BerandaTafsir TematikEmpat Konservasi Lingkungan Menurut Al-Quran, Begini Penjelasannya

Empat Konservasi Lingkungan Menurut Al-Quran, Begini Penjelasannya

Lingkungan dan manusia adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Hubungan di antara keduanya bukanlah atasan-bawahan melainkan kemitraan. Meminjam istilah Faqih Abdul Qadir adalah mubadalah (kesalingan). Kewajiban menjaga dan mengelola (konservasi) lingkungan menjadi tanggungjawab kita bersama. Dengan begitu, pada tulisan ini akan membahas terkait konservasi lingkungan menurut al-Quran.

Pada umumnya, persoalan lingkungan disebabkan dua hal, yaitu sunnatullah dan human error. Sunnatullah (hukum alam) sebagai peristiwa yang harus terjadi sebagai proses dinamika alam. Sedangkan human error karena ulah tangan jahil oknum manusia yang tidak bertanggungjawab.

Dalam konteks ini, Al-Quran memberikan guidance (panduan) bagaimana konservasi lingkungan yang baik dan benar agar alam pun bersahabat dengan kita. Berikut penjelasan lima konservasi lingkungan di bawah ini.

Baca juga: Teori ‘Horizon of Expectation’ Hans Robert Jauss dan Resepsi Terhadap Al-Quran

Mengindahkan Norma Agama

Mengindahkan di sini bermakna bahwa eksplorasi terhadap alam harus dilakukan sesuai perintah ishlah (melakukan perbaikan) dan larangan ifsad (melakukan kerusakan). Seperti yang dilukiskan dalam firman-Nya,

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. (Q.S. al-A’raf [7]: 56)

Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, ishlah berasal dari kata shalaha-yashlahu-shalahiyatan berarti menjadi baik dan bermanfaat,  juga dapat diartikan sebagai al-shulhu (baik dan bagus). Dari sini kata ishlah lebih banyak berkonotasi perbuatan ketimbang wacana. Artinya, manusia diperintahkan untuk berbuat secara konkrit terhadap alam, misalnya tidak merusak tanaman lingkungan sekitar, tidak membuang sampah sembarangan, dan sebagainya.

Selanjutya, kata ifsad sebagaimana dijelaskan Abdussalam Harun dalam al-Mu’jam al-Wasil, bermakna merusak atau membinasakan sesuatu. Menurut Hudari Bik dalam Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, kalimat la tufsidu mengindikasikan hukum haram ((ﻟﻠﺘﺤﺮﱘ sesuai kaidah ushul fiqih (al-ashlu fin nahyi). Dengan begitu, ayat ini menyiratkan untuk memelihara dan melestarikan (konservasi) lingkungan serta mengharamkan kerusakan.

Lebih dari itu, Quraish Shihab dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa salah satu bagian daripada perusakan alam ialah serangkaian aktifitas yang menghilangkan atau mengurangi nilai-nilai kebaikannya baik secara keseluruhan maupun parsial serta menjadikannya kurang bermanfaat. Misalnya, fungsi pohon jati di hutan adalah untuk menahan tanah longsor, lalu manusia menebangnya secara brutal, tanpa menanam penggantinya. Itu bagian daripada perusakan.

Baca juga: Inilah Para Perawi Israiliyat yang Menjadi Sumber Rujukan di Kitab-Kitab Tafsir

Tidak Melakukan Eksploitasi Secara Berlebihan

Konservasi lingkungan kedua adalah tidak melakukan eksploitasi secara berlebihan. Dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 26-27,

… وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. al-Isra’ [17]: 26-27)

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menafsirkan redaksi wa la tubadzir tabdziran, yakni mengeluarkan harta bukan untuk tujuan yang haq (benar). Redaksi ini dapat dikontekstualisasikan dengan perbuatan negatif manusia terhadap alam. Sehingga tatkala manusia memanfaatkan alam, ia bertindak eksploitatif (berlebih-lebihan) demi meraup keuntungan semata (profit oriented) tanpa memperhatikan AMDAL (analisis dampak lingkungan). Perilaku ini pada akhirnya merugikan manusia itu sendiri.

Manfaatkan Secukupnya

Allah swt berfirman dalam Q.S. al-Jasiyah [45]: 13,

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir. (Q.S. al-Jasiyah [45]: 13)

Fazlur Rahman dalam Tema Pokok Al-Quran (Major Themes of the Quran) menuturkan bahwa maksud daripada sakkhara (penundukan) yaitu alam semesta ini adalah “magnum opus” dari Allah swt, Yang Maha Kuasa, ia tidak hanya diciptakan, direntangkan, diindahkan hanya untuk memperlihatkan kebesaran dan kekuasan-Nya, melainkan untuk memenuhi kebutuhann manusia. Jadi, manusia harus mempunyai kesadaran bahwa mengelola dan melestarikan (konservasi) lingkungan adalah kewajibannya.

Makmurkanlah Alam Semesta Ini

…. هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ

“…. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Q.S. Hud [11]: 61)

Az-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf menafsirkan kata wasta’marakum dengan وأمركم بالعمارة، والعمارة متنوعة إلى واجب وندب ومباح ومكروه. Maksudnya adalah alam semesta ini bagaikan sebuah bangunan, di mana bangunan itu adakalanya bersifat wajib, sunnah, mubah dan makruh. Penafsiran al-Zamaksyari dapat kita simpulkan bahwa manfaatkanlah alam ini dengan secukupnya, sesuai kebutuhan, dan jangan berlebihan.

Selain itu, kata wasta’marakum juga berarti manusia diperintahkan untuk memakmurkan bumi, karena manusia mempunyai potensi dan sumber daya untuk menjadi makhluk yang membangun (li ma’mur). Membangun pun dilakukan sesuai kebutuhan. Karena alam harus dijaga dan dilestarikan. Tatkala manusia mampu memelihara dengan baik, maka alam akan bersahabat dengan kita. Terjadinya bencana alam kebanyakan disebabkan oleh ulah tangan jahil manusia yang tidak bertanggungjawab.

Baca juga: Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas

Sebagai Renungan

Manusia dilarang menjadi fasid atau al-mufsid. Ia dituntut untuk menjadi shalih atau al-mushlih dalam segala aspek termasuk dalam konteks ini adalah memelihara nilai-nilai sesuatu, alam semesta, biotik dan abiotik sehingga alam tetap terjaga, lestari sebagaimana adanya.

Manusia tidak boleh mengeksploitasinya secara brutal, membabi buta tanpa memerhatikan dampak yang ditimbulkan. Kenikmatan dan keindahan panorama alam yang kita nikmati sekarang adalah buah daripada perjuangan nenek moyang kita. Tidakkah kita berbuat demikian demi mewariskan keelokan alam ini kepada anak cucu kita? Semoga ini dapat menjadi renungan kita bersama. Menjaga melestarikan alam pada hakikatnya adalah menjaga dan merawat kemanusiaan kita sendiri. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...