Dukungan politik serta modal tentu dibutuhkan dalam menjalankan suatu agenda, terlebih dalam lingkup gerakan sosial. Hal ini disadari oleh setiap agen sosial hingga politisi, termasuk elite Quraisy pada masa awal dakwah Nabi Muhammad saw. Mereka menyadari bahwa Nabi saw. memerlukan dukungan, terbukti dari segenap dakwah beliau kepada tokoh-tokoh strategis. Oleh karenanya mereka siap memberikan dukungan politik melalui beberapa prasyarat. Apa yang mereka ajukan itu disebutkan dalam surah Al-Isra’ ayat 73-74.
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74)
Dan mereka hampir memalingkan engkau dari yang Kami wahyukan kepadamu agar engkau mengada-ada yang lain atas nama Kami; dan jika demikian tentu mereka akan menjadikanmu sahabat setia. Jika saja tidak Kami kukuhkan engkau, sungguh nyaris engkau condong kepada mereka barang sedikit.
Tiga Prasyarat Dukungan Elite Quraisy terhadap Gerakan Nabi saw.
Imam al-Baghawi menyebutkan dalam kitab tafsir beliau, Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, mengutip pernyataan Said bin Jubair, bahwa Nabi saw. menerima Hajar Aswad, sebagai salah satu relikui di samping Ka’bah, yang mana elite Quraisy keberatan akan hal ini. Mereka meminta agar beliau juga menerima berhala-berhala sebagai relikui dan menyentuhnya laksana beliau menyentuh Hajar Aswad.
Disebutkan bahwa para elite Quraisy menghendaki agar beliau saw. menyentuh berhala-berhala sebagai syarat agar mereka masuk Islam dan mengikuti beliau. Oleh karenanya turunlah ayat ini. Ibn Abbas menyatakan bahwa beberapa utusan mereka menemui Nabi saw. menyatakan akan mengikuti dan menaati beliau dengan tiga syarat. Tidak diwajibkan salat, tidak menghancurkan berhala dengan tangan mereka sendiri, dan bersama mempersembahkan sesuatu untuk berhala Lata tanpa menyembahnya. Nabi saw. menjawab mereka;
لَا خَيْرَ فِي دِينٍ لَا رُكُوعَ فِيهِ وَلَا سُجُودَ وَأَمَّا أَنْ تَكْسِرُوا أَصْنَامَكُمْ بِأَيْدِيكُمْ فَذَاكَ لَكُمْ وَأَمَّا الطَّاغِيَةُ -يَعْنِي اللَّاتَ وَالْعُزَّى-فَإِنِّي غَيْرُ مُمَتِّعِكُمْ بِهَا
Tiada kebaikan dalam agama tanpa rukuk dan sujud di dalamnya. Adapun terkait penghancuran berhala kalian maka itu adalah urusan kalian sendiri. Mengenai (berhala) Lata dan Uzza maka aku bukanlah orang yang menyenangkan kalian melaluinya.
Baca juga: Surah Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy
Mereka katakan, “Wahai Rasulullah, kami ingin agar bangsa Arab mendengar bahwa engkau memberi sesuatu kepada kami yang tiada diberikan kepada selain kami. Jika engkau takut bangsa Arab mengatakan, ‘Engkau memberi mereka apa yang tidak engkau berikan pada kami,’ maka katakanlah! ‘Allah yang memerintahkanku demikian.”
Rasulullah terdiam mendengar hal tersebut, maka mereka pun berharap pengabulan akan permintaan tersebut dari diam beliau. Setelah peristiwa ini turunlah ayat 73 di atas.
Aspek Politik dalam Prasyarat Elite Quraisy
Imam al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib mengutip pernyataan al-Qaffal yang menyebut bahwa ayat ini memiliki kemungkinan masuk dalam tema pembahasan terkait upaya elite Quraisy dalam menguji agama dan mengguncang manhaj yang dibawa oleh Nabi saw. Oleh karenanya Allah menjelaskan melalui ayat ini bahwa Dia telah menetapkan Nabi saw. di atas agama yang tegak dan manhaj yang lurus.
Pendapat yang diajukan al-Qaffal dapat diperdalam lebih lanjut. Jika saja Rasulullah saw. mengiyakan untuk menyentuh pula berhala-berhala mereka maka gugurlah substansi tauhid. Menyentuh berhala adalah simbol penerimaan karena dalam konteks ini ia disejajarkan dengan Hajar Aswad yang diletakkan di sisi Ka’bah. Sentuhan Nabi saw. terhadap relikui tertentu akan menjadi dalil pembenaran akan perbuatan tersebut.
Oleh karenanya beliau tidak melakukan tindakan sesederhana menyentuh meskipun keuntungan yang didapatkan adalah penerimaan elite Quraisy. Dapat dibaca bagaimana siasat mereka yang hendak menempatkan Nabi saw. sebagai sosok yang lebih mengutamakan elektabilitas daripada nilai ideal yang diajarkan.
Baca juga: Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab
Terkait permintaan mereka agar dibebaskan dari salat jika saja dibiarkan oleh Nabi saw. maka gugurlah rukun Islam yang menempatkan salat sebagai salah satu intinya. Di titik ini terlihat bagaimana elite Quraisy menguji bagaimana suatu regulasi dijalankan oleh Nabi saw, dalam hal ini terkait salat. Jika mereka berhasil dalam negosiasi keringanan salat maka hal ini mengarah pada pengertian akan Nabi saw. sebagai regulator Islam. Sementara dalam ideal mereka semestinya penentunya hanya Allah. Mereka mengandaikan jika percobaan ini berhasil, maka tentu Nabi saw. beserta seluruh ajarannya setara dengan aturan manusia yang bisa diamandemen.
Permintaan terakhir mereka yang menuntut timbal balik Nabi saw. jika mereka beriman akan dilebihkan dari bangsa Arab lain, memiliki beberapa risiko politik. Pertama yakni bahwa kerjasama mereka yang telah terjalin erat di seluruh jazirah Arab. Fakta ini menjadikan pernyataan mereka terkesan pretensius untuk menjatuhkan marwah keadilan Nabi saw. di kalangan seluruh bangsa Arab jika beliau mengiyakan permintaan mereka. Terlebih permintaan agar beliau menyatakan bahwa hal tersebut adalah wahyu seakan hendak menimbulkan kesan bahwa Alquran adalah dalil transaksional untuk kepentingan yang bisa diatur.
Ujian yang mereka lakukan di atas dapat dibaca sebagai upaya untuk membuktikan bahwa Nabi saw. adalah sosok pencari kuasa, bukan murni untuk mengajarkan risalah ilahi. Jika Nabi saw. mengiyakan salah satu saja apa yang mereka tawarkan, maka fungsi beliau sebagai pembawa wahyu dapat ternodai. Pendapat ini jika mengacu dari cara baca al-Qaffal terkait fenomena ini.
Baca juga: Walid bin Mughirah, Tokoh Kafir Quraish yang Memuji Alquran
Terdapat kemungkinan lain selain yang diajukan al-Qaffal di atas jika merujuk pada redaksi akhir ayat 73 yang menyebut bahwa mereka, elite Quraisy, akan menjadikan Nabi saw. sebagai teman setia. Secara historis Nabi saw. adalah kader Quraisy yang digadang-gadang sebagai pemimpin potensial, bahkan sejak beliau masih belum diangkat sebagai Rasul.
Nilai yang tidak mereka setujui dari Nabi saw. adalah terkait tauhid dan ubudiyah. Oleh karenanya mereka mengajukan negosiasi terhadap peribadatan. Mereka khawatir Makkah akan sepi pengunjung jika secara simultan menegasikan berhala-berhala yang juga disembah oleh para peziarah. Selain itu mereka tetap menganggap Nabi saw. sebagai sosok yang memiliki integritas bahkan mereka sendiri menjuluki beliau al-amin atau yang dapat dipercaya.
Momentum akan kepemimpinan yang kompeten di bawah Nabi saw. juga dapat menjadi potensi untuk meningkatkan daya saing baik ekonomi maupun militer. Oleh karenanya mereka mencoba untuk menawarkan modal kekuatan dan sebagai balasannya mereka meminta dilebihkan dari bangsa Arab yang lain dan Nabi saw. menjadi teman setia. Beruntung Nabi saw. tidak sepakat dengan segenap tawaran yang mereka ajukan meskipun di depan mata secara logis dakwah Islam akan lebih mudah jika beliau mengiyakannya. Wallahu a’lam