Perbincangan dan kajian terkait Al-Qur’an tidak pernah mengalami kemandegan. Ia hidup sepanjang zaman. Sebab, Al-Qur’an adalah mukjizat dan keagungannya diakui oleh siapapun. Ilustrasi tersebut Allah gambarkan dalam QS. Al-Kahfi [18]: 109. Jika lautan dijadikan tinta dan pepohon dijadikan pena untuk menulis kalimat-kalimat Tuhan, niscaya tidak akan ada habisnya.
Begitupula dengan tradisi tafsir Al-Qur’an. Tafsir tidak akan pernah ada habisnya. Mulai dari Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Tafsir al-Thabari, Tafsir Ibn Hayyan, al-Kasysyaf hingga ke Indonesia, Tarjuman Mustafid, Tafsir al-Ibriz, Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir al-Misbah. Tafsir yang terakhir ini adalah magnum opus-nya seorang pakar tafsir asal Indonesia, M. Quraish Shihab, terdiri dari 15 jilid.
Dalam banyak kesempatan, baik dalam seminar, kuliah umum, atau pun mengisi acara-acara keagamaan, Abi Quraish, sapaan akrab M. Quraish Shihab, sering mengutip perkataan seorang ulama yakni Abdullah Darraz, yang mengatakan bahwa Al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya. Karena sebagai intan yang memancarkan cahaya, apa fungsi Al-Qur’an menurut Tafsir al-Misbah karya Abi Quraish tersebut?
Dalam tafsir Al-Misbah, Abi Qurish mendasarkan 4 fungsi al-Qur’an tersebut kepada QS. Yunus [10]: 57.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ
“Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi sesuatu (penyakit) yang terdapat dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang mukmin” (Terjemah Kemenag 2019)
Baca Juga: Penafsiran Aulia (Pemimpin) Perspektif Hamka dalam Tafsir al-Azhar
Mengutip Thahir Ibn ‘Asyur, Quraish Shihab memulai penjelasan tentang empat fungsi al-Qur’an tersebut. Menurut Ibn ‘Asyur, ayat di atas memberi perumpamaan tentang jiwa manusia dalam kaitannya dengan kehadiran al-Qur’an. Kemudian ia memberikan sebuah ilustrasi seperti orang yang sedang sakit. Seorang dokter tentu akan memberi peringatan lalu memberinya obat untuk kesembuhannya. Serta memberi petunjuk agar bisa hidup sehat dan tidak sakit lagi. Jika orang yang sakit memenuhi tuntunan sang dokter dan bisa hidup sehat, maka itu rahmat yang besar. (Al-Mishbah: vol.5, hlm. 440)
Sejalan dengan Quraish Shihab, Fakhruddin ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib menafsirkan bahwa, sesungguhnya Allah ta’ala mensifati Qur’an dalam ayat ini ke dalam empat sifat (fungsi), pertama, sebagai mau’izah hasanah (pengajaran) dari Allah, kedua, obat bagi hati, ketiga, sebagai petunjuk. Dan, keempat, sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin. Akan tetapi, lanjut ar-Razi, pada setiap salah satu sifat-sifat tersebut mempunyai faedah tersendiri. (Mafatih al-Ghaib, juz.17, hlm. 121)
Pertama, al-Qur’an sebagai pengajaran.
Al-Qur’an menggunakan fungsi yang pertama sebagai sebuah pengajaran untuk menyentuh hati yang masih diselubungi oleh kabut keraguan dan kelengahan serta aneka sifat kekurangan. Dengan sentuhan pengajaran tersebut, keraguan berangsur sirna dan berubah menjadi keimanan, kelengahan beralih sedikit demi sedikit menjadi kewaspadaan. (Al-Mishbah: vol.5, hlm. 440)
Sebagai fungsi pengajaran maka Al-Qur’an juga bernilai sebagai pesan ajakan. Karena sebagai fungsi pengajaran, ia mengandung nilai ajakan. Terhadap metode mengajak ini, sementara ulama membagi metode berdakwah ke dalam tiga model berdasarkan QS. An-Nahl [16]: 125. Pertama, metode hikmah. Yakni, berdialog dengan menyampaikan dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkatan audiens. Kedua, metode mau’izhah. Yakni memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf kemampuan audiens yang sederhana. Dan, ketiga, metode jidal (berdebat dengan baik). Yakni dengan menggunakan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan. (Al-Mishbah: vol.6, hlm. 774-775)
Kedua, al-Qur’an sebagai obat.
Setelah mendapatkan pengajaran dengan ayat-ayat al-Qur’an, menurut Shihab, maka secara otomatis ia akan menjadi obat (penawar). Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf memberi penafsiran bahwa Al-Qur’an sebagai syifa adalah obat bagi setiap hati tatkala di dalam hati mereka terdapat akidah yang rusak, dan berdo’a kepada kebenaran. (Al-Kasysyaf, Juz 3, hlm. 150)
Adapun Ibn Katsir memberikan tafsiran frasa syifa lima fi ash-shudur dengan adapun kesembuhan dalam hati seseorang (antara serupa dan samar-samar), adalah hilangnya sesuatu dalam hati seseorang dari sifat keji dan kotor. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz 7, hlm. 370)
Artinya bahwa Al-Qur’an sebagai obat adalah ia memliki fungsi sebagai penenang, penetram, sekaligus membersihkan noda-noda kotor yang menyelimuti hati. Karenanya dalam sya’ir tombo ati, yang jamak kita dengar, tak salah bila disebutkan bahwa obat hati itu adalah 5 perkara yang salah satunya adalah membaca Al-Qur’an dan maknanya.
Ketiga, al-Qur’an sebagai petunjuk.
Sehinga ia menjadi obat hati orang-orang mukmin maka ia akan mendapat petunjuk. Petunjuk yang mengarah kepada pengetahuan yang benar dan makrifat tentang Tuhan. Ini membawa kepada lahirnya akhlaq luhur, amal-amal kebajikan yang mengantar seseorang meraih kedekatan kepada Allah SWT.
Baca Juga: Adab Lahiriah dan Adab Batiniah dalam Membaca Al-Qur’an
Ibn Katsir menjelaskan wa huda wa rahmah adalah mereka akan mendapatkan hidayah dan rahmat dari Allah ta’ala. Bahwasanya mereka adalah termasuk kepada orang-orang mukminin (orang-orang yang beriman), siddiqin (membenarkan), muqinin (orang-orang yang yaqin), sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Isra’ [17]: 82 “Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin, sedangkan bagi orang-orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya menambah kerugian” dan QS. Fushshilat [41]: 44, “…. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang beriman, sedangkan bagi orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada penyumbat dan mereka buta terhadapnya (Al-qur’an). Mereka itu seperti orang yang dipanggil dari tempat yang jauh . (Tafsir al-Qur’an al-‘adzim, Juz 7, hlm. 370)
Keempat, al-Qur’an sebagai rahmat.
Setelah tiga fungsi di atas dilewati, pada gilirannya nanti, akan mengundang aneka rahmat yang puncaknya adalah surga dan ridha Allah SWT. Pungkas Abi Quraish dalam tafsirnya menjelaskan ayat tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas menurut Imam Ibn Katsir jika salah seorang diantara mereka mendapat rahmat, maka mereka termasuk orang-orang mukmin, membenarkan (siddiqin), dan yaqin (shiddiqin).
Semoga kita menjadi orang-orang yang mendapat pengajaran, obat, petunjuk dan rahmat Al-Qur’an sebagaimana ayat di atas. Allahumarhamna bi al-Qur’an. Wallahu’alam bish-showab.