Al-Quran adalah petunjuk bagi semua manusia (hudan linnas), tidak heran jika semua orang menjadikan Al-Quran sebagai rujukan dan muara dari setiap sisi kehidupannya. Mulai dari orang awam kebanyakan, agamawan hingga para ilmuwan, semuanya ‘ber-Al-Quran’. Apakah ini menandakan bahwa semua orang dengan segala kegiatannya itu berarti menafsirkan Al-Quran? Melihat fenomena ini, Kyai Mustain Syafii mengatakan bahwa ada dua model orang menafsirkan Al-Quran.
Pada suatu kesempatan, ketika mengisi Serial Diskusi Tafsir dengan tema Tafsir Aktual Kemasyarakatan di Media Massa, Kyai Tain, begitu sapaan akrabnya menyampaikan bahwa setiap orang itu punya porsi yang berbeda-beda dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran, sesuai dengan kadar kemampuannya. Demikian berarti bahwa setiap orang sebenarnya boleh memahami dan menafsirkan Al-Quran, hanya perlu diingat, menafsirkannya sesuai dengan kadar kemampuannya.
Tingkat kemampuan dan keilmuan seseorang ini yang juga menyebabkan hasil penafsiran itu beraneka ragam. Latar belakang keilmuan yang dimiliki seseorang akan secara alami mengarahkan kecenderungan dia dalam membaca dan memahami Al-Quran. Hal ini Sebagaimana disampaikan oleh Adz-Dzahabi dalam At-Tafsir wa Al-Mufassirun bahwa kecenderungan bahasan dan keilmuan mufasir dapat melahirkan corak tafsir yang beragam, misal tafsir fiqhi, ilmi, lughawi dan seterusnya.
Kyai Tain kemudian menceritakan pengalamannya ketika di Korea. Saat itu ada seorang Dosen di Korea memberi tugas kepada mahasiswanya untuk mencari ayat Al-Quran yang membicarakan tentang kulit. Di hari berikutnya, ada satu mahasiswa perempuan yang memberitahu bahwa Al-Quran tidak membicarakan tentang kulit, kecuali konteksnya di akhirat, yaitu ketika seseorang disiksa di neraka dan kulitnya hangus kemudian diganti dengan kulit yang lain.
Keterangan ini ada dalam surat An-Nisa’ ayat 56,
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِنَا سَوْفَ نُصْلِيْهِمْ نَارًاۗ كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُوْدُهُمْ بَدَّلْنٰهُمْ جُلُوْدًا غَيْرَهَا لِيَذُوْقُوا الْعَذَابَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَزِيْزًا حَكِيْمًا
“Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Maha-perkasa, Maha bijaksana.”
Mendengar ayat ini, sang dosen langsung kaget bahagia karena telah menemukan sesuatu yang lama dicarinya. Bagi dosen tadi, ayat tersebut memberi informasi kepadanya bahwa kulit itu mempunyai peremajaan sel. Sebagai ilmuwan yang fokus mengkaji kulit, informasi dari mahasiswa tersebut sangat berharga untuk pengembangan keilmuannya.
Pertanyaannya kemudian, apakah dosen tersebut menafsirkan Al-Quran? bukankah ia seorang dosen di bidang kulit yang notabene tidak menguasai keilmuan Al-Quran dan tafsir? lalu di mana posisinya, dan sebagai apa?
Baca Juga: Pionir Penulis Tafsir Tahlili di Media Massa, Bernama KH A. Musta’in Syafi’i
Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran: ihtida’ dan talwin
Menjawab pertanyaan di atas, kyai Mustain menerangkan bahwa ada dua model orang menafsirkan Al-Quran. Pertama yaitu ihtida’ dan yang kedua adalah talwin.
Ihtida’ berasal dari kata ihtada (mendapatkan petunjuk). Model menafsirkan Al-Quran yang pertama ini yaitu model seorang mufasir yang dalam keadaan kosong, lalu masuk ke dalam ruangan Al-Quran, membaca Al-Quran sesuai yang ia bisa, lalu di dalam Al-Quran itu ia menemukan sesuatu, menemukan ilmu, ia ambil, ia operasikan. Begitulah proses penggalian Al-Quran dengan model pembacaan ihtida’.
Pada model ini, seseorang membaca Al-Quran tanpa membawa suatu ilmu apapun, dan setelah membaca Al-Quran ia mendapatkan petunjuk.
Satu lagi model orang menafsirkan Al-Quran adalah talwin, berasal dari kata lawwana yang berarti mewarnai, membenarkan. Model bertafsir seperti ini yaitu ketika seseorang sudah mempunyai ilmu pengetahuan, apapun itu, bisa ilmu sosial, teknik, ekonomi, sains, politik atau ilmu-ilmu yang lain, tapi ia ingin mencari kelengkapan, kesempurnaan, juga ingin mencari inspirasi yang mendukung ilmunya tersebut dalam Al-Quran. Kemudian ayat itu diambil sebagai pembenaran atas keilmuannya.
Untuk model yang kedua ini, tampaknya tepat sekali jika dikaitkan dengan keadaan dan posisi dosen di Korea tadi. Baik ihtida’ maupun talwin dua-duanya merupakan bentuk interaksi manusia dengan Al-Quran. Dan seperti yang disampaikan di awal, interaksi dari keduanya disesuaikan dengan kadar keilmuannya masing-masing.
Tawaran dari kyai Mustain tentang dua model orang menafsirkan Al-Quran memberikan varian baru tentang model penafsiran. Namun demikian, perlu dikroscek lagi, apakah membaca terlebih menafsirkan Al-Quran itu cukup berbekal keilmuan (di luar Ilmu Al-Quran dan tafsir)? apalagi dalam model ihtida’, bisakah ia mendapatkan petunjuk dari Al-Quran dengan tangan kosong?
Baca Juga: Kenapa Hasil Penafsiran itu Berbeda-beda? Ini Salah Satu Alasannya
Syarat-syarat mufasir sebagai indikator kualitas penafsiran
Membahas tentang syarat dan bekal seseorang yang akan tampil menafsirkan Al-Quran mengingatkan kita pada pesan As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulumil Quran. Ada 15 ilmu yang harus dikuasai oleh orang yang akan menafsirkan Al-Quran. yaitu ilmu Bahasa Arab, ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, ilmu tentang isytiqaq (akar kata), ilmu ma’ani, ilmu Al-Bayan, ilmu Al-Badi’, ilmu Al-Qiraat, ilmu Ushul ad-Din, ilmu Ushul Fiqh, Asbab an-Nuzul, Nasikh Mansukh, Fiqih/Hukum Islam, Hadis-Hadis Nabi, Ilmu Al-Mawhibah (shihhat al-‘aqidah atau lusrusnya akidah).
Sebab dinilai ‘sangat menakutkan’ dan menjadi ‘penyebab’ stagnasi perkembangan penafsiran, syarat-syarat di atas diulas lagi oleh Quraish Shihab dalam Kaidah Tafsir. Pertama, bekal dan syarat ini menurut Quraish Shihab ditujukan untuk orang yang akan tampil mengemukakan pendapat baru berdasar analisisnya sendiri, bukan yang hanya mengulang dan mengutip pendapat mufasir yang lain.
Kedua, Syarat As-Suyuthi di atas berlaku bagi mereka yang akan menafsirkan keseluruhan ayat Al-Quran, bukan seseorang yang mau membahas ayat-ayat tema tertentu saja. Ketiga, Quraish Shihab merevisi kalimat shihhat al-‘aqidah (lurusnya akidah) dengan objektivitas, karena syarat ini tidak mengakomodir penafsiran saudara non-muslim.
Keempat, As-Suyuthi tidak mempersayaratkan keilmuan lain di luar ilmu-ilmu yang 15, padahal objek uraian ayat Al-Quran beragam, ada kalanya tentang ekonomi, sejarah, sains dan seterusnya. Maka menurut Quraish Shihab perlu tambahan syarat, yaitu mempunyai pengetahuan tentang objek uraian ayat.
Baca Juga: Kaidah Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran
Selain sebagai syarat yang berarti harus dipenuhi sebelum menafsirkan Al-Quran, penguasaan dan pemenuhan terhadap beberapa ilmu di atas (termasuk ilmu tambahan di luar keilmuan Al-Quran dan tafsir) juga menjadi indikator kualitas hasil dari penafsiran seseorang. Semakin ia menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka penafsiran yang dihasilkan juga semakin valid. Demikian pula sebaliknya.
Model orang menafsirkan Al-Quran yang dibahas sebelumnya, tentu erat kaitannya dengan syarat-syarat mufasir tersebut, terlebih jika melihat dan mencoba menganalisis hasil penafsirannya. Dengan kata lain, siapa pun boleh menafsirkan Al-Quran, baik itu bermodel ihtida’ maupun talwin, namun tetap harus sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Wallahu A’lam