BerandaTafsir TematikEtika Bermedia Sosial dalam Pandangan Alquran

Etika Bermedia Sosial dalam Pandangan Alquran

Kemajuan dalam bidang teknologi menuntut setiap orang cepat beradaptasi jika tidak ingin ketinggalan zaman. Salah satu dampak positif dari kemajuan teknologi adalah mudahnya mendapatkan akses informasi.

Informasi apapun akan lebih mudah disajikan dan diakses oleh semua orang di seluruh penjuru dunia melalui media sosial. Tak jarang, informasi yang beredar tidak sesuai dengan fakta dan mengandung ujaran kebencian, sehingga mengakibatkan konflik antarsesama.

Oleh karena itu, dalam menggunakan media sosial harus mengedepankan etika yang bijak agar terhindar dari konflik tersebut. Berikut ini etika bermedia sosial dalam pandangan Alquran:

Menyampaikan informasi yang benar dan terpercaya

Allah berfirman dalam Q.S. Annur [24]: 11 yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula)”.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tuduhan tokoh kaum munafik, yaitu Abdullah bin Ubayy bin Salul terhadap Aisyah. Dia menuduh Aisyah melakukan hubungan terlarang dengan Shafwan bin al-Mu’aththil al-Sulami dalam perjalanan pulang usai pertempuran dengan Bani al-Mushthalaq.

Tuduhan ini tidak didukung dengan bukti yang benar. Faktanya, saat itu Shafwan bin al-Mu’aththil al-Sulami menemukan Aisyah tertinggal rombongan dalam perjalanan pulang karena mencari kalungnya yang hilang. Perbuatan Abdullah bin Ubayy bin Salul ini mendapat ancaman dari Allah, yakni balasan yang sesuai dengan kadar perbuatannya.

Apabila berita bohong tersebut disebarluaskan, kemudian menjadi konsumsi publik, Allah akan memberinya azab yang besar di akhirat nantinya. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya memberikan informasi yang benar dan terpercaya berdasarkan fakta yang ada.

Baca juga: Tadabbur Al-Hujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital

Melakukan klarifikasi

Firman Allah dalam Q.S. Alhujarat [49]: 6 berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”.

Pada ayat ini Allah memerintahkan agar kita melakukan klarifikasi terhadap informasi yang beredar, terlebih apalagi informasi itu disampaikan oleh orang yang fasik. Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab Lubâbut Tafsir bahwa terdapat beberapa kelompok ulama yang melarang untuk menerima informasi dari sesorang yang tidak diketahui keberadaannya. Sebab, terdapat kemungkinan orang tersebut fasik.

Dari sini kita diperintahkan untuk tidak mudah percaya dalam menerima informasi dari sumber yang kurang jelas asal usulnya. Sebab, terdapat kemungkinan isi dari informasi tersebut adalah kebohongan.

Tidak melakukan pencelaan atau ujaran kebencian

Melakukan ujaran kebencian termasuk larangan Allah sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Alhujarat [49]: 11 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Jangan pula perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Ayat ini menegaskan kepada kita sebagai orang yang beriman agar tidak mencela kepada siapapun. Karena, bisa jadi yang dicela itu lebih baik daripada yang mencela. Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pendapat di antara ahli takwil mengenai celaan yang dilarang oleh Allah dalam ayat ini.

Sebagian berpendapat bahwa maksud dari larangan mencela dalam ayat ini adalah larangan mencela orang miskin oleh orang kaya. Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa yang dilarang adalah pencelaan orang-orang beriman yang aibnya ditutupi oleh Allah terhadap orang-orang beriman lainnya yang aibnya diperlihatkan oleh Allah di dunia.

Walhasil, hal yang perlu digarisbawahi pada ayat ini adalah setiap orang yang beriman dilarang melakukan pencelaan atau ujaran kebencian kepada siapapun dengan berbagai macam bentuknya.

Baca juga: Body Shaming, Repetisi Histori al-Hujurat Ayat 11 Sebagai Budaya Jahiliyah Modern

Tidak berprasangka buruk dan mencari keburukan orang lain.

Allah berfirman dalam Q.S. Alhujurat [49]: 12 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat dan Maha Penyayang”.

Ayat di atas merupakan seruan untuk bersungguh-sungguh dalam menghindari prasangka. Namun, tidak semua prasangka itu adalah dosa. Quraish Shihab menjelaskan bahwa prasangka yang tidak dosa adalah prasangka baik. Sementara prasangka yang dosa adalah prasangka buruk yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan tercela, baik dalam perbuatan maupun ucapan.

Buntut dari prasangka adalah upaya mencari tahu. Dalam upaya mencari tahu ini juga ada yang dilarang maupun yang tidak. Upaya mencari tahu dalam urusan untuk pemeliharaan negara atau menghindarkan keburukan yang sifatnya umum itu diperbolehkan. Akan tetapi, upaya mencari tahu keburukan seseorang untuk kepentingan pribadi itu yang dilarang.

Oleh karena itu, dalam penyampaian informasi pun dilarang berlandaskan pada prasangka buruk atau untuk mencari keburukan seseorang. Wallahu’alam bi shawab.

Baca juga: Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

Muhammad Ilham Muzhoffar
Muhammad Ilham Muzhoffar
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...