Hari ini kita melihat media sosial telah menjadi kebutuhan manusia modern. Hampir tidak ditemukan seseorang yang tidak memiliki akun media sosial. Artikel ini akan menguraikan dua kisah dalam Al-Quran yang bisa dijadikan pelajaran untuk puasa media sosial.
Dua Wajah Media Sosial
Di satu sisi, media sosial menjadi wadah yang memudahkan manusia. Kemudahan itu bisa berbentuk dalam berbagai hal. Seperti, kemudahan berkomunikasi, berbisnis, berkarya, berekspresi bahkan di masa pandemi ini sebagai wadah untuk pembelajaran jarak jauh.
Namun, di sisi yang berseberangan, media sosial dapat menjelma menjadi “penjara”. Tak sedikit manusia modern mengalami kecanduan media sosial. Kecanduan ini kemudian mengganggu sisi psikologis manusia. Jika kita merasa sulit fokus, sering cemas, insecure bahkan merasa tak punya waktu untuk berbuat apa-apa, boleh jadi kita mulai terperangkap dalam “penjara” medsos.
Salah satu cara untuk merespon kecanduan ini adalah dengan detox media sosial. Sebuah upaya untuk mengurangi atau menghentikan penggunaan media sosial sama sekali. Artinya, seseorang melakukan revaluasi antara media sosial dan dirinya. Sehingga, ia dapat mengontrol penggunaan media sosial, bukan malah sebaliknya.
Baca Juga: Surah An-Nahl [16]: 125: Pentingnya Kontra Narasi di Media Sosial
Detox media sosial adalah istilah lain dari apa yang disebut dengan puasa media sosial. Jika puasa dari makan dan minum dapat menyehatkan tubuh, maka puasa media sosial dapat menyehatkan mental dan emosi manusia modern.
Wacana Puasa Media Sosial dalam Al-Qur’an
Merujuk kepada Al-Qur’an, wacana puasa media sosial juga disinggung dalam dua ayat Al-Qur’an. Pertama, ayat kisah Sayyidah Maryam yang melakukan puasa berbicara ketika kembali kepada kaumnya dengan menggendong Nabi Isa. Ini tertuang dalam surat Maryam ayat 26. Kedua, ayat tentang kisah Nabi Zakaria yang tidak berbicara selama tiga hari tiga malam. Tertuang dalam surat Maryam ayat 10.
Tentu, kedua ayat ini bukan secara eksplisit membahas puasa media sosial. Akan tetapi, puasa dari berbicara dan berkomunikasi dengan masyarakat. Tentu, dengan konteks zaman dan masyarakat yang berbeda. Namun, ada hikmah dan pesan yang bisa diambil, karena sesuai dengan konteks puasa bermedia sosial di masa sekarang.
Sebelum itu, Al-Qur’an memiliki dua konsep puasa, shiyām dan shaum. Bentuk shiyām adalah puasa yang menahan diri dari makan, minum dan hal-hal terlarang, sebagaimana ibadah puasa bulan Ramadan, surat Al-Baqarah ayat 183. Sementara, bentuk shaum adalah puasa untuk tidak berbicara, sebagaimana dalam ayat kisah Sayyidah Maryam yang akan kita uraikan.
Puasa Berbicara Sayyidah Maryam
Kisah puasa bicara yang dilakukan Sayyidah Maryam adalah dalam konteks menghindari komentar dan tuduhan dari masyarakat. Tatkala, ia yang tak memiliki suami, kembali dengan menggendong bayinya. Kisah ini direkam dalam surat Maryam ayat 26:
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Artinya: Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.
Qurasih Shihab dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa bentuk shaum serupa dengan mengheningkan cipta, tidak berbicara. Kemudian, dalam konteks ini Allah bermaksud membungkam semua yang meragukan kesucian Sayyidah Maryam melalui ucapan bayi yang dilahirkan. Selain itu, ia juga menegaskan satu pesan untuk tidak berdiskusi dengan orang yang hanya mencari-cari kesalahan, karena tidak memiliki kejernihan hati dan pikiran. (Tafsir Al-Misbah, jil. 8, hal. 172)
Sementara, Abdurrahman bin Nashir menerangkan bahwa puasa berbicara adalah termasuk hal yang sulit dilakukan. Namun, hal ini harus dilakukan dalam upaya menunjukkan sesuatu di luar kebiasaan, yaitu dengan berbicaranya Nabi Isa yang masih dalam buaian. Sehingga, ini menunjukkan bahwa bayi itu bukanlah bayi biasa, sehingga hilanglah tuduhan buruk dari masyarakat. (Tafsir As-Sa’dī)
Puasa Berbicara Nabi Zakaria
Dalam kisah Nabi Zakaria, konteks untuk tidak berbicara adalah sebagai tanda akan kebenaran kabar gembira. Yaitu, kabar dianugerahinya anak bernama Yahya dalam kondisi yang mustahil baginya. Karena, ia sudah tua dan istrinya adalah seorang yang mandul. Peristiwa ini diabadikan dalam surat Maryam ayat 10:
قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً ۚ قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا
Artinya: Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda”. Tuhan berfirman: “Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat”.
Berkaitan dengan ayat ini, Asy-Sya’rawi menerangkan bahwa perkara tidak berbicaranya Nabi Zakaria adalah perkara kaunī. Artinya, Nabi Zakaria tidak memiliki pilihan atasnya. Betapapun, keadaan lisan dan tubuh Nabi Zakariya sehat. Akan tetapi, ia tidak dapat berbicara. Namun, pendapat lain menyebutkan bahwa ia tidak memiliki dorongan untuk bercakap-cakap, karena jiwanya telah dipenuhi oleh kegembiraan dan rasa syukur kepada Allah. (Tafsir Asy-Sya’rawī, hal. 9039)
Dua Hikmah Yang Relevan
Melalui dua ayat dan dua kisah di atas, dapat kita ambil beberapa hikmah yang relevan dengan konteks sekarang. Bermedia sosial adalah wadah untuk berbicara dan berkomunikasi dengan orang lain. Untuk itu, kita perlu memposisikan kembali relasi kita dengan media sosial. Melalui puasa media sosial, kita dapat menentukan posisi yang bijak dalam bermedia sosial.
Baca Juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban
Hikmah pertama adalah upaya untuk menghindari informasi dan pembicaraan yang sia-sia. Dengan banyaknya banjir informasi, atensi kita menjadi tersedot oleh media sosial. Apalagi banyak diskusi yang hanya menyulut perselisihan. Sebagaimana Sayyidah Maryam, yang mengetahui kapan harus berbicara dan kapan untuk tidak berbicara. Artinya, dalam konteks sekarang, kita perlu menjaga jarak dari media sosial dan menggunakannya dengan bijak.
Adapun hikmah kedua adalah untuk merasakan anugerah hidup di dunia nyata. Sebagaimana Nabi Zakaria, yang sudah dipenuhi dengan rasa syukur dengan nikmat seorang anak. Sehingga, ia tidak memiliki dorongan untuk berkomunikasi dengan orang lain, secara berlebihan. Dalam konteks sekarang, kita perlu lebih merasakan hal di sekitar kita, merasakan kehadiran, ketimbang harus hanyut dalam dunia maya yang tidak nyata.
Semoga, melalui tulisan ini kita dapat memposisikan diri secara bijak dalam menggunakan media sosial. Tulisan ini tidak berharap agar meninggalkan media sosal secara keseluruhan dan selamanya, melainkan kita memiliki kontorl penuh atas penggunaan media sosial. Selanjutnya, kita akan hidup lebih nyaman, penuh syukur dan lebih bahagia.
Wallahu’alam bishawab.