BerandaTafsir TematikKetika Berdebat Inilah Yang Perlu Diperhatikan Menurut Imam al-Ghazali

Ketika Berdebat Inilah Yang Perlu Diperhatikan Menurut Imam al-Ghazali

Perdebatan telah menjadi hal tak terhindarkan dalam media sosial. Media sosial terbukti berperan mempertemukan seseorang dengan lawan debatnya. Muncul kemudian terminologi-terminologi tertentu yang menggambarkan masif-nya fenomena ini, misalnya apa yang disebut dengan “Twit War”, dll. Di antara efek negatif yang timbul adalah hate speech (ujaran kebencian). Debat bukanlah hal yang dilarang dalam Islam, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berdebat.

Selain ujaran kebencian, masih terdapat beberapa bahaya lain dari debat, di mana Alquran dan hadis telah me-warning bahaya-bahaya tersebut. Imam al-Ghazali dalam magnum opus-nya “Ihya Ulum al-Din”, merinci hal tersebut, yang ringkasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, merasa paling benar dan suci. Padahal Allah SWT berfirman:

فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بمَنِ اتَّقَى

“Janganlah kalian menyatakan diri kalian suci. Sebab sesungguhnya Allah paling mengetahui siapa orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Najm [53]: 32).

Kedua, memata-matai dan berusaha mencari kelemahan lawan, dalam rangka menjatuhkannya. Ini juga dilarang. Allah SWT berfirman:

وَ لَا تَجَسَّسُوْا

“Janganlah kalian memata-matai (kelemahan orang lain)” (QS. al-Hujurat [49]: 12).

Ketiga, menggunjing (ghibah). Dalam rangka menyerang lawan, seorang pendebat sering kali menyebar aib lawan debatnya. Padahal ghibah diibaratkan seperti memakan bangkai (QS. al-Hujurat [49]: 12).

Keempat, dengki. Rasulullah SAW bersabda, “Dengki menghancurkan amal baik seperti api melahap kayu.’ Ibn Abbas berkata, “Tuntut lah ilmu di mana pun ia berada, dan jangan pernah taat kepada setan yang gemar bertengkar.”

Kelima, takabur, padahal ia adalah sifat dan sikap eksklusif Allah. Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi, “Keagungan adalah jubah-Ku dan kesombongan adalah busana-Ku. Aku akan membinasakan orang yang berdebat dengan mengenakan salah satu pakaian-Ku itu.” Rasulullah juga mewanti-wanti agar kita menghindari sikap takabur, beliau bersabda, “Seorang mukmin mustahil memiliki rasa takabur dalam hatinya.”

Baca Juga: Cara Menangkal Hoax Menurut Pandangan Alquran

Keenam, menolak kebenaran. Salah satu hal yang paling dibenci oleh orang yang berdebat adalah menerima kebenaran yang keluar dari mulut lawan, karena itu dia akan berusaha sebisa mungkin menolak kebenaran tersebut, meski dengan berkelit dan beretorika, atau bahkan berbohong. Allah SWT berfirman, “Siapakah yang lebih bersalah daripada orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah (mem-politisasi ajaran Allah) dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?”

Ketujuh, dendam. Seseorang yang kalah atau tersinggung dalam debat bisa jadi timbul dendam dalam hatinya, dan hanya sedikit yang tidak. Padahal Nabi SAW bersabda, “Seorang mukmin tidak mungkin memiliki rasa dendam.”

Kedelapan, munafik (hipokrit). Seorang pendebat biasanya menampilkan citra diri bersahabat secara lahir, namun memendam kebencian dan mengharap keburukan dalam hatinya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ketika seorang alim tidak memperlihatkan ilmunya dalam bentuk amal, mengungkapkan cinta kepada orang lain dengan lisan, tetapi memelihara kebencian di dalam hati, dan memutuskan hubungan silaturrahim, maka Allah akan melaknatnya, membuat lidahnya ‘kelu’, dan matanya ‘buta’.”

Kesembilan, ujub dan riya. Di antara bahaya debat lagi adalah bisa jatuh ke dalam riya (pamer) dan ujub (merasa baik) di hadapan orang lain dalam rangka menarik dan menyesatkan mereka. Padahal keduanya merupakan dosa besar.

Kesepuluh, menipu. Tidak jarang seorang yang berdebat terpaksa menipu dalam berdebat, misalnya dengan menampilkan data hoaks atau kutipan yang tidak sesuai.

Untuk menghindari bahaya-bahaya tersebut, Imam al-Ghazali menawarkan delapan syarat agar perdebatan bisa menghasilkan faedah, yaitu, 1) harus melaksanakan fardhu ‘ain dulu, 2) harus melaksanakan fardhu kifayah yang prioritas, 3) harus punya kompetensi yang cukup, jika tidak maka harus ada dasar/kutipan dari ahli, 4) tema harus lah yang aktual dan manfaat untuk dibahas,

5) debat tertutup di lokasi sepi, atau melalui jalur pribadi jika di medsos, lebih dianjurkan. Jika harus menghadirkan orang maka hadirkan orang yang alim atau yang berkompetensi, 6) semangatnya harus mencari kebenaran (bukan pembenaran), meski kebenaran itu berasal dari pihak lawan, 7) tidak boleh mengintimidasi lawan dalam berargumen atau berusaha mengalihkannya, 8) lawan debat harus lah orang yang terpelajar atau minimal diperkirakan mendatangkan manfaat, sehingga terhindar dari debat kusir.

Demikian beberapa hal mengenai bahaya dan sisi negatif debat, dan bagaimana mengantisipasinya, sesuai nasehat Imam al-Ghazali yang digali dari beberapa ayat Alquran dan hadis. Semoga kita senantiasa terhindar dari bahaya-bahaya tersebut dan selalu diberi pandangan yang jernih dalam melihat kebenaran, di era medsos yang serba ambigu dan penuh ketidakjelasan ini. Wallahu a’lam bi muradih.

M. Najih Arromadloni
M. Najih Arromadloni
Pengurus MUI Pusat, Adviser CRIS Foundation dan Pengajar di Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum, Lumpur Losari Brebes
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...