BerandaUlumul QuranEmpat Ragam Pendapat Tentang Sab’atu Ahruf, Begini Penjelasannya

Empat Ragam Pendapat Tentang Sab’atu Ahruf, Begini Penjelasannya

Subhi al-Shalih dalam Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran menjelaskan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa rasm yang digunakan dalam mushaf Usmani telah mencakup sab’atu ahruf. Al-Qadhi Abu Bakar bin al-Thayyib al-Baqilani menuturkan bahwa sab’atu ahruf ini muncul dan tersiar dari Rasulullah saw dan dikukuhkan oleh para imam, lalu dipraktikkan oleh Usman bin Affan dan para sahabat dalam mushaf, mereka menegaskan keshahihannya dan tidak mau menggunakan harf yang tidak diriwayatkan secara mutawatir.

Mungkin kita bertanya-tanya, lantas apa perbedaan sab’atu ahruf dan qiraat sab’ah? Secara general, kedua istilah tersebut merupakan suatu hal yang termaktub dalam pembahasan ulumul Quran. Namun demikian, keduanya memiliki perbedaan yang tidak terlalu jauh. Istilah sab’atu ahruf telah ada sejak Al-Quran diturunkan kepada Rasul saw sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam artikel sebelumnya. Adapun maknanya, para ulama menafsirkannya berbeda-beda, ada yang berpendapat tujuh huru, tujuh ragam pembacaan, tujuh wajah dan sebagainya.

Sementara, Qiraat Sab’ah adalah istilah yang mencuat berkaitan kemunculan para Imam Qurra dalam melafalkan ayat-ayat Al-Quran, yang kemudian diteliti oleh para imam dengan kaidah-kaidah yang mereka sepakati termasuk syarat mutawatir sehingga kemudian menghasilkan apa yang kita kenal dengan Qiraat Sab’ah bahkan ‘Asyrah.

Pengertian Sab’atu Ahruf

Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Quran menerangkan pengertian Sab’atu Ahruf dengan didukung pendapat Jumhur Ulama adalah pendapatnya Abu Fadil al-Razi. Menurutnya “Sab’atu Ahruf” tidak terlepas dari perbedaan yang berkutat pada tujuh wajah. Dalam artian, pembacaan terhadap Al-Quran dari awal sampai akhir tidak keluar dari tujuh wajah perbedaan, yaitu

  1. Perbedaan bentuk Isim mufrad, mutsanna, jama’ muzakkar maupun muannas sebagaimana tertulis Q.S. al-Mu’minun ayat 8.
  2. Perbedaan bentuk fi‘il madli, mudlari’ dan ‘amr seperti dalam Q.S. Saba’ ayat 19.
  3. Perbedaan dalam bentuk i’rab seperti termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282.
  4. Perbedaan mendahulukan (taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir) seperti dalam Q.S. Qaf ayat 19.
  5. Perbedaan dalam menambah (ziyadah) dan mengurangi (naqash) sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Lail ayat 3.
  6. Perbedaan dalam masalah ibdal (pergantian) sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 259.
  7. Perbedaan dalam hal lahjah seperti al-Imalah, al-Fath, tarqiq, tafkhim, idzhar, idhgam dan lainnya. Contoh dalam bacaan al-Imalah dan al-Fath pada Q.S. Thaha ayat 15.

Baca juga: Qiraat dan Tajwid, Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?

Menurut Manna Khalil Al-Qattan dalam Mabahits-nya menjelaskan bahwa pendapat ini disepakati oleh para ulama dan dipilih dengan beberapa alasan;  pertama, pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Nabi saw; kedua, pendapat tersebut berangkat dari hasil riset mendalam terhadap semua perbedaan qiraat yang ternyata tidak terlepas atau keluar dari tujuh wajah.

Empat Ragam Pendapat

Setidaknya ada empat ragam pendapat yang dapat disimpulkan terkait pengertian pendapat terkait sab’atu ahruf,

Pertama, Tujuh bahasa. Pendapat ini diambil dari Abu Ubadi yang mengatakan bahwa sab’atu ahruf adalah tujuh bahasa. Pendapat ini tidak dapat diterima. Sebab jika yang dimaksudkan tujuh bahasa, maka tidak mungkin terjadi perselisihan di antara kaum muslimin, sebab bahasa yang dipergunakan adalah bahasa mereka sendiri. Demikian pula Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim, keduanya berasal dari Quraisy, namun mengapa masih juga terjadi perbedaan bacaan antara kedua sahabat itu.

Kedua, Tujuh qiraat. Pendapat ini pun juga tidak dapat diterima, sebab istilah tujuh qiraat atau qiraat sab’ah muncul belakangan yang dihubungkan dengan imam tujuh, yaitu Imam Nafi’, Ashim, Hamzah, Ibnu ‘Amir, Ibnu Katsir, Al-A’la, dan al-Kisa’i. Sedang ketujuh imam itu belum lahir.

Ketiga, Tujuh wajah (segi). Yang dimaksud tujuh wajah adalah dari segi i’rab, perbedaan huruf, isim, penggantian suatu kata, segi taqdim atau ta’khir, dan penambahan atau pengurangan huruf dan segi lahjah. Pendapat ini banyak kelemahannya, sebab beberapa segi di antaranya menimbulkan perubahan makna, yang seharusnya dihilangkan, untuk tetap menjaga kemurnian Al-Quran. Karena perubahan segi juga berimplikasi pada perubahan makna dan penafsiran.

Keempat, Tujuh lahjah (dialek). Barangkali pendapat yang terkahir ini lebih mendekati kepada kebenaran. Karena pada yang terakhir ini tampak sekali hikmah diturunkannya Al-Quran dengan tujuh harf, juga memudahkan umat Islam membaca sesuai dialeknya sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw ketika masa sahabat yang terdiri dari berbagai macam etnis dan budaya.

Baca juga: Mengapa Kita Membaca Al-Quran dengan Qiraat Ashim Riwayat Hafs?

Terkait lahjah bahasa, lahjah Quraisy lah yang dapat mewakili lahjah bahasa suku-suku bangsa Arab secara keseluruhan sebagaimana yang Allah swt kehendaki. Sebab menurut pakar bahasa Arab, Bahasa Quraisy itu lebih kaya, lebih mampu mengungkapkan keindahan seni dan gaya bahasa yang berbeda-beda, lebih lembut dan lebih sempurna uslubnya.

Meski demikian, kesempurnaan bacaan itu tidak semerta-merta menegasikan keanekaragaman lahjah yang ada pada bangsa Arab, sebab mereka tidak dapat dipaksa untuk menanggalkan lahjahnya. Perlu digarisbawahi bahwa maksud diturunkannya Al-Quran dengan tujuh harf atau sab’atu ahruf itu bukan berarti tiap-tiap kata, tiap ayat dapat dibaca dengan tujuh macam lahjah.

Kadang-kadang satu redaksi atau satu kalimat hanya dapat dibaca dengan satu lahjah, ada juga tiga lahjah, dan seterusnya. Dalam artian, tujuh lahjah tersebut diterapkan secara terpisah. Hal ini sesuai dengan tujuan diturunkannya Al-Quran, yaitu memberikan hidayah dan rahmat kepada seluruh manusia, agar mereka mudah membaca dan memahaminya. Wallahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...