BerandaKisah Al QuranEpidemiologi Al-Quran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya

Epidemiologi Al-Quran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya

Saat ini, seluruh masyarakat di Dunia sedang mengalami ujian musibah berupa penyakit menular yang disebabkan oleh virus Covid-19. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam sangat responsif dan memberikan solusi dalam menghadapi sebuah wabah penyakit. Hal ini dibuktikan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang membicarakan tentang wabah (Tha’un). Salah satu kisah wabah yang direkam dalam Al-Qur’an adalah kisah Raja Thalut dan pasukanya.

Semenjak ditinggal Nabi Musa, Bani Israil mengalami kekosongan pemimpin selama 356 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Bani Israil mendapat beberapa kali serangan dari bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka, seperti bangsa Amalek (Arab kuno), Madyan, Palestina, Aram, dan lain sebagainya. (al-Zuhaili, 2013: 626)

Menurut al-Tsa’labi, silsilah nasab Raja Thalut bersambung hingga Nabi Ya’qub. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan silsilah nama lengkapnya yaitu Thalut ibn Qaisy ibn Afil ibn Sharu ibn Tahurt ibn Afih ibn Anis ibn Benyamin ibn Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim.

Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Raja Thalut diangkat menjadi raja oleh Nabi Samuel atas perintah dari Allah. Namun, sebagaimana umumnya sifat dari Bani Israil yang suka membangkang, mereka menolak pengangkatan Thalut sebagai raja dikarenakan ia bukan berasal dari keluarga bangsawan, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 247. Namun, berkat telah kembalinya Tabut, maka Bani Israil mulai mengakuinya sebagai raja.

Ujian Allah Bagi Pasukan Raja Thalut

Suatu ketika, Raja Thalut membawa para pasukanya untuk berperang melawan bangsa Amalek (‘amaliqah). Pada saat perjalanan menuju medan perang, cuaca saat itu sangat panas, sehingga mengakibatkan banyak pasukan mengalami kehausan dan dehidrasi. Pada saat kondisi tersebut, untuk mengetahui tingkat loyalitas pasukanya, Raja Thalut pun menguji para pasukanya dengan sebuah sungai. Namun, mereka tidak diperbolehkan untuk meminum air sungai tersebut, kecuali hanya seciduk tangan, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 249:

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوْتُ بِالْجُنُوْدِ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيْكُمْ بِنَهَرٍۚ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّيْۚ وَمَنْ لَّمْ يَطْعَمْهُ فَاِنَّهٗ مِنِّيْٓ اِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً ۢبِيَدِهٖ ۚ فَشَرِبُوْا مِنْهُ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۗ فَلَمَّا جَاوَزَهٗ هُوَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۙ قَالُوْا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ ۗ قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوا اللّٰهِ ۙ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ – ٢٤٩

“Maka ketika Thalut membawa bala tentaranya, dia berkata, “Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai. Maka barangsiapa meminum (airnya), dia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia adalah pengikutku kecuali menciduk seciduk dengan tangan.” Tetapi mereka meminumnya kecuali sebagian kecil di antara mereka. Ketika dia (Thalut) dan orang-orang yang beriman bersamanya menyeberangi sungai itu, mereka berkata, “Kami tidak kuat lagi pada hari ini melawan Jalut dan bala tentaranya.” Mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata. “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.” Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”

Kata syariba dalam kalimat faman syariba minhu falaisa minni dimaknai al-Qurthubi sebagai kara’a (كَرَعَ), yaitu minum air secara langsung menggunakan mulut tanpa perantara tangan atau wadah dengan cara membungkukkan badan ke arah sungai. Mungkin dikarenakan rasa haus yang sangat dahsyat menyebabkan para pasukan langsung minum menggunakan mulut. Kemudian, kalimat illa man ightarafa ghurfah bi yadih dimaknai sebagai minum air sungai melalui perantara tadahan dua tangan.

Qatadah dan al-Rabi’ menjelaskan bahwa sungai tersebut terletak di antara Palestina dan Yordania. Sedangkan dalam pandangan Ibnu Abbas dan as-Suddi, sungai tersebut berada di Palestina (al-Thabari: 340-341). Kemudian terkait namanya, Ibnu Katsir menyebut sungai tersebut dengan nama nahr al-syari’ah al-masyhur. (Ibnu Katsir, 2000: 424)

Menurut as-Suddi, jumlah total pasukan Raja Thalut berjumlah 80.000 orang. Dari total pasukan tersebut, sebanyak 76.000 pasukan meminum air sungai. Sehingga tersisa hanya 4.000 pasukan yang patuh atas perintah Raja Thalut untuk tidak minum dan yang minum air sungai tersebut sebatas cidukan tangan. Namun, tatkala sisa pasukan tersebut melihat jumlah pasukan Jalut yang mencapai 100.000, maka sebanyak 3.680 pasukan Thalut mengundurkan diri dan kembali. (al-Qurthubi, 2006: 243-244)

Dengan demikian pasukan Thalut tersisa hanya 320 orang. Dalam pendapat lain, al-Razi menyampaikan bahwa jumlah pasukan yang dimaksud dalam kalimat illa qalil adalah sebanyak jumlah pasukan perang Badar, yaitu 313 pasukan saja. Argumentasi al-Razi tersebut dibangun atas dasar sabda Nabi Muhammad yang disampaikan kepada para pasukan Badar, berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ بَدْرٍ: أَنْتُمُ اليَوْمَ عَلَى عِدَّةِ أَصْحَابِ طَالُوْت حِيْنَ عَبَّرُوْا النَّهْرَ وَمَا جَازَ مَعَهُ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Sesungguhnya Nabi bersabda kepada para sahabat pada hari perang Badar: jumlah kalian saat ini adalah sebanyak jumlah pasukan Thalut ketika mereka melewati sungai, dan tidak diperkenankan menyertai (Raja Thalut) kecuali orang mukmin.

Malapetaka Air Sungai

Ibnu Jarir al-Thabari menyebutkan bahwa para pasukan yang banyak meminum air sungai dengan mulut tersebut justru semakin mengalami kehausan. Berbeda dengan yang meminumnya sebatas cidukan tangan, mereka tidak lagi mengalami kehausan. Selain itu, efek samping dari banyak meminum air sungai tersebut adalah berubahnya bibir mereka menjadi hitam.

Dari hasil penelusuran penulis terhadap sepuluh kitab tafsir karya ulama salaf maupun khalaf, hanya terdapat tiga kitab tafsir yang secara eksplisit menceritakan peristiwa hitamnya bibir pasukan Raja Thalut tersebut, yaitu kitab tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan tafsir Ma’alim al-Tanzil karya Abu Muhammad Husain ibn Mas’ud al-Baghawi.

Dalam hal ini, penulis akan menukil redaksi penyampaian yang digunakan oleh al-Razi dalam tafsirnya, sebagaimana berikut:

وَأَمَّا الَّذِيْنَ شَرَبُوْا وَخَالَفُوْا أَمْرَ اللهِ فَاسْوَدَّتْ شِفَاهُهُمْ وَغَلَبَهُمْ الْعَطَشُ وَلَمْ يَرْوُوْا، وَبَقَوْا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ، وَجَبَنُوْا عَلَى لِقَاءِ العَدُوِّ

Adapun orang-orang yang meminum (air sungai) dan melanggar perintah Allah, maka bibir mereka langsung berubah menjadi hitam, semakin dipenuhi rasa haus dan (dahaga) mereka tidak puas. Mereka tertinggal di sungai dan tubuh mereka menjadi lemah tatkala hendak menemui musuh”

Menurut Nasaruddin Umar dalam karyanya Islam Fungsional, ia mengutip pendapat Ahmad Ramali, bahwasanya hitamnya bibir para pasukan tersebut disebabkan oleh lintah air yang berjenis limmatis nilotica. Hal ini dikarenakan di musim panas dan musim semi, daerah sekitar Palestina Utara sering ditemukan lintah air, sehingga tidak heran jika banyak hewan di daerah tersebut yang mulutnya sering berdarah ketika meminum air sungai. (N. Umar, 2014: 323)

Terjadinya kehausan yang dahsyat dan dibarengi dengan perubahan warna hitam terhadap bibir pasukan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa mereka terkena penyakit dyspnea (sesak nafas) yang disebabkan oleh oedema glottides, yaitu akumulasi cairan yang abnormal di jaringan yang melibatkan daerah supraglotis (anatomi tubuh bagian dalam terletak di kerongkongan) dan subglotis (suatu daerah saluran pernapasan pada rongga laring/pita suara). (Husnul Hakim, “Epidemi dalam Al-Quran Kajian Tafsir Maudhu’i dengan Corak IlmiJurnal Kordinat, 2018).

Baca Juga: Empat Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Quran

Oleh karena itu, diizinkanya meminum air sungai sebatas dengan cidukan tangan adalah untuk mengetahui keberadaan lintah air jenis limnatis nilotica tersebut, sehingga sebelum meminum air tersebut para pasukan bisa menyingkirkan lintah-lintah tersebut. Selain itu, air sungai akan cukup steril apabila diambil menggunakan cidukan tangan. Hal ini sejalan dengan hadis yang dikutip oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, sebagaimana berikut:

حدثنا ابن فضيل، عن ليث، عن سعيد بن عامر قَالَ: مَرَرْنَا عَلَى بِرْكَةٍ فَجَعَلْنَا نَكْرَعُ فِيْهَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لَا تَكْرَعُوْا، وَلَكِنْ اغْسِلُوْا أَيْدِيَكُمْ، ثُمَّ اشْرَبُوْا فِيهَا، فَإِنَّهُ لَيْسَ إِنَاءٌ أَطْيَبَ مِنَ اليَدِ

Diceritakan kepada kami oleh Ibnu Fudhail, dari Laits, dari Sa’id ibn ‘Amir, ia berkata: kami melewati sebuah kolam, maka kami pun meminum (secara langsung dengan mulut) air kolam tersebut. Lantas kemudian Nabi bersabda: janganlah kamu meminum air secara langsung dengan mulut, namun cucilah tanganmu, kemudian minumlah dengan tanganmu itu. Hal ini dikarenakan tidak ada suatu wadah untuk minum yang lebih baik dari pada tangan

Dari paparan hadis di atas dapat diketahui bahwa Islam sangat memperhatikan akan pola hidup sehat dan bersih. Oleh karena itu, sudah sepatutnya di era wabah saat ini, kita harus terus menerapkan protokol kesehatan dengan memulai dari mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Karena itu semua merupakan juga ajaran ajaran dari agama Islam. Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...