Farid Esack: Mufassir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Para pembaca yang budiman, siapa yang tahu tentang Afrika Selatan? Ya. Afrika Selatan adalah Negara yang terkenal dengan politik Apartheidnya. Bagi yang belum pernah mendengar, politik Apartheid adalah sistem politik yang tertuang dalam UU Afrika Selatan yang memberikan privilage pada orang kulit putih dalam hak ekonomi dan politik. Sedangkan orang berkulit hitam hanya dijadikan buruh dan pegawai kelas rendahan.

Bicara soal Apartheid, pasti yang diingat adalah Nelson Mandela, Presiden pertama Afrika Selatan yang berjuang mati-matian menolak sistem politik Apartheid. Namun banyak yang belum tahu bahwa dibalik Nelson Mandela juga banyak tokoh-tokoh yang berperan penting dalam membumi hanguskan sistem politik diskriminatif tersebut. Salah satu di antaranya adalah Farid Esack.

Farid Esack lahir di tahun 1959 pada ketika Apartheid sedang diberlakukan. Esack kecil hidup bersama ibu yang bekerja sebagai buruh dengan upah yang sangat minim. Sehingga Esack kecil tidak jarang mengais barang-barang tempat sampah dan mengetuk pintu tetangga untuk meminta sisa makanan.  Pengalaman pahit seperti ini menjadi modal bagi Esack untuk dengan sekuat tenaga melawan apartheid.

Sejak tahun 1974, di usia 15 tahun Farid Esack mulai menjejakkan kakinya di tanah Pakistan. Esack menghabiskan waktu di Jami’a Alamiyyah al-Islam, Karachi Pakistan selama 8 tahun. Sistem pembelajaran di tempatnya memakai Dars al-Nizami, yaitu kurikulum yang dirancang untuk melahirkan ulama. Para lulusannya kemudian diberi gelar Maulana sebagai tanda penghargaan atas kerja keras mendalami ilmu agama.

Selepas mendapat gelar Maulana, Farid Esack kemudian pulang ke kampung halamannya, Afrika Selatan di tahun 1982 untuk ikut memperbaiki keadaan Negeri tercintanya. Selang dua tahun kemudian, Esack ikut membidani lahirnya organisasi Islam penentang Apartheid yaitu Call of Islam. Melalui organisasi ini jalan perjuangan Farid Esack untuk melawan Apartheid menemukan titik kulminasinya. Berbeda dengan organisasi Islam yang eksklusif semisal Jama’at Tabligh, yang telah dulu eksis, Call Of Islam memilih bekerja sama dengan organisasi apa pun tanpa memandang perbedaan agama.

Akhirnya bersama African National Congress (ANC), Call of Islam turut andil membebaskan Nelson Mandela di tahun 1990. Setelah dirasa cukup berhasil menentang apartheid, Farid Esack kembali belajar untuk menyelesaikan pendidikannya di tingkat doktoral. Kali ini perburuan intelektualnya tertuju ke Birmingham University dengan mengambil jurusan teologi. Esack kemudian menekuni bidang teologi pembebasan (liberation theology) dan melanjutkan program post-doktoral di Jerman tepatnya di Sankt Georgen Graduate School of Philosophy and Theology.

Karya monumentalnya yang banyak didiskusikan para akademisi adalah Quran, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Melalui buku ini, Farid Esack hendak menunjukkan bagaimana penafsiran terhadap al-Quran dalam konteks Afrika Selatan turut mempengaruhi perjuangannya bersama Call of Islam.

Sebagai contoh, pemahamannya terhadap konsep tauhid dalam al-Quran—seperti Q.S al-Ikhlas dan ayat lainnya—membawanya pada kesimpulan bahwa Islam mengajarkan persatuan (embodiment of unity) yang terpusat pada Keesaan Allah swt. Sehingga selain-Nya, semuanya adalah makhluk yang setara dan tidak berhak merasa lebih mulia karena kedudukannya sebagai makhluk.

Wallahu A’lam.