Sampai di seri yang ke enam, tepatnya ahad malam (28/2), tafsiralquran.id kembali menggelar Serial Diskusi Tafsir. Kali ini mengambil topik ‘Dinamika Penerjemahan Al-Quran di Indonesia’. Terjemah Al-Quran memegang peran yang sangat penting dalam pembelajaran Al-Quran. Ia dianggap sebagai pintu masuk awal dalam mempelajari Al-Quran, khususnya untuk pembaca non Arab.
Pendapat di atas pernah disampaikan oleh Hamam Faizin, Dosen STAI Al Hikmah Depok dan mahasiswa doktoral UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dalam tulisannya yang pernah dimuat di website ini sebelumnya. Konsentrasi penelitiannya tentang penerjemahan Al-Quran membuat panitia penyelenggara mendapuknya sebagai pembicara. Sebagai pembicara yang kedua yaitu Dosen UIN Sunan Gunung Djati, Bandung yang juga pernah terlibat dalam penerjemahan Al-Quran ke bahasa Sunda, yaitu Dr. Izzah Faizah.
Baca Juga: Perkembangan Penerjemahan Al-Quran di Indonesia dari Masa ke Masa
Jalan tengah perdebatan boleh-tidaknya penerjemahan Al-Quran
Kontroversi boleh atau tidaknya penerjemahan Al-Quran terlebih dahulu dijelaskan oleh pak Hamam –panggilan akrab Hamam Faizin-. Alasan teologis ayat-ayat universalitas ajaran Al-Quran dan kerasulan Muhammad dijadikan sebagai pertimbangan kebolehan penerjemahan Al-Quran, sedang alasan teologis ayat-ayat i’jaz kebahasaan Al-Quran menjadi alasan larangan penerjemahan Al-Quran.
Tentu ada alasan-alasan lainnya juga, seperti data historis yang bercerita tentang penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Persia yang dilakukan oleh Salman Al-Farisi, seorang sahabat Nabi. Di saat yang sama ilmu linguistik mengatakan bahwa tidak akan pernah ada terjemah yang benar-benar mengalih bahasakan satu bahasa ke bahasa lainnya, terlebih bahasa Al-Quran.
Menarik untuk disimak kutipan pak Hamam dari Nouman Ali Khan yang menunjukkan bahwa Al-Quran sebenarnya juga melakukan penerjemahan bahasa dalam menceritakan kisah-kisah tokoh atau Nabi sebelum Nabi Muhammad, ‘Fir’aun was not Arabic but he speaks Arabic in the Quran, Musa was not Arabic but he speaks Arabic in the Quran, Ibrahim server all over the places, he travel in Iraq, he travel in Palestine, he travel all over, we don’t know what he spoke but he spoke Arabic in the Quran…. this mean Allah translating, isn’t he?’
Melihat dialog ulama-ulama ini, ada jalan tengah yang diupayakan oleh para pengkaji Al-Quran selanjutnya, sehingga semangat dari keduanya dapat diakomodir. Boleh melakukan penerjemahan Al-Quran dengan beberapa kondisi. Kondisi tersebut ditulis oleh pak Hamam yaitu, pertama, terjemah bukanlah Al-Quran; kedua, penerjemah harus memenuhi kualifikasi yang sudah ditentukan; ketiga, melarang terjemah harfiyyah membolehkan terjemah tafsiriyah; keempat, setiap penerjemah pasti akan mengalami masalah baik leksikal, semantik, retoris, budaya, bias ideologi maupun lainnya.
Tantangan penerjemahan Al-Quran di Indonesia
‘Setiap terjemah selalu membawa konsekuensi di dalamnya, seorang penerjemah sebenarnya selalu merasa kecewa dan menyesal karena harus memilih satu dari banyak kata yang dianggap cocok dan dapat mewakili lafad yang diterjemahkan, ia akan mengalami lost in translation’ tutur pak Hamam ketika mengungkapkan tantangan seorang penerjemah.
‘Oleh sebab itu, seorang penerjemah harus siap dikritik, dipersekusi bahkan dieksekusi’ lanjut pak Hamam sembari tertawa ringan
Hal yang sama juga terjadi ketika menerjemahkan Al-Quran ke bahasa lokal, sebagaimana disampaikan oleh bu Izzah –panggilan akrab Dr. Izzah Faizah. Ia menuturkan bahwa ia dan tim penerjemah Al-Quran ke bahasa Sunda kesulitan ketika hendak menerjemahkan potongan ayat tentang surga, jannatin tajri min tahtihal anhar, khususnya di lafad tajri yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan ‘mengalir jernih dan tenang‘.
‘bahasa Sunda yang katanya punya banyak pilihan kata ternyata malah membuat kami sulit untuk menerjemahkan kata tajri. Mau diterjemahkan dengan satu istilah dalam bahasa Sunda artinya air pasang yang besar, mau diterjemahkan dengan istilah lain juga dirasa tidak tepat, kawatir tajri yang visualisasinya air yang mengalir jernih dan tenang malah menjadi berbeda dan menjadi menakutkan ketika diterjemahkan dengan keduanya’ cerita bu Izzah
Sebab penerjemahan itu juga produk zaman (ibn al-waqt), maka revisi atau perubahan terjemah Al-Quran secara berkala harus dilakukan, sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh terjemah Quran Kemenag RI.
Pak Hamam dan bu Izzah, keduanya lantas memaparkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam terjemah Al-Quran Kemenag. Misal terjemah Al-Quran Kemenag edisi 1990 pada surah Maryam ayat 23, tepatnya di frasa ‘dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan’ mengalami perubahan di terjemah Kemenag edisi 2002 dengan ‘dan aku seseorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan’. Ini hanya satu contoh dari banyak contoh. Di sini kita melihat dinamika penerjemahan Al-Quran di Indonesia.
Dinamika penerjemahan Al-Quran di Indonesia juga bisa dilihat dalam perbedaan tantangan yang dihadapi oleh penerjemah kolektif dan individu. Tantangan lain yang dihadapi oleh penerjemahan, terutama penerjemahan kolektif yang dilakukan oleh tim seperti tim penerjemah Kemenag adalah selain siap menerima kritik, mereka juga harus mampu mengambil kesepakatan dari banyak pendapat yang ada dalam tim, hal ini berbeda dan tidak didapati dalam penerjemahan Al-Quran secara individu.
‘terjemahan dari banyak kepala tentu akan berbeda dengan hasil terjemahan satu kepala’ demikian pak Hamam menganalogikannya.
Berbeda pula dengan tantangan penerjemahan Al-Quran yang harus dihadapi oleh beberapa tokoh ketika masa sebelum kemerdekaan. ‘Kiai Sanusi misalnya, ia harus sembunyi-sembunyi dari penjajah dan bahkan harus berseberangan pendapat dengan rekannya sendiri pada masa itu untuk melakukan penerjemahan Al-Quran’ bu Izzah mencoba mengenang penulisan kitab Raudlatul Irfan, tafsir berbahasa Sunda karya KH. Ahmad Sanusi.
Di akhir diskusi, bu Izzah juga memberi pesan, empat hal yang harus diperhatikan dalam penerjemahan Al-Quran. Kejujuran, kebenaran dan keindahan bahasa harus tetap dipegang teguh oleh setiap penerjemah. Satu lagi yang juga harus diperhatikan menurutnya adalah kondisi sosial masyarakat. Terjemah yang tujuan awalnya adalah memudahkan masyarakat untuk memahami Al-Quran kawatir akan mendatangkan keributan dan keresahan di masyarakat.
‘Menerjemahkan Al-Quran juga harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat, kawatir masyarakat tidak siap’ pesannya.
Sementara itu, penelitiannya tentang terjemahan Al-Quran yang masih berlangsung hingga sekarang membuat pak Hamam berkesimpulan bahwa penerjemahan Al-Quran, khususnya di Indonesia adalah ladang riset yang sangat terbuka dan cukup menantang bagi para pengkaji Al-Quran, banyak sisi yang bisa diteliti dan dikaji lebih dalam lagi.
Sebagai peneliti, melalui diskusi ‘Dinamika Penerjemahan Al-Quran di Indonesia’ ini ia memberi rekomendasi pada Kemenag RI bahwa revisi terjemah Quran Kemenag RI sudah seharusya menjadi agenda rutin tim penerjemah Al-Quran. Sekian, semoga bermanfaat.
Sampai jumpa di Serial Diskusi Tafsir berikutnya.