Melanjutkan artikel sebelumnya Mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Penggagas Epistemologi Tafsir Metalinguistik (1), risalah ini mencoba merangkai hasil pembacaan Al-Attas terhadap terminologi Al-Quran yang kemudian membentuk sebuah bangunan epistemologi tafsir. Bagian-bagian dari bangunan itu dijelaskan oleh Al-Attas secara terpisah dalam tema-tema tertentu.
Seperti pembacaan makna Islam dalam Al-Quran yang dijelaskan pada bukunya Islam and Secularism, pembacaan makna Din yang diuraikan pada bukunya Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak yang merupakan terbitan kedua oleh IBFIM pada tahun 2013, sedangkan versi Melayunya berjudul Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality, kemudian pembacaan makna Ta’dib yang dijelaskan pada bukunya berjudul Aims and the objectives of Islamic Education: Islamic Education Series, dan pembacaan makna ikhtiar dalam bukunya Prolegomena to the Metaphysics of Islam.
Pijakan Awal Epsitemologi Tafsir Metalinguistik
Syed Muhammad Naquib Al-Attas berupaya memahami teks Al-Quran dengan berbagai disiplin ilmu. Salah satu yang ia fokuskan yaitu menafsirkan teks Al-Quran dengan memahami dari segi makna bahasa serta memahami makna intuisi melalui proses iluminatif. Al-Attas membentuk konsep penafsiran dari beberapa kerangka ilmu seperti filsafat, sufistik, linguistic dan metafisika (Daud, Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam Syd M. Naquib Al-Attas Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi).
Perpaduan empat disiplin ini yang disebut dengan konsep tafsir metalinguistik. Tafsir metalinguistik berangkat dari pemahaman Al-Attas mengenai falsafah (filsafat), sufi (tasawuf), dan linguistik (bahasa). Menurutnya, ada tiga ciri dalam bahasa Islam: pertama, memiliki akar kata; kedua, memiliki pola khusus dalam arti (sehingga menyebabkannya bisa difahami); ketiga, karakteristik.
Masing-masing keilmuan memiliki kedalaman materi tersendiri yang disesuaikan dengan perannya dalam kerangka keilmuan al-Attas. Keilmuan paling dalam adalah sufistik yang merupakan intelektual Islam paling inti dan menghubungkan aspek kemanusiaan dengan konsep ketuhanan (Naquib Al-Attas, Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjatul Siddiq: A Refutation).
Kemudian, keilmuan inti berikutnya adalah metafisika. Menurut al-Attas, seluruh nilai dan etika kemanusiaan terefleksikan dari seperangkat pemahaman metafisika atau yang disebut weltanschauung. Keilmuan ini dapat didemonstrasikan dengan mengkaji filsafat, pendidikan dan ilmu sosiologi (Daud, The Concept of Knowledge in Islam).
Berikutnya, keilmuan filsafat, di mana al-Attas membedakan filsafat dan metafsika. Filsafat merupakan luaran metafisika yang merupakan manifestasi metafisika berupa aturan-aturan umum dan khusus dalam kehidupan manusia seperti aturan logika, akal sehat, common sense, etika. Dan luaran terakhir adalah linguistik, al-Attas menekankan ilmu tafsir merupakan ilmu pertama dalam Islam karena sifat bahasa yang saintifik khususnya bahasa Arab. Linguistik Arab memiliki posisi yang sangat penting dalam keilmuan Islam dikarenakan ilmu luaran yang menghubungkan dengan keseluruhan susunan, tujuan, pengertian pandangan dan peradaban Islam (Naquib Al-Attas, The Concept of Education In Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education).
Komponen Penafsiran Metalinguistik Al-Attas
Tafsir metalinguistik terbentuk melalui empat komponen kerangka berpikir: pertama, landasan sufistik Al-Attas banyak terpengaruh dengan aliran tasawuf falsafi atau yang disebut sufi intelektual. Menurutnya tasawuf intelektual merupakan suatu disiplin yang terintegrasi untuk mengakses hakikat sesuatu dengan cara pemahaman akal dan pengamatan fenomenologi terhadap alam dengan dimensi transempirikal. Tasawuf melihat fenomena sebagai immaterial teacher (Putra, Epistemologi Tafsir Sufi Perspektif Esoterik-Fenomenologi).
Penafsiran Al-Quran menurut al-Attas merupakan manifestasi ayat Allah dalam bentuk teks dan bahasa. Pembacaan terhadap ayat Al-Quran harus dipahami melalui pembacaan iluminatif dengan berupaya mendapatkan cahaya ma’rifatullah. Agaknya, al-Attas mengkonfirmasi tasawuf al-Ghazali dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli (Cibro, Semantik ‘Irfani Sebagai Model Tafsir Sufistik). Sebagaimana dalam memahami Al-Qur’an, sampainya ilmu dan pemahaman ke dalam jiwa pembacanya tergantung pada kesucian jiwa, kualitas spiritual, intelektual, dan akhlak mereka.
Kedua, metafisika. Al-Attas memposisikan metafisika sebagai induk dari worldview Islam. Tanpa metafisika, akan sulit untuk mengetahui pandangan dunia Islam yang sebenarnya. Metafisika merupakan hakikat fundamental untuk mengetahui eksistensi dan realitas sesuatu yang tergambar pada fenomena-fenomena. Selain berbicara tentang berbagai fenomena-fenomena, Al-Quran merupakan sumber utama dalam mendefinisikan kebenaran dan realitas, maka sangat penting mengungkap kandungan-kandungannya melalui kacamata metafisika.
Ketiga, filsafat. Filsafat al-Attas tidak menentukan satu aliran filsafat. Filsafat al-Attas dalam penafsirannya kembali kepada filsafat Islam klasik yang mempunyai karakteristik ensiklopedia dan tauhidic. Hal ini berbeda dengan kebanyakan sarjana muslim periode modern yang banyak dipengaruhi oleh filsafat utilitarianism.
Filsafat Al-Attas mengarahkan konsep penafsiran Al-Quran untuk menemukan makna hakikat yang sebenarnya pada isi yang terkandung dalam Al-Quran menurut kehendak Al-Quran itu sendiri. Dimana teks-teks Al-Quran memiliki hak-hak yang fundamental terhadap seluruh umat manusia khususnya umat muslim. Oleh karenanya memahami Al-Quran dengan metabahasa berfungsi agar sampai pada makna hakikat yang terkandung didalamnya.
Keempat, linguistik. Muatan Linguistik Al-Quran merupakan elemen yang penting dalam membentuk penafsiran metalinguistik menurut al-Attas (Daud, The Concept of Knowledge in Islam). Al-Quran merupakan kitab suci yang diturunkan dengan muatan Bahasa Arab dengan segala kompleksitasnya. Meskipun bahasa Arab dengan bahasa Al-Quran memiliki pola penuturan yang sama, namun makna yang terkandung dalam keduanya terdapat perbedaan. Karena Al-Quran merupakan kitab untuk seluruh umat manusia, maka segala pemahaman yang terkandung didalamnya telah mencapai nilai kebenaran yang sempurna.
Bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Quran bukanlah bahasa Arab pada umumnya yang dipraktekkan pada peradaban Arab kontemporer. Sebab, al-Attas menyebut bahwa makna terminologi Arab kontemporer telah terkontaminasi dengan paradigma modernisme barat. Tentunya hal ini tidak terlepas bahwa tafsir dan takwil tradisional ini berpijak pada sifat ilmiah yang terdapat dalam bahasa Arab, yaitu sistem akar kata yang lengkap dengan arti dasar yang saling berkaitan, yang dapat menjaga makna kata-kata dan idenya dari perubahan sosial dan penafsiran subjektif.