Benarkah Ibn ‘Arabi Mendukung Paham Panteisme dalam Tafsirnya?

benarkah paham panteisme dalam tafsir surah al-hadid ayat 4?
benarkah paham panteisme dalam tafsir surah al-hadid ayat 4?

Muhyiddin ibn al-‘Araby atau yang bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Ahmad al-Tha’i al-Hatimi bin al-‘Arabi adalah seorang sufi besar yang lahir di salah satu pusat peradaban Islam pada masanya, yakni Andalus pada 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M. Beliau wafat pada tahun 638 H/1240 M.

Sebagaimana disebutkan oleh Khudori Soleh dalam Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Ibn ‘Arabi adalah sosok yang cinta ilmu, ini bisa dilihat dari kesenangannya mengembara hanya untuk mencari guru dan ilmu. Salah satu pemikiran Ibn ‘Arabi yang paling terkenal dan berpengaruh adalah pemikiran wahdatul wujud, atau kesatuan wujud antara Tuhan dan hamba. Bahkan tidak jarang Ibn ‘Arabi ini dituduh oleh sebagian orang telah menyebarkan paham panteisme.

Panteisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa antara Tuhan dan alam adalah satu hal yang sama, Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan, demikian disebutkan oleh al-Hafni dalam al-Mu’jam al-Syamil li Musthalahat al-Falsafah, dalam bahasa Arab istilah ini menurut beliau bisa disepadankan dengan kata hulul.

Keyakinan panteisme ini mirip dengan apa yang diyakini oleh sebagian kalangan Nasrani yang meyakini bahwa Allah itu menjelma dengan tubuh nabi Isa as. atau seperti keyakinan sebagian muslim bahwa Allah dapat menjelma atau mewujud dalam suatu bentuk, wujud ataupun seseorang tertentu.

Baca Juga: Ibnu Al-Arabi atau Ibnu Arabi? Inilah Dua Mufasir dari Andalusia

Asal-usul istilah wahdatul wujud Ibn ‘Arabi

Perlu dicatat bahwa sebenarnya istilah wahdatul wujud sendiri tidak pernah keluar dari lisan Ibn ‘Arabi dan juga tidak pernah tertulis dalam karya-karyanya. Adapun tuduhan bahwa Ibn ‘Arabi adalah seorang berpaham panteisme itu bermula dari sebuah syair yang pernah dilantunkannya, seperti dinukil oleh Ahmad al-Bu’thami dalam Tahdzir al-Muslimin (hal. 196) syair tersebut berbunyi,

الرَّبُّ حَقٌّ وَالْعَبْدُ حَقٌّ          يَا لَيْتَ شعري من المكلف؟

إِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ        أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنِّى يكلف؟

Terjemah bebasnya, “Tuhan itu ialah haq, hamba pun juga haq. Duhai lantas siapa yang dibebani taklif? Jika kamu mengatakan ‘hamba’, maka dialah ‘Tuhan’, dan jika engkau menjawab ‘Tuhan’, maka kenapa pula ‘Tuhan’ dibebani taklif?” Syair ini secara tersurat mengandung paham panteisme, bahwa Tuhan adalah hamba dan hamba adalah Tuhan.

Namun, sependek yang penulis ketahui dalam muqaddimah kitab al-futuhat al-makkiyyah (1/15) cetakan dar al-kutub al-‘ilmiyyah, terdapat perbedaan diksi kata pada syair yang tertulis, dimana di kitab ini dituliskan in qulta ‘abdun fadzaka maitun, bukan fadzaka rabbun seperti yang dinukil oleh al-Bu’thami tadi, dimana terdapat perbedaan makna yang sangat jauh di antara keduanya.

Baca Juga: Mengulik Pandangan Ibn ‘Arabi Tentang Al-Quran

Tafsir surah Al-Hadid ayat 4

Juga menarik untuk dicermati ketika Ibn ‘Arabi sendiri menafsirkan surah Al-Hadid [57]: 4 yang berbunyi

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Terjemahnya, “dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada, dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan

Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya Rahmah min al-rahman fi tafsir wa isyarat al-Qur’an justru menyucikan Allah dari kebersatuannya dengan makhluk, ia mengatakan Allah selalu bersama dengan hambanya melalui asma-nya dengan yang sepantasnya bagi Dzat-Nya tanpa takyif, tasybih ataupun tashawwur. Dalam tafsirnya (4/276-277) ia menyebutkan,

وَلَم يَقُل تَعَالَى: وَأَنتُم مَعَهُ, لِأَنَّهُ مَجهُولُ المُصَاحَبَةِ, فَيَعلَمُ سُبحَانَهُ كَيفَ يَصحَبُنَا فِي كُلِّ حَالٍ نَكُونُ عَلَيهِ, وَنَحنُ لَا نَصحَبُهُ إِلَّا فِي الوُقُوفِ عِندَ حُدُودِهِ, فَمَا نَصحَبُ عَلَى الحَقِيقَةِ إِلَّا أَحكَامَهُ لَا هُوَ, فَاللهُ مَعَ الخَلقِ مَا الخَلقُ مَعَ اللهِ…

Terjemah bebasnya, Allah bisa membersamai hambanya, selama hambanya menerima ‘keberadaan Allah’ dengan menjalankan aturan-aturannya, sedangkan itu tidak berlaku sebaliknya karena bagaimana kita tahu kita sedang bersama Allah? (li annahu majhul al-mushahabah).

Masih dalam tafsir ayat ini ia bahkan menegaskan bahwa tidak dibenarkan jika ada seseorang yang mengaku mampu membersamai Allah (fala yashihhu an yakuna ahadun ma’allah). Keterangan di atas menunjukkan adanya ambivalensi Ibn ‘Araby terkait kesatuan wujud. Pada tempat pertama, seakan-akan mendukung, namun pada tempat kedua Ibn ‘Araby kedapatan menentang adanya kemungkinan Allah dan hamba dalam satu wadah.

Abdul Halim Mahmud -mantan Grand Syaikh al-Azhar- dalam Qadhiyyat al-Tasawwuf (154-155) menjelaskan bahwa paham panteisme dalam artian antara Allah dan segala makhuk itu adalah satu kesatuan -Abdul Halim menyebutnya dengan istilah wahdatul maujud– ini merupakan suatu paham disusupkan oleh sekelompok filsuf di masa lampau maupun di masa sekarang.

Selain itu menurut beliau hal ini juga dipengaruhi oleh kesalahpahaman mereka yang memusuhi tasawuf, ketika para sufi mengatakan al-wujud al-wahid mereka menafsirkannya dengan wahdatul maujud dengan definisi panteisme diatas. Padahal terdapat perbedaan yang sangat jauh antara wahdatul maujud yakni panteisme dengan wahdatul wujud yang sebenarnya dimaksud oleh para sufi besar.

Baca Juga: Merenungi Tanda-Tanda Kekuasaan Allah di Surat Ar-Rum ayat 20-25

Paham panteisme adalah hal yang sulit dicari dasarnya dalam ajaran Islam dan jika dilihat lagi ajaran wahdatul wujud Ibn ‘Arabi ini berbeda dengan paham panteisme. al-Attas dalam Positive Aspect of Tasawuf menjelaskan bahwa para sufi yang filsuf itu memperoleh kebenaran dan memahami Pencipta, penciptaan dan ciptaannya melalui pendekatan pengalaman langsung yang bersifat transempirik.

Dimana pengalaman itu menurut Isma’il al-Alam dalam buku Tasawuf dan Tragedi (hal. 93) mengantarkan mereka pada keyakinan dan penerimaan bahwa antara maujud dengan Wujud Allah di alam tidak terpisah dan memiliki entitasnya masing-masing, akan tetapi sebagai bentuk khusus manifestasi diri (tajalliyat) dan bentuk khusus determinasi (ta’ayyunat) Allah dalam konteks kesatuan wujud. Jadi sebenarnya dimanakah posisi Ibn ‘Arabi dalam hal ini? Hal ini menarik untuk didiskusikan dan tentu saja memerlukan pembacaan yang lebih mendalam terhadap karya-karya Ibn ‘Araby. Wallahu A’lam.