Empat Status Puasa Menurut M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab (source: narasi.tv)

Selain sebagai rukun Islam, puasa juga berstatus sebagai salah satu cara dalam beribadah dan cara berkomunikasi antara seorang manusia dengan Allah. Setidaknya hal tersebut yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab, maestro tafsir Indonesia dalam bukunya, Lentera Al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan ketika memahami rukun Islam yang satu ini.

Cara beribadah itu dirinci lagi menjadi empat. Pertama, puasa sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, puasa sebagai jihad akbar. Ketiga, puasa sebagai upaya mengendalikan diri. Keempat, puasa sebagai salah satu usaha melepaskan belenggu kebiasaan yang tidak baik menuju kebiasaan yang lebih baik.

Puasa sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah

Status puasa yang pertama ini diambil oleh mufasir asal Sulawesi Selatan tersebut berdasar pada isyarat ayat 186 surah Al-Baqarah yang beriringan dengan ayat tentang puasa. Dengan berpuasa, dalam arti mengendalikan nafsu dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Berbeda dengan mufasir lain, Al-Qurtubi misalnya. Dalam Tafsir Al-Qurtubi dia tidak secara gamblang mengatakan bahwa ayat tentang posisi Allah itu berkaitan dengan tujuan puasa, namun ketika memaparkan tentang sabab nuzul, Al-Qurtubi menyinggung riwayat yang berkaitan dengan puasa. Salah satunya yang dia kutip dari keterangan Muqatil, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Umar yang ‘mendatangi’ istrinya setelah salat isya’, dia menyesali dan menangisi perbuatannya tersebut, kemudian dia mengadu kepada Rasulullah. Setelah itu turun ayat 186 tersebut untuk merespon aduan Umar dan penyesalan atas perbuatannya.

Baca Juga: Lebah, Semut dan Laba-Laba dalam Alquran

Pada ayat tersebut disampaikan bahwa Allah dekat dengan hambaNya, jadi misal ada seorang hamba yang merasa menjauh dari Allah karena merasa melanggar aturanNya, maka jangan kawatir, Allah itu dekat. Nah, cara yang bisa dilakukan agar bisa mendekatkan kembali hubungan manusia dengan Allah yang ‘terasa’ mulai menjauh ini bisa ditempuh dengan cara berpuasa.

Puasa sebagai jihad akbar

Ada hadis Nabi yang sangat populer tentang jihad akbar, yaitu perang yang lebih dahsyat daripada perang fisik semacam Perang Teluk dan lainnya. Jihad akbar ini adalah perang melawan nafsu dan egoisme. Menurut Quraish Shihab, salah satu cara, strategi dan senjata melawan nafsu dan egoisme adalah dengan puasa.

Lebih jelas lagi, Quraish Shihab melanjutkan bahwa jihad akbar ini disulut apinya pada bulan puasa. Di saat itu waktunya umat Islam untuk berperang menaklukkan nafsunya yang menggebu-gebu. Namun demikian, alumni Universitas Al-Azhar ini memberi catatan seperti biasanya, mengingatkan akan pesan perdamaian dalam setiap perang, termasuk perang melawan nafsu. Sebagaimana tujuan perang dalam Islam, perang melawan nafsu bukan bertujuan untuk menghabisi potensi lawan, yakni nafsu, melainkan untuk sekadar mengandalikannya, karena menurut Quraish Shihab betapa pun jeleknya sesuatu, pasti ada sisi positif di dalamnya yang dapat dimanfaatkan.

Puasa sebagai upaya mengendalikan diri

Status puasa yang ketiga ini berhubungan erat dengan yang kedua. Namun pertanyaan yang muncul kali ini adalah, apa hubungan puasa dengan pengendalian diri? Pendiri Pusat Studi Al-Quran ini menerangkan bahwa secara umum, jiwa manusia berpotensi untuk sangat cepat terpengaruh, khususnya bila seseorang tidak memiliki kesadaran mengendalikan diri dan tekad yang kuat untuk menghadapi bisikan-bisikan negatif. Tekad yang kuat itu juga harus dibarengi dengan ketenangan jiwa. Kesadaran dan ketenangan dalam tekad seseorang perlu, karena tekad yang tidak disertai kesadaran akan membuahkan sikap keras kepala; sedang tekad tanpa ketenangan akan membawa pada kecemasan dan kegelisahan.

Dua hal tersebut, yakni tekad pengendalian diri yang disertai kesadaran dan ketenangan  itu ada pada puasa. Kesadaran diperoleh dari hakikat puasa yang diketahui hanya oleh Allah dan pelakunya, sedang ketenangan didapat dari niat puasa yaitu karena Allah. Ini senada dengan hadis Qudsi ‘Puasa itu untukKu, dan Aku akan membalasnya’ (As-Suyuthi, Lubab Al-Hadits).

Puasa sebagai salah satu usaha melepaskan belenggu kebiasaan

Untuk status puasa yang keempat ini, Quraish Shihab berargumentasi bahwa kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaannya, termasuk pemenuhan makan dan minum dengan kadar dan jam tertenyu. Quraish Shihab mengistilahkan kebutuhan ini dengan kebutuhan fa’ali. Menurutnya, jika seseorang sudah terbiasa dengan pemenuhan kebutuhan fa’ali secara berlebihan, maka walaupun seseorang tersebut mampu mengendalikannya, dia akan kesulitan dan kalah dengan kebiasaannya.

Baca Juga: Bebas Bukan Berarti Tanpa Etika, Berikut Etika Jurnalistik dalam Al-Quran

Makanan dan minuman menurut Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsir Murah Labid merupakan kesenangan yang paling menonjol daripada kesenangan-kesenangan lainnya juga yang paling sulit mengendalikannya. Jika seseorang mampun mengendalikan perihal makanan dan minuman maka dia akan lebih mudah untuk mengendalikan kesenangan lainnya, termasuk juga rutinitas atau kebiasaan-kebiasaan ‘tidak sehat’ yang lain, seperti jam tidur yang berlebihan,  waktu bekerja yang kurang disiplin dan semacamnya.

Tentu empat status ini tidak paten dan pula tidak final, bisa saja bertambah atau bahkan berbeda, sesuai dengan pengalaman dan argumentasi dari pengkajinya. Namun satu hal yang jelas, yaitu bahwa puasa tidak hanya sekadar tidak makan dan minum, ada banyak latihan-latihan dalam berpuasa, baik latihan jasmani maupun rohani. Dengan begitu, tidak heran ketika selesai puasa atau idul fitri, hari itu diistilahkan pula dengan hari kemenangan. Hal ini dimaksudkan menang dan berhasil dalam latihan-latihan tersebut. Semoga ‘latihan’ kita ini berhasil dan lulus sehingga bisa mencapai kemenangan. Wallahu a’lam.