BerandaTafsir TematikDalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (4): Surah Maryam Ayat 33

Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (4): Surah Maryam Ayat 33

Pada artikel ini, kita akan membaca dalil keempat tentang Maulid Nabi dalam Al-Quran, yaitu surah Maryam [19] ayat 33. Kita baca ayat tersebut;

وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

“Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali).”

Dalam beberapa tempat, al-Quran menyebutkan ayat yang memberi isyarat akan pentingnya hari lahir. Misalnya ayat di atas—Maryam ayat 33—yang berbicara Nabi Isa ‘alaihissalam, dan Maryam ayat 15 yang khusus berbicara Nabi Yahya ‘alaihissalam.

Berkumpulnya dua ayat, yaitu ayat 15 dan 33 dalam satu surah yang sama, Maryam, menunjukkan bahwa hari-hari tersebut; hari kelahiran, hari wafat dan hari kebangkitan adalah sesuatu yang esensial. Supaya umat Muslim dapat memetik pelajaran dari pengutusan dua nabi, Nabi Isa dan Nabi Yahya, tersebut.

Penyebutan Al-Quran tentang tiga ‘hari’ tersebut memberi isyarat tidak langsung mengenai kekhususannya daripada ‘hari’ yang lain. Seperti halnya tiga dalil maulid Nabi dalam Al-Quran sebelumnya, coba renungkan lagi ayat di atas dengan menghadirkan Nabi Muhammad saw. sebagai subjek yang berucap. Di sinilah alasan mengenang dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw., wafatnya dan hari-hari bersejarah lainnya menjadi penting.

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (3): Surah Ibrahim Ayat 5

Pada hari itu aku dilahirkan

Pada hakikatnya, orang pertama yang mentradisikan perayaan hari lahir adalah Nabi Muhammad Saw sendiri dengan mengkhususkan hari lahir beliau dengan ibadah khusus pula, yaitu puasa di hari Senin. Itulah makna perayaan.

Ibn al-Haj (w. 737 H) dalam al-Madkhal ila Tanmiyah al-A’mal menarik istinbath dari riwayat tersebut dengan menyebutkan, “…tetapi, Nabi Muhammad Saw memberi isyarat akan keutamaan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sabda beliau Saw ketika ditanya perihal puasa hari Senin yang beliau lakukan. “pada hari itulah aku dilahirkan,” begitu jawaban yang diberikan Nabi Muhammad Saw kepada para sahabat. Dengan demikian, pemuliaan terhadap hari Senin merupakan pemuliaan juga terhadap bulan di mana beliau dilahirkan.”

Masih dalam al-Madkhal, Ibn al-Haj melanjutkan, “maka sudah seharusnya kita memuliakan hari dan bulan tersebut dengan sebenar-benarnya. Keutamaan yang terdapat pada waktu dan tempat tertentu itu ditunjukkan dengan ibadah-ibadah yang dikhususkan di dalamnya. Suatu masa dan tempat tidak menjadi mulia dengan sendirinya. Tetapi ia menjadi mulia karena ada makna spesial di dalamnya. Maka lihatlah pengistimewaan yang Allah lakukan pada hari Senin dan bulan Rabiul Awal tersebut.”

“Tidakkah Anda tahu, bahwa puasa pada hari Senin mengandung keutamaan yang agung? Pada hari itulah Nabi Muhammad Saw dilahirkan. Sudah semestinya bagi seorang Muslim untuk memuliakan, dan mengangungkan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sebenar pemuliaan. Caranya dengan ber-ittiba’, mengikuti Nabi Muhammad, seperti halnya mengkhususkan waktu-waktu yang utama dengan memperbanyak amal kebaikan,” (Ibn al-Haj, al-Madkhal).

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (2): Surah Hud Ayat 120

Menyangkal klaim syubhat

Ada sebagian orang yang menyangkal perayaan Maulid Nabi tidak berdasar pada dalil apapun alias syubhat, bukan pula pada hadis yang menyebutkan Nabi puasa hari Senin. Sebab hadis tersebut adalah dalil sunnah puasa hari Senin, bukan perayaannya.

Dr. ‘Izzat Ali ‘Athiyah dalam al-Bidah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam minha membantah bahwa klaim tersebut tidaklah benar. Sebab, perayaan atau peringatan (yang dilakukan Nabi) adalah takhsish (pengkhususan) pada hari tersebut. Bukan mukhashshis (yang mengkhususi) yaitu puasa. Jadi asal kesunnahannya adalah pen-takhsis-an hari Senin tersebut, bukan puasanya.

Lalu ada juga seseorang berkata bahwa al-Quran tidak hanya mementingkan hari lahir saja, tetapi juga hari kematian. Maka seharusnya kesedihan lebih utama daripada kebahagian, dan bagi seorang pecinta, seharusnya hari itu menjadi hari duka.

Terkait klaim tersebut, al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawa menjawab bahwa lahirnya Nabi Muhammad Saw ke dunia adalah seagung-agungnya nikmat Allah yang diberikan kepada kita, dan wafatnya beliau Saw adalah sebesar-besarnya musibah yang menimpa kita. Sementara syariat menganjurkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat, dan bersabar, tenang, serta menyembunyikan kesedihan ketika musibah menimpa.

Kita tahu, syariat memerintahkan walimatul aqiqah ketika lahir seorang anak. Aqiqah adalah wujud syukur dan bahagia atas anak yang telah lahir. Kemudian ketika seseorang meninggal, alih-alih memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, misalnya, justru syariat melarang untuk meratapi orang yang meninggal dan berkabung yang berlarut-larut.

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Dengan demikian, kaidah-kaidah syariat tersebut memberi petunjuk bahwa menampakkan ekspresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad pada bulan Rabiul Awal adalah sesuatu yang hasan (baca: baik). Alih-alih bersedih atas wafatnya beliau saw, justru hal itu sama dengan apa yang dilakukan oleh golongan Syiah Rafidhah atas syahidnya Husein pada hari Asyura. Praktik semacam itu justru dicela oleh para ulama, sebagaimana dituturkan Ibn Rajab (w. 795 H) dalam Lathaif al-Ma’arif (1999). Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad!

Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari, Santri Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta. Minat pada kajian keislaman. Bisa disapa di Twitter (@ath_anwari)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU