Debat Kusir Mengenai Al-Quran Dilarang, Berikut Penjelasannya

Debat Kusir
Debat Kusir

Sebuah perdebatan atau diskusi yang berjalan alot tentang dalil Al-Quran, disertai keinginan agar lawan debat dapat segera mau mengikuti kita, kadang membuat kita melakukan hal-hal yang dapat menciderai kemuliaan Al-Qur’an. Diantaranya adalah membuat lawan debat menjadi ragu pada suatu ayat di dalam Al-Qur’an dengan mempertentangkannya dengan ayat lain. Sehingga mengarah pada inkar terhadap suatu ayat di dalam Al-Qur’an.

Tindakan ini merupakan salah satu gambaran dari prilaku yang di dalam hadis Nabi disebut Al-Mira’ atau bisa diartikan sebagai debat kusir atau debat tanpa alasan yang jelas menurut ahli ilmu agama. Alih-alih membuat seorang muslim memperoleh pemahaman bermanfaat dari Al-Qur’an, Al-Mira’ justru mendorong seorang muslim mendustakan suatu ayat, tanpa tahu apakah pemahamannya akan ayat tersebut sudah benar atau belum.

Hadis Larangan Debat Kusir Mengenai Al-Qur’an Serta Berbagai Penjelasan Tentangnya

Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam bersabda:

« الْمِرَاءُ فِى الْقُرْآنِ كُفْرٌ »

Debat kusir mengenai Al-Qur’an hukumnya kufur (HR. Abi Dawud)

Hadis di atas diriwayatkan oleh banyak ahli hadis. Di antaranya Abi Dawud, Ibn Hibban, Ad-Daruquthni, Al-Hakim dan Abu Nu’aim. Ibn Hibban dan al-Hakim menilai hadis di atas sebagai hadis sahih.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 59: Cadar dan Perdebatan yang Melelahkan

Al-Mira’ di dalam kamus Bahasa Arab sendiri maknanya adalah “perdebatan”. Para ulama’ memiliki penjelasan yang berbeda-beda mengenai gambaran tindakan debat kusir mengenai Al-Qur’an yang dilarang sebagaimana di dalam hadis di atas:

  1. Membuat lawan debat meragukan salah satu ayat dari Al-Qur’an, bahwa itu adalah kalamullah. Atau Meragukan Ayat tersebut bersifat qadim atau hadis, atau gemar mengutak-atik ayat-ayat mustabihat yang kejelasannya hanya Allah yang tahu (Faidul Qadir/6/344).
  2. Adanya dua orang yang menggunakan qiraah yang berbeda dari 7 qiraah yang diakui kesahihannya, kemudian salah satunya atau masing-masing mengklaim qiraah yang dipakainyalah yang benar, sedang qiraah lawan bicaranya adalah qiraah yang salah. Hal ini dapat membuat pelakunya menjadi kufur sebab sama saja inkar terhadap cara baca yang diakui kesahihannya (‘Aunul Ma’bud/10/123).
  3. Perdebatan yang berisi mendustakan satu ayat di dalam Al-Qur’an dengan cara mempertentangkannya dengan ayat lain. Padahal yang seharusnya ia lakukan adalah mencari titik temu dari dua ayat tersebut. Apabila tidak bisa, maka seharusnya ia diam dan menanyakan permasalahan itu pada orang yang lebih tahu (‘Aunul Ma’bud/10/123).
  4. Tatkala sebuah ayat menunjukkan secara jelas pada kesimpulan yang berlawanan dengan yang diyakini seseorang, dan menunjukkan secara lemah pada kesimpulan yang diyakini orang tersebut, lalu ia menggunakan ayat tersebut sebagai modal debat dan diarahkan pada kesimpulan sesuai apa yang diyakininya. Padahal ia tahu, kesimpulan sebenarnya dari ayat tersebut berlawanan dengan apa yang diyakininya (At-Tibyan/168).

Titik Temu Berbagai Uraian Tentang Al-Mira’

Secara umum, ulama’ tidaklah meyakini bahwa yang dimaksud Al-Mira’ atau perdebatan di dalam hadis di atas adalah perdebatan secara umum. Sebab perdebatan-perdebatan tentang hukum halal-haram, tentang makna-makna suatu ayat, dimana perdebatan tersebut dilandasi oleh berbagai disiplin ilmu yang dimiliki oleh pelakunya, tidaklah dilarang dan justru malah dianjurkan. Hal ini disampaikan diantaranya oleh Ibn Hajar dan Abu ‘Ubaid (‘Aunul Ma’bud/10/123).

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu

Perdebatan yang dilarang adalah perdebatan terkait Al-Qur’an yang tidak dilandasi ilmu atau debat kusir, sehingga berakibat menabrak hukum-hukum yang sudah disepakati ulama’. Misalnya yang mendorong mendustakan salah satu ayat dari Al-Qur’an, atau mengambil kesimpulan-kesimpulan lemah dari suatu ayat untuk menghalalkan darah atau harta seorang muslim.

Perdebatan-perdebatan tentang Al-Qur’an haruslah dilandasi dengan ilmu. Tujuan berdebat pun harus diarahkan pada mencari kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan dengan segala cara. Apabila perdebatan antara dua orang menemui jalan buntu pada hal-hal yang belum diketahui oleh mereka, maka sepatutnya mereka berhenti dan menanyakan pada orang lain yang lebih tahu.