BerandaUlumul QuranKolom PakarBidadari Surga dan Esensi Ganjaran Ukhrawi

Bidadari Surga dan Esensi Ganjaran Ukhrawi

Dalam Alquran, bidadari surga disinggung antara lain dalam surah al-Waqi’ah: 35-38. Secara umum, surah al-Waqi’ah mengandung dua topik utama: kejadian-kejadian pada hari kiamat, dan tentang kemuliaan Alquran. Ayat 1 sampai 74 berisi topik pertama, ayat 75 sampai akhir (ayat 96) berisi topik kedua. Topik pertama dibagi lagi menjadi beberapa sub-topik: tiga golongan manusia di hari kiamat: golongan kanan, golongan kiri, dan yang paling dahulu beriman; balasan bagi mereka yang paling dahulu beriman, balasan bagi golongan kanan, dan balasan bagi golongan kiri.

Ayat 35-38 yang menyinggung bidadari tersebut berada dalam “kluster” balasan bagi golongan kanan yang ayat-ayatnya “membentang” dari ayat 27 hingga 40. Kita terjemahkan dulu “apa adanya” ayat 35-38: “Sesunggunya Kami ciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. Penuh cinta lagi sebaya umumnya. (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan.”

Yang mendorong saya menulis perihal bidadari ini adanya segolongan manusia yang cenderung mencibir beberapa penceramah agama yang membahas ganjaran surga yang isinya antara lain bidadari. Ceramah tentang bidadari itu umumnya berupa unggahan video yang durasinya biasanya tidak terlalu lama; hanya penggalan pas bagian ganjaran berupa bidadari saja, dari total video lengkap yang durasinya lebih lama, bisa satu jam lebih. Tapi, terlebih dulu silakan dicatat: Jika di sini saya mengkritik para pencibir itu, tidak dengan sendirinya berarti saya membela para penceramah. Saya hanya mencoba mendudukkan perkara.

Dalam hal apa pun, sebelum berkomentar, menilai, mengambil sikap, dan mengambil keputusan, harusnya identifikasi dulu persoalan secara lengkap-utuh-komprehensif. Dalam hal ini, mana ada kelengkapan, keutuhan, dan kekomprehensifan jika yang kita terima dan lihat hanya penggalan video dengan durasi satu-dua menit dari total durasi satu jam atau lebih. Mengambil satu-dua menit dari total satu-dua jam durasi video bisa dipastikan “si pengambil” akan kehilangan konteks, objektifitas, dan ketuntasan persoalan. Akan lebih parah ketika “kehilangan” itu berpadu dengan sentimen “like-dislike“; misal, sejak awal si pemenggal video atau si penonton video penggalan itu tidak suka dengan sosok penceramah atau dengan style ceramahnya.

Gambarannya: rekaman video berisi pengajian saya tentang surah al-Waqi’ah ayat 27-40 dengan durasi satu jam, dipenggal orang hanya bagian di mana saya sedang menerjemahkan secara harfiah surah al-Waqi’ah ayat 35-38 yang berdurasi hanya satu menit. Lalu si pemenggal itu menggungah penggalan itu, kemudian memberinya kepsyen: “Lihat, di tangan penceramah ini agama dicoreng menjadi seolah hanya bicara soal bidadari. Sungguh sebuah keberagamaan yang tidak bermutu. Hanya seputar syahwat rendahan…”

Di antara konsep dalam agama adalah pahala dan hukuman; janji dan ancaman. Pahala buah dari kebaikan, hukuman akibat dari keburukan. Pelaku kebaikan dijanjikan pahala, pelaku keburukan diancam siksa. Sejumlah ayat dan hadis menyatakan demikian. Dalam kerangka ini, tidak keliru jika orang beramal baik berharap pahala, menjauhi keburukan lantaran takut akan siksa. Mungkin ada yang menyela: “Kebaikan yang diamalkan karena berharap pahala adalah kebaikan yang tidak berkualitas.” Saya balik tanya: “Memangnya sekualitas apa kebaikanmu sehingga kamu mencela orang berbuat baik lantaran berharap pahala akhirat?”

Baca juga: Ragam Pemaknaan Ayat-ayat tentang Bidadari Surga

Ke soal bidadari lagi. Di antara pahala akhirat yang dijanjikan bagi para pelaku kebaikan di dunia ini adalah seperti yang digambarkan surah al-Waqi’ah: 35-38 itu, yakni bidadari. Apa pun gambaran kita tentang bidadari surga; apakah bidadari dalam arti sesungguhnya ataukah hanya kiasan tentang salah satu nikmat surgawi, yang jelas kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa Alquran sendiri menunjukkan bahwa bidadari merupakan salah satu pahala ukhrawi.

Maka, ketika Anda melihat potongan ceramah tentang bidadari sebagai pahala bagi orang saleh, janganlah buru-buru menyambar dengan cibiran dan cemoohan. Misalnya: “Dasar penceramah berotak mesum, berhati tengik, berwatak binatang. Omongannya tentang agama gak jauh-jauh dari selangkangan!” Ketika itu seharusnya yang Anda lakukan adalah mencari versi lengkap ceramah itu. Jangan mencukupkan hanya dengan penggalan dengan durasi hanya satu-dua menit! Dalam versi lengkap dengan durasi yang cukup lama, Anda akan mendapatkan konteks ceramah.

Bisa jadi ceramah itu memang berupa kajian tafsir yang sedang menjelaskan ayat yang secara objektif sedang bicara soal bidadari. Apa mau dikata, kalau yang sedang dikaji adalah ayat tentang bidadari. Bidadari ya bidadari, tidak mungkin diubah sesuai keinginan penceramah. Atau bisa jadi, penggalan itu dalam versi lengkap merupakan tanya-jawab; jamaah bertanya, penceramah menjawab. Kalau ada jamaah secara nyata bertanya soal bidadari, karuan saja sang penceramah akan menjawab seputar itu. Intinya, menanggapi dan unjuk pendapat tentang sesuatu itu harus berbasiskan informasi dan data yang utuh-lengkap tentang sesuatu itu.

Dengan ini, sekali lagi, saya tidak sedang mengatakan bahwa pahala ukhrawi hanya berupa bidadari; tidak pula sedang menonjol-nonjolkannya. Tapi, barangkali ada yang bertanya lagi: “Mengapa harus ada pahala surgawi berupa bidadari? Kenapa tidak hal lain yang lebih maknawi?” Kepada yang bertanya, kita bisa balik bertanya: “Di mana letak kekeliruan bahwa salah-satu pahala ukhrawi itu adalah bidadari?” Kecenderungan terhadap wanita pada lelaki itu normal, tidak perlu ditutup-tutupi, tidak untuk dipungkiri. Tidak usah “sok maknawi” atau “sok suci” untuk “menggugat” balasan surgawi berupa bidadari.

Sejak mula ada Hawa untuk menemani Adam. Agama menyediakan lembaga pernikahan sebagai wadah sah bagi kecenderungan pada lawan jenis yang berdasar watak dasarnya tidaklah buruk. Jika ada lelaki yang tidak suka pada bidadari: mungkin dia sok suci, atau mungkin sudah tercerabut dari dirinya hasrat pada wanita. Nabi pernah menghardik seorang yang datang padanya dan menyatakan akan khusyuk beribadah dengan tidak beristri. Sabda Baginda: “Aku ini orang paling takwa di antara kalian. Namun begitu, aku tetap makan dan tidak terus-terusan puasa, aku tetap tidur dan tidak terus-terusan terjaga untuk ibadah, dan aku pun beristri.” Lagi pula, seperti telah dikatakan, bidadari surga bukan satu-satunya pahala ukhrawi.

Namun demikian, di lain pihak, bagi para penceramah agama, kalau bukan sedang membahas ayat tentang bidadari, atau bukan sedang ditanya tentang hal itu, sebaiknya memang mereka tidak terlalu membawa agama ke persoalan iming-iming pahala, terlebih pahala bidadari. Kalau pun memang benar-benar harus bicara soal pahala dan balasan ukhrawi, ada bagusnya jika disentuhkan padanya pendekatan yang–sebut saja–lebih rasional-filosofis.

Baca juga: Stefan Wild dan Luxenberg tentang Makna Bidadari Surga dalam Alquran

Tentang surga dan segala pahala yang ada di dalamnya ini, saya sendiri sepenuhnya ikut sabda Nabi, yaitu: “Tidak ada mata yang pernah melihatnya, tidak ada telinga yang pernah mendengarnya, dan tidak pernah terlintas di hati siapa pun.” Itulah “kualifikasi” surga menurut Nabi. Jika kemudian dikatakan bahwa di surga ada bidadari, sungai susu, sungai khamr, dan sungai madu, pastilah semua itu “kualifikasi”-nya sesuai dengan “kualifikasi” surga yang dideskripsikan Nabi. Khayalkan seorang bidadari tercantik dan terindah! Pastilah bidadari surga tidak seperti yang kamu khayalkan. Pastilah “kualitas”-nya berlipat-lipat lebih tinggi dari apa pun yang mungkin bisa kamu khayalkan.

Saya lebih suka dengan kata-kata ini:

“Ketimbang sibuk membahas seperti apa surga dan isinya, lebih baik menyibukkan diri dengan hal-hal yang memantaskan kita masuk surga. Tenimbang sibuk menandai siapa saja yang layak masuk neraka, lebih baik sibuk dengan amal-perbuatan yang menjauhkan kita dari neraka.”

Juga kata-kata ini:

“Sedikit amal yang aku lakukan, jangankan untuk menebus bidadari, untuk menutupi dosa dan cela diri saja tidak akan mencukupi. Sedikit amal baik yang aku punya, jangankan untuk menawar surga, untuk memperpendek waktu di neraka saja mungkin tidak memenuhi.”

Baca juga: Tiga Tipe Istri yang Dijelaskan dalam Surah At-Tahrim Ayat 10-12

Abad Badruzaman
Abad Badruzaman
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...