Masih meneruskan topik sebelumnya, tulisan ringkas ini akan mencoba menyajikan delapan tema pokok Al-Quran menurut Fazlur Rahman yang ia tuangkan dalam bukunya Major Themes of The Qur’an. Secara berurutan, tema-tema pokok Al-Quran tersebut adalah 1) Tuhan, 2) Manusia sebagai Individu, 3) Manusia dalam Masyarakat, 4) Alam Semesta, 5) Kenabian dan Wahyu, 6) Eskatologi, 7) Setan dan Kejahatan, dan 8) Kelahiran Masyarakat Islam.
Pertama: Tuhan
Kata ‘Allah’—nama sejati untuk menyebut Tuhan, disebutkan lebih dari 2.500 kali dalam Al-Quran. Tema pokok Al-Quran ini belum termasuk kata Rabb dan al-Rahman, dua nama yang tidak hanya menunjukkan aspek sifat, tetapi juga dzat. Kesan kuat yang akan segera dirasakan ketika membaca Al-Quran adalah adanya keagungan dan kepengasihan Tuhan yang tak terbatas. Kehadiran Tuhan dapat diresapi oleh mereka yang telah melakukan perenungan, yaitu “orang yang takut kepada Yang Maha Pengasih dalam keadaan gaib dan menghadap dengan hati yang bertaubat.” (QS. Qaaf [50]: 33). Kasih sayang Tuhan tidak saja ditunjukkan dalam pengampunan-Nya atas dosa manusia, tetapi juga melalui apa yang dikaruniakan-Nya kepada kita berupa bumi dengan segala isinya.
Baca juga: Delapan Tema Pokok Al-Quran Menurut Fazlur Rahman (1)
Kedua: Manusia sebagai Individu
Manusia adalah ciptaan Tuhan seperti makhluk ciptaan lainnya. Tetapi, letak kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain adalah karena Tuhan ‘meniupkan ruh-Nya kepadanya’ (QS. Al Hijr [15]: 29, QS. Shad [38] :72 dan QS. Al Sajdah [32] :9). Di kehidupan dunia, manusia diperintahkan untuk melakukan perjuangan moral tanpa henti. Dalam perjuangan ini Tuhan akan menyertai manusia, dengan syarat; manusia—sebagai wakil Tuhan dengan pilihan bebasnya—mau melakukan apapun yang diperlukan demi terciptanya suatu sistem moral sosial di belantara bumi.
Ketiga: Manusia dalam Masyarakat
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan utama Al-Quran adalah melestarikan sebuah tatanan sosial yang dapat berlangsung terus-menerus di atas bumi dengan berpijak pada prinsip etika dan keadilan. Tidak pernah ada dalam sejarah manusia, individu tanpa masyarakat. Dalam perspektif ini, konsep perbuatan manusia—khususnya menyangkut taqwa—hanya akan berarti jika memiliki sumbangsih pada konteks sosial. Tujuan Al-Quran tentang sebuah tatanan egalitarian, beretika dan adil diumumkan bersamaan dengan penolakan keras terhadap ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang dulu pernah terjadi dalam kekelaman masyarakat komersial Makkah.
Keempat: Alam Semesta
Pembicaraan tentang kosmogoni tidak terlalu banyak disebutkan dalam Al-Quran. Berbeda dengan manusia yang diberikan kebebasan memilih, alam semesta hanya punya satu pilihan, yaitu tunduk kepada Tuhan melaui hukum-hukum yang telah ditetapkan. Itulah mengapa alam semesta dikatakan muslim, karena ketaatan dan ketundukannya kepada ‘kemauan’ Tuhan. Alam semesta dengan segala keteraturannya diciptakan untuk kepentingan manusia. Namun, tujuan manusia sendiri tidak lain selain untuk mengabdi kepada Tuhan, berterima kasih kepada-Nya, dan hanya semata-mata menyembah-Nya.
Baca juga: Mengenal Sejarah Ilmu Semantik Al-Quran dari Klasik hingga Kontemporer
Berterima kasih dan menyembah Tuhan tentu bukan untuk kepentingan Tuhan, melainkan sepenuhnya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Yang tidak kalah pentingnya, Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan yang serius, bukan untuk untuk permainan; “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptkan kamu main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk dimintai pertanggung jawaban)?” (QS. Al Mu’minun [23]: 115).
Kelima: Kenabian dan Wahyu
Tuhan telah menugaskan para rasul di berbagai belahan dunia, baik yang disebut atau yang tidak disebut dalam Al-Quran (QS. Ghafir [40]: 78; QS. An Nisa’ [4]: 164). Sebagian rasul itu terbatas untuk lingkungan kaumnya saja. Meski begitu, risalah dan pesan yang disampaikan itu tidak bersifat lokal, tetapi punya makna universal yang mesti dipercayai dan diikuti oleh seluruh manusia. Inilah yang dimaksud dengan konsep kesatuan kenabian.
Melalui pesan dan risalah kenabian, kesadaran manusia akan melambung tinggi sehingga mereka mampu melihat secara jelas ‘Tuhan sebagai Tuhan’ dan ‘setan sebagai setan’. Dari sederet daftar pada nabi dan rasul itu, Nabi Muhammad Saw. adalah nabi penutup dan tidak akan muncul lagi nabi sesudahnya, serta Al-Quran sebagai wahyu terakhir. Ini menjadi tanggung jawab berat bagi siapapun yang mengaku muslim untuk meneruskan risalah kenabian itu demi kemaslahatan manusia.
Keenam: Eskatologi
Perbincangan seputar ‘hidup sesudah mati’ merupakan tema yang berulang disebutkan dalam Al-Quran. Kitab Suci ini berbicara tentang hari ‘pengadilan’ sebagai al-akhirah. Itulah momen kebenaran di mana semua tindak tanduk manusia selama hidup di dunia akan dimintai pertanggungjawaban. Semua bentuk kerahasiaan akan diungkap dan diperlihatkan. Al-Quran menggambarkan kebenaran momen itu dengan, “Sesungguhnya engkau dalam keadaan lalai yang dalam tentang ini (Momen kesadaran diri), tetapi sekarang Kami bukakan darimu tutup yang (menutupi matamu), maka penglihatnmu hari ini tajam” (QS. Qaaf [50]: 22). Semua sengketa dan konflik tentang kepercayaan manusia dan yang lainnya akan diselesaikan. Di sinilah letak tujuan dari ‘pengadilan’ Hari Akhir.
Ketujuh: Setan dan Kejahatan
Kejahatan (syarr) sebagai lawan kebaikan (khair) masuk dalam materi diskusi tentang perbuatan manusia secara individu dan kolektif. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa setan adalah kekuatan anti-manusia. Prinsip kejahatan yang oleh Al-Quran dipersonifikasi sebagai iblis atau setan, sekalipun personifikasi kedua lebih lemah dari yang pertama. Al-Quran—terutama pada surah-surah Makiyah, berkali-kali menyebutkan setan dalam bentuk jamak (syayathin), yang terkadang secara metaforis juga merujuk kepada manusia. Al-Quran menjamin bahwa godaan setan iblis tidak akan mempan atas orang yang beriman dan berserah diri kepada Tuhan: “Sesungguhnya dia (setan) tidak punya kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan mereka yang berserah diri kepada Tuhannya.” (QS. An Nahl [16]: 99).
Baca juga: I’Jaz Al-Qur’an Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani, Ulama Penggubah Ilmu Balaghah
Delapan: Bangkitnya Komunitas Muslim
Pada beberapa bagian Al-Quran telah dijelaskan sejarah dan pembentukan bangunan umat muslim. Sejarah ini meliputi penerimaan semua utusan terdahulu yang menyampaikan pesan yang sama, tetapi mengakui Islam sebagai agama terakhir yang sempurna. Umat Yahudi dan Kristen disebut sebagai Ahl al-Kitab, namun dipandang sebagai umat yang tidak sempurna dalam doktrin monoteismenya. Walau demikian, Al-Quran mengakui keberadaan orang-orang baik di kalangan komunitas Yahudi, Kristen, dan Shabi’in, sepertihalnya mengakui orang-orang yang beriman dalam Islam; “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah [2]: 62; QS. Al Maidah [5]: 69).
Wallahu a’lam []