Bukti Kekuasaan Allah Dalam Kisah Uzair Yang Wafat Selama 100 Tahun

Kisah Uzair
Kisah Uzair credit: qpedia.org

Kisah Uzair dalam al-Qur’an adalah salah satu kisah dari banyak kisah Al-Qur’an yang menunjukkan bukti kekuasaan Allah Swt. Kisah tersebut diceritakan Allah agar para pembaca al-Qur’an dapat mengambil pelajaran di dalamnya.  Dengan demikian, mereka dapat mengimani Allah dengan sepenuh hati karena Dia adalah Tuhan yang Maha Kuasa.

Ketika mendengar nama Uzair. Sebagian orang Islam mungkin akan mempertanyakan siapa dia? Apa keistemewaan dirinya sehingga diceritakan oleh Al-Qur’an? Pertanyaan-pertanyaan tersebut lumrah ditanyakan, karena ia tidak banyak diceritakan maupun dikisahkan oleh ahli sejarah. Terlebih lagi, Al-Qur’an hanya menceritakan beberapa penggal kisah tentangnya

Ulama berbeda pendapat mengenai status Uzair. Sebagian ulama menyebutkan dia hanya manusia biasa, bukan nabi atau rasul. Karena tidak ada catatan yang membuktikan ia adalah seorang utusan Allah. Sebagian lain meyakini bahwa Uzair adalah seorang nabi. Pendapat ini didasarkan kepada hadis nabi yang menyatakan bahwa jumlah nabi ada 124 ribu.

Lantas siapakah Uzair yang kisah wafat 100 tahunnya diceritakan Al-Qur’an? Quraish Shihab menyebutkan dalam Tafsir al-Misbah ([5]: 576) bahwa Uzair adalah salah seorang ulama Yahudi. Ia termasuk tawanan yang dibebaskan oleh Kursy raja Persia dan diperbolehkan kembali ke Yerusalem pada tahun 451 SM. Uzair adalah orang yang berhasil mengumpulkan kembali kitab suci Yahudi setelah sebelumnya menghilang.

Setelah mampu mengumpulkan kembali kitab suci Yahudi, Uzair memiliki posisi yang penting di kalangan orang-orang Yahudi. Bahkan sebagian mereka menyebutnya sebagai “anak Allah.” Tindakan ini sebenarnya merupakan bentuk perumpamaan kedekatan Uzair dengan Allah, namun disalahpahami oleh orang-orang Yahudi sebagai hakikat yang sesungguhnya. Alhasil, mereka tersesat karena menganggap Uzair benar-benar anak Tuhan.

Kisah Uzair dianggap “anak Allah” oleh orang Yahudi termaktub dalam QS. at-Taubah [9]: 30 yang berbunyi:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ ٣٠

Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. at-Taubah [9]: 30)

Terlepas dari perdebatan siapakah Uzair, kisahnya di dalam Al-Qur’an memiliki tujuan khusus. Menurut Khalafullah, sebuah kisah dalam Al-Qur’an seringkali tidak disebutkan secara spesifik latar belakang sosio-historisnnya,karena tujuan utama dari kisah tersebut adalah aspek psikologis, yaitu peringatan dan pelajaran. Dalam konteks kisah Uzair, yang dituju adalah pelajaran tentang kekuasaan Allah (Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah: 102-103).

Uzair Diwafatkan Allah Selama 100 Tahun

Diriwayatkan, pada suatu hari Uzair sedang melewati sebuah perkampungan yang telah porak-poranda. Perkampungan tersebut merupakan sebuah negeri yang hancur karena peperangan. Sebagian penduduknya mati terbunuh dan sebagian lainnya telah pergi ke negeri seberang untuk meneruskan kehidupan. Alhasil kampung itu terlihat sepi sekali dan tidak berpenghuni.

Ketika Uzair memasuki bangunan-bangunan yang ada di dalam perkampungan, Hatinya bertanya-tanya, “bagaimana cara Allah menghidupkan (memakmurkan) kembali kampung ini setelah kematiannya?” Pertanyaan tersebut muncul sebab Uzair melihat keadaan kampung yang sangat porak-poranda. Siapa sangka, pertanyaan itu dijawab oleh Allah dengan cara mewafatkannya selama 100 tahun agar ia dapat melihat jawaban atas pertanyaannya.

Kemudian Allah menghidupkan Uzair kembali. Bagian pertama dihidupkan adalah mata agar ia dapat melihat anggota tubuhnya yang lain dibangkitkan. Ketika Uzair terbangun, Allah bertanya kepadanya melalui para malaikat, “berapa lama kamu tinggal di sini?” Uzair menjawab, “satu hari atau setengah hari.” Karena Uzair merasa hanya berdiam sebentar dan karena waktu kebangkitan sama dengan waktu ia diwafatkan, yakni siang hari.

Lalu Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 259)

Setelah melihat kekuasaan Allah itu, Uzair kemudian kembali mengelilingi kampung di mana ia diwafatkan dengan menaiki keledainya. Ia menyaksikan kampung itu sudah banyak diisi oleh manusia dan begitu makmur, berbanding terbalik dengan keadaan sebelumnya. Ketika melewati orang-orang ia sama sekali tidak dikenali dan terasa asing.

Lalu Uzair kembali ke rumahnya dan ia bertemu seorang wanita tua berusia 120 tahun. Wanita tersebut merupakan salah satu tetangga Uzair dahulu dan ia mengenalnya dengan baik. Lantas Uzair bertanya kepadanya, “wahai ibu, apakah itu rumah Uzair?” Wanita tersebut menangis, sebab selama 100 tahun tidak ada seorangpun yang menyebutkan nama tersebut.

Uzair lantas memperkenalkan dirinya dan menceritakan tentang kematiannya selama 100 Tahun. Karena Wanita tersebut buta, ia tidak mengetahui apakah itu benar-benar Uzair. Untuk membuktikan hal tersebut, wanita tua itu kemudian meminta didoakan agar bisa melihat kembali, karena Uzair terkenal sebagai seorang yang mustajab doanya. Uzair berdoa dan dikabulkan oleh Allah. Lantas perempuan tersebut menyebarkan kepada Bani Israil tentang apa yang telah dialami Uzair.

Dari kisah Uzair di atas, setidaknya ada dua pelajaran yang bisa diambil dan dihayati, yakni; Allah adalah Tuhan Yang Maha Kuas, Dia mampu untu melakukan apapun termasuk menghidupkan kota yang telah mati dan membangkitkan keledai yang jasadnya telah terurai. Selanjutnya, dari rentan waktu 100 tahun dapat dipahami bahwa segala sesuatu di dunia ini memerlukan waktu tertentu untuk berkembang sesuai sunatullah. Wallahu a’lam.