Diplomasi merupakan bagian dari kegiatan politik yang tujuan utamanya adalah memungkinkan negara mengamankan tujuan kebijakan luar negeri mereka tanpa kekerasan, propaganda, atau hukum. Untuk mencapai hal tersebut, tentu diperlukan komunikasi yang baik antara utusan diplomat dengan pejabat lain yang dirancang untuk mengamankan perjanjian (G.R. Berridge, Diplomasi; Teori dan Praktik)
Praktik diplomasi sudah disinggung dalam Alquran yang dicontohkan langsung oleh Nabi Sulaiman a.s., ketika mengirimkan surat kepada ratu Balqis dalam rangka mensyiarkan ajaran Tauhid, sebagaimana dalam surah Annaml [27]: 29-31.
Baca juga: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis
Kisah tersebut masuk dalam catatan sejarah Islam, yang menandakan bahwa ekspansi Islam tidak melulu dengan pertumpahan darah, melainkan lebih mengutamakan jalan damai (Q.S. Alanfal [8]: 61). Di samping itu, hubungan diplomasi boleh dilakukan dengn negara manapun, selama mereka tidak memerangi dalam urusan agama (Q.S. Almumtahanah [60]: 8).
Ekspansi ajaran Tauhid dengan jalan damai melalui diplomasi tersebut terus berjalan hingga era Nabi Muhammad saw. Bahkan menurut sebagian pakar, bahwa sejarah diplomasi kembali bangkit pada masa Nabi saw., tepatnya ketika beliau berhijrah dan mendirikan negara Madinah (Lukman Arake, Fiqh Diplomatik; Konsep dan Realita, 88). Nabi saw. kerap kali melakukan hubungan diplomatik untuk mengenalkan Islam pada negara-negara lain, dengan cara mengirimkan utusan kepada raja atau kepala pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu.
Diplomasi Ala Nabi Muhammad saw.
Diplomasi versi Islam dari segi model dan kontennya sedari awal memanglah sempurna. Hal ini bisa dibuktikan dengan praktik diplomasi yang dilakukan oleh Nabi saw. dari beberapa segi:
Stempel khusus
Dalam urusan diplomatik, Nabi saw. sering menggunakan media surat yang ditujukan untuk raja atau kepala pemerintahan. Pada setiap surat yang dikirim oleh Nabi saw., selalu dibubuhi dengan cap stempel khusus. Stempel itu berasal dari cincin Nabi saw. yang terbuat dari perak dan bertuliskan tiga baris kata; kata “Allah” pada baris pertama, kemudian di baris kedua “Rasul”, dan yang terakhir “Muhammad”. Ketiga baris tersebut dibaca dari bawah ke atas, sehingga berbunyi “Muhammad Rasulullah”. Tulisan tersebut memang sengaja dibalik agar ketika distempelkan pada surat, akan tertera bacaan yang benar.
Baca juga: Maqashid dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan
Tujuan diberikannya stempel khusus ini guna menandakan bahwa isi surat yang ditujukan kepada raja atau kepala pemerintahan tersebut bersifat penting dan resmi, serta tidak boleh diketahui oleh sembarang orang. Selain itu, juga bertujuan untuk menghindari dari pemalsuan, karena surat tidak mungkin bisa dipalsukan jika masih tersegel dengan stempel tersebut (Syauqi Abu Khalil, Atlas Jejak Agung Muhammad saw., 130).
Menurut penuturan Ibnu Sa’ad dalam Attabaqat al-Kubra, bahwa ada seorang sahabat yang menginformasikan jika raja-raja yang berkuasa saat itu tidak mau membaca surat dari seorang utusan, kecuali surat itu dibubuhi stempel. Maka dari itu, Nabi saw. membuatkan stempel dari bahan perak (Lukman Arake, Fiqh Diplomatik; Konsep dan Realita, 89)
Mengutus diplomat yang cerdas
Dalam urusan diplomatik, Nabi saw. selalu mengutus seorang diplomat yang cerdas dan menguasai bahasa penduduk atau negara yang dituju. Salah seorang di antaranya adalah Khatib bin Abi Balta’ah yang diutus oleh Nabi saw. kepada raja Mukaukes yakni penguasa Mesir. Saat itu, terjadi perdebatan antara Khatib dengan raja. Setelah perdebatan selesai, raja mengatakan ahsanta anta hakimun min ‘indi hakimin (Anda adalah orang yang cerdas lagi bijaksana yang diutus oleh orang yang bijaksana pula (Lukman Arake, Fiqh Diplomatik; Konsep dan Realita, 89).
Menampilkan wajah Islam yang ramah dan santun
Kepada setiap utusan diplomatnya, Nabi saw. selalu memberi pesan bahwa ketika menghadap kepala pemerintahan yang dituju, mereka harus senantiasa membangun komunikasi yang baik, memberikan kemudahan bukan kesulitan, mengajak musyawarah dan saling menasehati, berdasarkan perintah Allah Swt. dalam surah Annahl [16]: 125;
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim
Saat menerima delegasi diplomat dari negara lain pun, Nabi saw. senantiasa menunjukkan sikap ramah dan menghormati. Sebagaimana yang dituturkan oleh al-Makrizi dalam karyanya, al-Imta’. Setiap kali Nabi saw. menerima tamu delegasi, beliau selalu menggunakan pakaian yang menarik yang menunjukkan kebesaran dan kemuliaan hatinya. Bahkan Nabi saw. juga memerintahkan kepada pada sahabat agar berlaku demikian pula (Lukman Arake, Fiqh Diplomatik; Konsep dan Realita, 89-90).
Kesimpulan
Diplomasi selain sebagai bagian dari perilaku politik, juga berperan sebagai cara untuk mendakwahkan Islam dengan cara damai. Diplomasi ala Nabi Muhammad adalah contoh sempurnanya. Nabi Muhammad saw. kerap menggunakan cara ini untuk mensyiarkan Islam kepada raja-raja yang berkuasa pada waktu itu. Dengan menampilkan wajah Islam yang ramah, santun, dan saling menghormati terbukti membawa Islam menuju kejayaan.