BerandaTafsir TematikTafsir Tarbawi: Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu

Tafsir Tarbawi: Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu

Islam melarang debat kusir dengan orang yang tidak berilmu. Sebab debat kusir adalah debat tidak bermutu dan membuang energi secara sia-sia serta tidak bermanfaat. Ketika menyanggah argumennya dengan logis, rasional disertai bukti atau data yang valid dan kredibel, justru mereka menyerang pribadi personal bukan argumennya. Ini menunjukkan kejumudan dalam berfikir.

Maka, alangkah baiknya dan Islam melarang berdebat dengan kelompok seperti itu. Sebab tidak menemukan titik temu, justru permasalahan semakin runyam. Larangan debat kusir dengan orang yang tidak berilmu ini Allah swt sampaikan dalam firman-Nya di bawah ini,

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (Q.S. al-Baqarah [2]: 6-7)

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 6-7

Muhammad ‘Ali al-Shabuny menjelaskan kandungan ayat ke-6 dalam Shafwah at-Tafasir bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi saw seperti berdakwah dan memberi peringatan kepada mereka, bernilai sia-sia belaka. Mereka tetap tidak beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Bahkan dikatakan mereka bukan tidak mau beriman saja, lebih dari itu mereka tidak membenarkan atau tidak mengakui kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi saw, mereka juga tetap dalam kekafirannya.

Pada ayat selanjutnya (ayat ke-7), redaksi khatamallahu ‘ala qulubihim bermakna hati mereka keras sehingga nur atau cahaya Allah swt tidak berkenan masuk, dan mereka juga tidak ingin hati mereka mendapat cahaya-Nya. Mufassir yang lain mengatakan hati mereka terkunci, tertutup dan keras.

Sedangkan redaksi wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala absharihim, as-Shabuny menafsirkannya bahwa semua pendengaran dan penglihatan mereka tertutup, penglihatan mereka tidak mendapat petunjuk. Begitu pula pendengaran mereka tuli, dan tidak dapat digunakan untuk merenungi segala keagungan-Nya.

Hal senada juga disampaikan oleh al-Mahalli dan as-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain, bahwa orang-orang kafir (seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan selain keduanya) sama saja Nabi saw beri peringatan atau tidak, mereka tetap tidak beriman sebab Allah memang telah mengetahui mereka sehingga Nabi saw tidak perlu berharap akan keimanan mereka. Indzar (peringatan) di sini bermakna i’lam ma’a takhwif (penyampaian pesan atau kabar yang disertai kabar menakutkan).

Adapun pada ayat ke-7, hati, pendengaran dan penglihatan mereka tertutup dan terkunci dari cahaya kebenaran dan mereka mendapat azab yang qawiyyun da-imun (azab yang sangat berat dan mereka kekal di dalamnya).

Dalam tafsir yang lain misalnya Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaily menjelaskan makna kufrun secara bahasa adalah menutup atau menghalangi sesuatu. Maka yang disebut kafir di sini adalah mereka yang tertutup atau terhalang dari kebenaran dan nikmat Allah. Siapa saja yang tidak beriman kepada Alquran, niscaya ia kafir. Kafir adalah lawan dari iman.

Al-Baghawy menambahkan bahwa malam bisa disebut kafir karena malam menutupi cahaya lantara sifatnya yang gelap gulita. Petani pun juga bisa disebut kafir karena ia menutupi benih dengan tanah. Sementara orang kafir menutupi kebenaran karena keingkarannya.

Ulama tafsir Nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantany dalam at-Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil/ Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’anin Majid menyampaikan bahwa Allah swt menyebut kekufuran orang-orang kafir pada Q.S. al-Baqarah [2]: 6-7. Allah swt mencetak hati mereka sehingga cahaya keimanan dan kebenaran enggan masuk. Demikian pula hati, pendengaran, penglihatan mereka sama sekali tidak dapat mengambil manfaat atas kebenaran. Baca juga: Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 36: Larangan Berkomentar Tanpa Ilmu

Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu

Imam Syafi’i pernah berkata sebagaimana dikutip dalam Mafahim Yajibu at-Tushahha karangan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, “Setiap kali berdebat dengan para intelektual, aku selalu menang. Namun, anehnya tiap kali berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tak berdaya.”

Lalu Imam Syafi’i memberi klarifikasi sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tawali Ta’sis karangan Ibnu Hajar bahwa ia tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan. Beliau juga pernah berkata,

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ أَحْبَبْتُ أَنْ يُوَفَّقَ وَيُسَدَّدَ وَيُعَانَ وَيَكُوْنَ عَلَيْهِ رِعَايَةٌ مِنَ اللهِ وَحِفْظٌ وَمَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إِلاَّ وَلَمْ أُبَالِ بَيَّنَ اللهُ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِيْ أَوْ لِسَانِهِ

Tidakkah aku berdebat kecuali berharap agar lawan debatku diberi taufiq dan pertolongan serta dijaga oleh-Nya. Dan tidak pula aku berdebat kecuali aku tak menghiraukan apakah Allah menampakkan kebenaran lewat lisanku atau lisannya.

Ibnu Rajab memberi komentar atas ucapan beliau ini, “Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak mempunyai maksud dan tujuan kecuali menampakkan kebenaran, sekalipun melalui lisan lawan debatnya yang menyelisihinya.” (al-Farqu baina Nashihah wa Ta’yir)

Lantas bagaimana menghadapi lawan debat kusir seperti itu? Imam Syafi’i memberikan tips sebagai berikut,

Apabila orang bodoh mengajak berdiskusi denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam (tidak menanggapi), sebab tatkala kamu melayaninya, itu akan menyusahkan dirimu sendiri. Jika kamu berteman dengannya, ia akan selalu menyakiti hatimu.

Kemudian, ada orang yang bertanya kepada Imam Syafi’i, “lantas jika engkau ditantang oleh musuhmu, apakah engkau diam?” Imam Syafi’i menjawabnya,

Sesungguhnya untuk menangkal pintu-pintu kejahatan itu ada kuncinya, sikap diam lah terhadap orang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan. (Dikutip dari Diwan al-Syafi’i)

Kisah Imam Syafi’i dan kandungan ayat di atas memberikan pemahaman bahwa hindari debat kusir dengan orang yang memang tidak berniat untuk mencari benang merah penyelesaian suatu permasalahan. Berdebat dengan mereka hanya membuang-buang waktu dan melelahkan diri saja.

Dalam ayat di atas dilukiskan dengan redaksi khatamallahu ‘ala qulubihin wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala absharihim, mereka memang sudah terkunci dan tertutup hatinya, pendengaran dan penglihatannya dari cahaya petunjuk Allah swt.

Oleh karenanya, Islam melarang debat kusir dengan orang yang tidak berilmu sebab bagaimanapun jawaban yang diberikan, selogis dan serasional pun mereka tetap tidak menerimanya. Maka yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi ocehan receh mereka. Karena memang mereka berkehendak memancing di air keruh agar kita tersulut mengikuti alur mereka, maka hindari berdebat dengan kelompok tersebut. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...