktanya, peran itu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Artinya, bahwa peran yang dilekatkan pada perempuan sebagai kaum lemah dan hanya dibatasi pada peran-peran tertentu itu tidak benar, karena baik laki-laki maupun perempuan, apabila diberi kesempatan yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya baik di sektor domestik maupun publik.

Sistem patriarkal yang memosisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga didasarkan pada struktur yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang terlalu membatasi adanya peran partisipatif antaranggota keluarga telah menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Relasi gender dalam keluarga dapat dibangun jika masing-masing individu saling memahami perbedaan dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang tanpa membeda-bedakan peran gender.

Kesetaraan gender tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Selain itu, mengisyaratkan adanya keseimbangan pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai.

Baca juga: Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Hadiana Trendi Azami
Hadiana Trendi Azami
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...