BerandaUlumul QuranMencari Unsur Kemuliaan dalam Lafadz “Haram” Melalui Kacamata Isytiqaq Saghir

Mencari Unsur Kemuliaan dalam Lafadz “Haram” Melalui Kacamata Isytiqaq Saghir

Pada tahun 2018, penulis melakukan penelitian di Jurnal Ushuluna mengenai pembacaan kata “haram” yang makna konotasinya kuat mengarah kepada wilayah fiqih. Bagaimana jika ia dibaca dengan menggunakan ilmu Isytiqaq Saghir?

Konotasi “Haram” dalam Kajian Fiqih

Dalam istilah fiqih, kata haram berarti sesuatu atau perkara yang dilarang oleh Syara’, yang berpotensi memberikan konsekuensi dosa jika dikerjakan. Sebaliknya, ia juga memberikan konsekuensi pahala jika ditinggalkan. Dari sini, lafadz “haram” didudukkan sebagai lawan dari kata “wajib”.

Muhammad ibn Ibrahim al-Tuwaijiri menyebutkan bahwa ada dua macam perkara yang diharamkan dalam syariat Islam: Pertama, haram karena dzatnya, seperti darah, bangkai, dan lain sebagainya. Kedua, haram karena ada unsur lain, seperti: 1) Mengambil sesuatu yang bukan hak milik, seperti mencuri; 2) Mengambil tanpa adanya izin Allah, meskipun pemiliknya mengizinkan, seperti judi.

Baca juga: Menyeimbangkan Urusan Dunia dan Akhirat, Perhatikan Semangat Doa Al-Quran Berikut!

Pecahan (Musytaq) “Haram” dalam Qur`an

Melalui perspektif Isytiqaq Saghir, berdasarkan data yang ditampilkan oleh Fuad Abd al-Baqi dalam Al-Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Qur`an, terdapat 83 kali penyebutan kata “haram” dalam al-Qur`an.

Wacana yang dibicarakan juga bermacam-macam, misalnya: a) Orang, seperti Wanita Mahram dan golongan mahrum (QS. [51]:19, QS. [70]: 25) seperti dalam QS. Al-Nisa`: 23, b) Tempat, seperti Bayt al-Haram dan Masjid al-Haram, c) Waktu, seperti al-Syahr al-Haram, d) Ibadah Haji, seperti Ihram, dan e) Perbuatan atau makanan yang diharamkan

Kemuliaan sebagai Esensi “Haram”

Merujuk pada M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, menyebutkan bahwa kata haram mempunyai makna denotatif yang berarti mulia atau terhormat sebagaimana pada kata Masjid al-Haram.

Karenanya, darinya muncul derivasi (musytaq) berupa  hurmat (حرمة) yang  bermakna  hormat, yang kemudian dikenal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan kosa kata “hormat” sebagai bentuk memuliakan dan menghargai sesuatu.

Sesuatu yang mulia atau terhormat melahirkan aneka ketentuan dan aturan yang menghalangi dan melarang pihak lain melanggarnya. Dari sini, kata haram diartikan sebagai melarang, mencegah, menghalangi dan menghindari.

Senada dengan M. Quraish Shihab, bagi Jalaluddin Al-Suyuthi, dalam Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, konsep pengharaman mempunyai fungsi penjagaan dan perlindungan atas sesuatu.

Baca juga: Penjelasan Para Mufasir tentang Hati yang Sakit dalam Surah al-Baqarah Ayat 10

Yang Diharamkan=Yang Dimuliakan dan Dilindungi

Setiap adanya lafadz yang terstruktur dari kata “ha-ra-mim” maka ia mempunyai 2 hal: kemualiaan dan aturan yang bertujuan dalam menjaga kemuliaan,

  1. Makkah; Tanah Haram, Masjid al-Haram, dan Bayt al- Haram, dan Haramain

Penggunaan kata haram dengan Makkah sebagai konteksnya, dipahami oleh banyak ahli bahasa sebagai tanah, daerah atau masjid yang mulia nan suci yang dihormati.

Dalam buku Sejarah Ibadah, Syahruddin El Fikri menyebutkan berbagai keutamaan yang dimiliki kota Makkah tidak terlepas dari sejumlah tempat dan situs yang ada di sana, diantaranya ialah Makkah merupakan tempat yang Allah pilih sebagai Baitullah, tempat kelahiran Nabi Muhammad dan sebagai pusat arah ibadah bahkan mewajibkan orang muslim (bagi yang mampu) untuk datang ke tempat tersebut baik dari jarak jauh maupun dekat untuk melaksanakan ibadah haji.

Bentuk kemulian kota Makkah juga merupakan hasil doa dari Nabi Ibrahim sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 126

Karena kemuliaan itulah, ada aturan-aturan yang ditetapkan di dalamnya, di antaranya ialah hukum mengenai binatang buruan dan tanaman.

2. Asyhur al-Hurum dan Muharram

Ada empat bulan yang masuk ke dalam kategori asyhur al-hurum ini: Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.

Dalam kitab Dhiya` al-Lami’ min Khutab al-Jawamidisebutkan bahwa bulan Muharram menyimpan peristiwa besar serta tanda kekuasaan Allah, salah satu peristiwa besar tersebut ialah ketika Allah menyelamatkan Nabi Musa beserta kaumnya dari Firaun dan bala tentaranya.

Dalam kitab I’anatut Tālibîn, Abu Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi dengan mengutip sebuah hadis (meski oleh Ibn Jauzi riwayat tersebut dianggap maudhu’/palsu) menggambarkan bahwa Muharram merupakan masa dimana banyak peristiwa penyelamatan Allah terhadap Nabi-Nya.

Baca juga: Teori ‘Horizon of Expectation’ Hans Robert Jauss dan Resepsi Terhadap Al-Quran

Ekspresi penjagaan kemuliaan itu ada pada larangan peperangan dan penganiayaan.

3. Ritual Haji: Ihram

Menurut Wahbah Zuhaili ihram adalah niat untuk memulai rangkaian ibadah haji atau umrah. Ritual Ihram mengharamkan sesuatu yang sebelumnya halal, yang dalam fiqih istilah ini disebut dengan muharramat al-ihram (larangan-larangan dalam ihram).

Pelanggaran terhadap larangan tersebut menyebabkan seseorang wajib membayar Dam (fidyah). Larangan-larangan dalam haji (ihram) ada yang khusus untuk pria (seperti dilarang untuk memakai penutup kepala, memakai pakaian yang berjahit, dan memakai sepatu yang menutup mata kakinya).

Ada yang khusus untuk wanita (seperti larangan menutup muka dan memakai sarung tangan) dan ada pula yang berlaku untuk keduanya (seperti larangan memotong kuku dan rambut, memakai wangi-wangian, berburuh atau membunuh binatang, nikah atau menikahkan orang, bersetubuh dengan istri, mencaci, mengumpat, bertengkar, memotong atau mencabut tumbuhan).

Adapun jika melakukannya maka akan dikenai denda. Kemuliaan ritual haji ini mempunyai kaitan erat dengan kemuliaan di tanah haram, Mekkah.

4. Wanita Mahram

Wanita Mahram ialah wanita yang diharamkan untuk dinikahi karena beberapa hal; pertalian darah (seperti ibu seterusnya ke atas, anak perempuan seterusnya ke bawah, saudara perempuan, bibi dan keponakan perempuan), sesusuan (seperti ibu yang menyusui dan saudara sesusuan), perkawinan (seperti mertuam anak tiri, ibu tiri, dan menantu perempuan) dan haram dengan cara mengumpulkan (saudara perempuan dari istri dan saudara perempuan mertua).

Para ulama berijtihad dalam mencari illat mengenai pengharaman tersebut, diantara alasannya ialah persoalan kualitas genetika. Sedangkan menurut Sayyid Quthub, lebih menonjolkan unsur relasional seperti memelihara hubungan dan kasih sayang, memuliakan dan menghormati.

5. Makanan Haram

Jenis makanan yang diharamkan dalam al-Qur’an diantaranya ialah darah, daging babi, bangkai, dan sejenisnya. Illat mengenai keharaman tersebut oleh Ali Mustafa Ya’qub dikategorikan kedalam beberapa hal, berupa penilaian baik (thayyibāt-Khabā’is), bahaya (dharar), najis (najasah), yang berimplikasi kepada kesehatan manusia.

Haram: Merubah Pandangan ke Positif

Allah menciptakan manusia dalambentuk dan kondisi yang mulia. Demikianlah manusia disebut sebagai al-insan, yang konteksnya selalu menampilkannya sebagai makhluk yang istimewa secara fisik, mental, dan kecerdasan, yang berbeda dengan makhluk lain. Karena kemuliaaan itu, Allah mengarahkan manusia untuk tetap dalam kemuliaannya.

Baca juga: Inilah Para Perawi Israiliyat yang Menjadi Sumber Rujukan di Kitab-Kitab Tafsir

Konsep “haram” menjadi sebuah penjagaan atas suatu kemuliaan melalui ketetapan dan aturan-aturanNya. Allah mengharamkan beberapa hal untuk dikonsumsi dan dikerjakan bukan berarti Ia membatasi gerak manusia, tapi lebih menjaga dan menyelamatkan manusia supaya terhindar dari hal-hal yang buruk, baik itu untuk jiwa maupun raga.

Dari konsep “ha-ra-mim” ini, bagi penulis, seakan Allah berpesan: Kuciptakan kamu dengan kemuliaan, jagalah kemuliaan itu sampai akhir, karena hanya yang mulia lah yang dapat bertemu dengan Yang Maha Mulia. Wallahua’lam[]

Salman Al Farisi
Salman Al Farisi
Mahasiswa pasca (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Aktif kajian Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...