Sejak diterbitkannya buku Qira’ah Mubadalah, metode mubadalah mulai banyak dikenal dan diaplikasikan sebagai perspektif tandingan atas teks-teks keagamaan—baik Alquran maupun hadis—yang dinilai bersifat patriarkal. Melalui Qira’ah Mubadalah, Faqihuddin Abdul Kodir menawarkan sebuah gagasan metode pembacaan teks yang bersifat resiprokal—kesalingan dalam relasi gender.
Dalam buku Qira’ah Mubadalah sang penulis menyebutkan bahwa ada dua hal utama yang melatarbelakangi kehadiran metode mubadalah: pertama, bahasa Arab yang digunakan Alquran sangat bias gender dan cenderung maskulin sehingga menyebabkan pesan-pesan universal Alquran sering kali justru tidak diterima secara netral gender. Kedua, keadaan sosial di mana kebanyakan ulama dan mufasir pada zaman dahulu yang berjenis kelamin laki-laki juga turut menyumbang ketimpangan konstruksi gender dalam memahami teks-teks keagamaan.
Baca juga: Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah
Di tengah hiruk pikuk diskursus gender, belum lama ini, melalui bukunya yang berjudul Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama, Faqihuddin Abdul Kodir memberi sebuah sinyal mengenai adanya dimensi yang lebih luas dari Qira’ah Mubadalah. Dalam pembahasan awal buku ini, ia mengungkapkan:
“Relasi mubadalah tidak melulu berdimensi gender. Bisa kelas sosial antara pekerja dan majikan, atau antar-warga dalam sebuah negara-bangsa, seperti muslim dengan non-muslim. Bisa ekologi antara manusia dan alam. Prinsip utamanya adalah mengenai relasi yang bermartabat, adil, dan maslahah. Bermartabat artinya kedua pihak memandang penting dan mulia untuk berelasi. Adil artinya menuntut yang memiliki kapasitas untuk memberdayakan yang kurang kapasitas. Maslahah artinya kedua belah pihak menjadi subjek untuk melakukan dan memperoleh kebaikan, yang menjadi dampak dari relasi tersebut.”
Baca juga: Tafsir Ayat Relasional yang Kurang Mencerminkan Kesetaraan
Pernyataan tersebut tentu berbeda dengan gagasan utama yang ia paparkan dalam buku sebelumnya. Jika dalam buku Qira’ah Mubadalah sang penulis mengatakan bahwa premis dari prinsip ini adalah bahwa wahyu Islam turun untuk laki-laki dan perempuan sehingga teks-teksnya juga harus menyasar kedua gender, maka dalam buku ini ia menyatakan bahwa yang menjadi pondasi utama dari mubadalah adalah prinsip rahmah atau kasih sayang. Maknanya, Faqihuddin Abdul Kodir sendiri telah memperluas dimensi metode mubadalah itu.
Ada satu hal penting yang harus digarisbawahi, yaitu bahwa mubadalah mengakar kuat pada sebuah ajaran paling fundamental dari Islam: tauhid. Sebagai kerangka dasar yang membentuk mubadalah, tauhid mengantarkan seseorang kepada pemahaman bahwa pengakuan atas keesaan Allah sebagai satu-satunya zat yang patut disembah dan ditaati sekaligus berarti memproklamasikan kesetaraan antar manusia. Maknanya, mubadalah memiliki tujuan yang signifikan untuk meniadakan superioritas-inferioritas.
Baca juga: Kisah Khadijah dan Pembacaan Mubadalah Faqihuddin Abdul Kodir atas Q.S. Al-Alaq: 1-5
Perlu dicatat bahwa superioritas-inferioritas bukan hanya isu dalam relasi gender, tetapi juga dalam banyak dinamika relasi sosial lainnya termasuk juga relasi manusia dengan alam. Oleh sebab itu, tawaran dimensi mubadalah yang lebih luas ini akan menjadi sebuah magnum opus baru dalam dinamika perkembangan metode tafsir yang menyatukan semua teks agama dalam kerangka besar paradigma Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Gagasan baru dari Faqihuddin ini sekaligus membawa angin segar bagi dinamika perkembangan Qira’ah Mubadalah. Ia juga telah secara permisif menyatakan bahwa metode ini dapat digunakan dalam membaca teks-teks terkait relasi di luar gender, terutama relasi sosial dan ekologi. Meski begitu, dalam buku ini juga ia menyebutkan bahwa gagasan baru ini belum terkonstruksi secara kokoh dibandingkan dengan gagasan sebelumnya. Ia juga secara terbuka menyatakan bahwa gagasan ini masih banyak memerlukan kritik konstruktif untuk mencapai metode tafsir mubadalah terkait relasi yang baru ini.