BerandaTafsir TematikTafsir AhkamDasar Hukum dan Syarat-Syarat Penyembelihan Hewan Kurban

Dasar Hukum dan Syarat-Syarat Penyembelihan Hewan Kurban

Kata “kurban” pada hakikatnya berasal dari bahasa Arab, yaitu “qurban” (قربان), yang berarti “dekat”, “mendekatkan diri”. Istilah ini selalu kita gunakan dalam kaitan dengan kegiatan penyembelihan hewan pada hari Raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha itu sendiri pada hakikatnya berarti “Hari raya di mana seseorang harus kembali untuk melakukan kurban dengan memotong hewan kurban”. Istilah “qurban” sendiri dalam istilah Arabnya jarang digunakan, dan istilah yang paling umum digunakan untuk itu ialah “adha” (أضحى) atau “udhiyah” (أضحية).

Kata “qurban” atau “udhiyah” itu berarti “nama bagi sesuatu yang disembelih atau dikurbankan pada hari Raya Idul Adha. Menurut istilah ulama fikih, “kurban” yaitu penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt. pada waktu tertentu. Atau dengan perkataan lain bahwa “kurban” adalah nikmat atau rezeki yang dikurbankan untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari kurban.

Kurban, sebagaimana zakat dan shalat dua hari raya, mulai diperintahkan pada tahun kedua hijrah. Perintah itu berdasarkan ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah, dan ijma’ ulama.

Dasar Perintah Kurban

Dasarnya di dalam Al-Qur’an ialah ayat 2 Surat Al-Kautsar, 108 yang berbunyi: فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (lalu lakukanlah salat dan berkurbanlah).

Dasar lainnya di dalam hadis ialah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah:

((مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبَّ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ إِرَاقَةِ الدَّمِ، إِنَّهَا لَتَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ، فَطَيِّبُوْا بِهَا نَفْسًا)) رواه الحاكم وابن ماجه والترمذي.

Tidak ada suatu pekerjaan yang paling disukai oleh Allah untuk dikerjakan pada hari nahar (idul adha) selain daripada mengalirkan darah hewan (menyembelih hewan kurban), karena hewan kurban itu pada hari kiamat nanti akan datang dengan tanduknya, kukunya, dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darah sembelihan itu langsung diterima oleh Allah swt., sebelum darah itu sampai di tanah. Karena itu, harumkanlah setiap jiwa dengan sembelihan itu”.

Baca Juga: Memaknai Hari Raya Kurban: Membaca Kembali Surah Al-Kautsar Ayat 2

Hewan yang dikurbankan itu akan datang di hari kiamat nanti dengan segala sifat yang dimilikinya saat disembelih, karena itulah maka hewan sembelihan itu haruslah yang lengkap sifat-sifatnya.

Para ulama sepakat bahwa berkurban adalah pekerjaan yang sangat disukai Allah dan sangat dianjurkan di dalam agama.

Di dalam ibadah kurban terdapat beberapa hikmah penting. Di antaranya ialah a) sebagai tanda syukur atas nikmat Allah swt. yang tak terbilang jumlahnya, b) sebagai tanda syukur atas umur panjang yang diberikan Tuhan setiap tahun, dan c) untuk menjauhkan diri dari segala kejahatan.

Hukum Melakukan Kurban

Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum melakukan kurban. Abu Hanifah dan kawan-kawannya menyatakan bahwa hukum berkurban itu wajib setiap tahun bagi orang-orang muqim. Abu Yusuf menyatakan sunat mu’akkad. Pandangannya ini didasarkan pada sebuah hadis yang menyatakan: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berkurban, lalu ia tidak berkurban, maka ia tidak boleh mendekati tempat salat kami”.

Ulama selain Hanafi berpendapat bahwa berkurban hukumnya sunnat mu’akkad (bukan wajib). Makruh hukum meninggalkannya bagi yang mampu. Menurut Syafi’i, sunnat aini sekali seumur hidup, dan sunat kifayah bagi satu keluarga. Dasar pandangan mereka ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah: “Sesungguhnya Rasulullah bersabda: Apabila engkau sudah melihat bulan sabit Zulhijjah, dan engkau ingin melakukan kurban, maka kurbanlah”.

Sehubungan dengan syarat kurban, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu yarat wajib atau sunahnya dan syarat sahnya. Satu-satunya syarat bagi yang akan berkurban adalah mampu melakukan kurban. Bagi yang tidak mampu tidak disyaratkan.

Mampu, menurut Hanafiyah, ialah seseorang yang memiliki harta yang nilainya sama dengan nisab zakat, atau seseorang yang memiliki harta yang lebih daripada sandang, pangan, dan pakaian.

Mampu, menurut Malikiyah, ialah seseorang yang memiliki harta, (senilai hewan kurban) lebih daripada kebutuhan pokoknya pada tahun itu. Jika dia mampu berutang, ia harus berutang.

Mampu, menurut Syafi’iyyah, ialah seseorang yang memiliki harta (senilai hewan kurban) lebih daripada yang ia butuhkan dan keluarganya pada hari Idul Adha dan hari-hari tasyriq.

Mampu, menurut Hanbali, ialah seseorang yang kemungkinan besar dapat memperoleh harta senilai harga hewan kurban itu, meski dengan berutang, dengan catatan bahwa dia diperkirakan mampu membayar utangnya.

Syarat Sah Hewan Kurban

Syarat-syarat sahnya hewan kurban itu adalah sebagai berikut: a) Hewan yang disembelih itu harus sempurna dan lengkap sifat-sifatnya dan sehat. b) Hewan harus disembelih pada waktu-waktu tertentu. Menurut Hanafiyah: penyembelihan hewan kurban dilakukan pada malam hari (selama dua malam), yaitu malam tanggal 11 (malam kedua) dan 12 Zulhijjah (malam ketiga), tidak boleh pada malam Hari Raya Idul Adha dan malam ke-14. c) Malikiyah menambahkan dua syarat lagi, yaitu 1) yang sembelih haruslah muslim, dan 2) harga 1 hewan sembelihan itu bukanlah harga patungan.

Baca Juga: Nabi Muhammad Saw Gemar Berkurban Setiap Tahun

Syarat-syarat bagi orang yang diperintahkan untuk berkurban. Mereka yang diperintahkan berkurban ialah a) muslim (bukan kafir), b) orang merdeka (bukan budak) , c) balig (bukan di bawah umur), d) berakal (waras), e) muqim (tinggal, bukan musafir), dan f) mampu.

Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai sembelihan kurban bagi seseorang yang belum baligh. Abu Hanifah berpendapat, wajib hukumnya berkurban. Malikiyah, sunat berkurban, sedangkan Syafi’iyyah dan Hanbali, tidak sunat.

Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...