Tidak asing di telinga ketika mendengar istilah delusi yang sering disebut-sebut dalam ilmu psikologi. Delusi sendiri diartikan dengan pikiran atau pandangan yang tidak berdasar (tidak rasional); juga bisa dikatakan sebagai pendapat yang tidak berdasarkan kenyataan yang biasa disebut dengan khayalan.
Meskipun begitu, orang yang ber-delusi sangat yakin akan pendapatnya, tidak peduli apapun pendapat orang dan tidak peduli sedikitpun meski ada bukti-bukti yang membantahnya. Dalam kajian psikologi, delusi merupakan salah satu gejala dari beberapa gangguan jiwa psikotik seperti skizofrenia, gangguan bipolar dan parafrenia.
Zaman sekarang, delusi banyak terjadi ketika seseorang merasa bahwa apa yang ia yakini adalah mutlak benar dengan segenap konspirasi yang sejatinya tidak menunjukkan bukti yang konkret. Selain itu, delusi terjadi ketika seseorang telah terdoktrin dengan suatu keyakinan yang dianggap paling benar dan tidak dapat berubah.
Sehingga, jika ditemukan kebenaran ilmiah pun, orang-orang yang mengalami delusi tidak akan menerimanya. Sebab mereka tidak ingin kehilangan apa yang selama ini dipertahankan dan diyakini. Padahal, keyakinan yang diklaim sebagai kebenaran mutlak tersebut sangat tidak berdasar dan diragukan.
Orang-orang yang mengalami delusi sangat pandai dalam mengarang cerita, mereka berupaya memengaruhi orang lain untuk membenarkan keyakinanya. Tidak peduli walau banyak realita yang membantah, mereka tetap kokoh dan teguh dengan sesuatu yang dianggapnya benar atau tepat.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat
Tafsir surah Al-Hajj ayat 46
Terkait dengan delusi ini, terdapat sebuah fakta menarik yang dijelaskan di dalam al-Qur’an mengenai orang-orang kafir yang sulit menerima kedatangan Islam. Mereka yang telah terdoktrin dan sudah kadung nyaman dengan tradisi sebelumnya, seperti menyembah berhala atau tradisi keagamaan dan sosial kemasyarakatan lainnya, menentang keras ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. ini.
Mereka takut akan kehilangan segala hal yang selama ini dipertahankan. Salah satunya, dalam hal perdagangan, para pembuat patung kawatir patung yang mereka buat tidak akan laku jika orang-orang Makkah masuk agama Islam dan meninggalkan berhala. Bukan hanya tentang perdagangan, yang lebih ditakutkan lagi yaitu akan terjadinya perubahan tradisi-tradisi sosial masyarakat lainnya yang akan berpengaruh pada eksistensi pemuka-pemuka Kafir Makkah saat itu.
Orang-orang kafir tersebut seakan telah buram akal pikirnya, padahal sesungguhnya mereka telah melihat bukti-bukti terdahulu tentang umat yang mendurhakai Allah SWT. Tetapi, keyakinan yang teguh dalam benak mereka disertai dengan ketakutan dalam menerima kenyataan menjadi penyebab Islam sulit diterima kala itu.
Allah SWT menggambarkan keadaan orang-orang kafir tersebut dalam surah Al-Hajj ayat 46 sebagai berikut.
أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)
Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 69-70: Al-Quran Bukan Syair, Ini Penjelasannya
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat di atas berbicara tentang orang-orang kafir Makkah yang tidak mengambil pelajaran dari umat-umat sebelumnya akan kedahsyatan azab Allah SWT kepada umat yang menentang ajaran-Nya. Mereka memiliki hati, tetapi hati mereka tidak dapat menerima kebenaran tersebut.
Orang-orang kafir itu juga telah buta, namun bukan buta mata tetapi buta hati. Mujahid berkata, “Setiap individu memiliki empat mata,” maksudnya adalah, setiap orang memiliki empat mata, yaitu: (1) dua di kepala untuk kehidupan dunia, dan (2) dua lainnya di hati untuk kehidupan akhirat.
Jika kedua mata kapalanya buta, sementara kedua mata hatinya dapat melihat, maka hal itu tidak akan memudharatkannya sedikit pun. Tetapi jika kedua mata kepalanya dapat melihat, sementara kedua mata hatinya buta, maka penglihatannya itu tidak akan memberinya manfaat sedikit pun.
Sayyid Quthb menjelaskan bahwa surah Al-Hajj ayat 46 ini berkenaan dengan kebutaan hati orang-orang yang zhalim. Mereka melihat kebinasaan orang-orang terdahulu, membaca berita-berita tentang mereka, dan mereka mengetahui kesudahannya. Namun mereka seakan tidak peduli, mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami dan mereka mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar.
Hamka menambahkan jika hati yang buta di dalam dada, maka niscaya tidak dapat menerima dan membandingkan apa yang tampak oleh mata. Mata dan telinga hanyalah alat untuk mengontak hati sanubari dengan tempat fakta di sekeliling kita. Karena sejatinya kebutaan tersebut adalah kebutaan hati yang tidak dapat melihat kebesaran Allah walaupun matanya terang.
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 72: Balasan di Akhirat bagi Orang yang Buta Hatinya
Ayat di atas menceritakan tentang keadaan orang-orang kafir yang sejatinya telah melihat bukti-bukti nyata dari pendahulunya, namun mereka tetap berpegang teguh dengan keyakinan yang dianut. Hal ini seakan membuktikan bahwa orang-orang kafir kala itu sedang mengalami delusi, dimana pembuktian tidak memberi pengaruh berarti.
Butanya hati orang-orang kafir menjadi penyebab sulitnya mereka mengakui kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mereka tahu akibat yang akan terjadi, namun mereka lebih memilih agama nenek moyangnya dan takut jika kehidupan duniawinya akan sirna
Fakta menarik tentang delusi pada orang-orang kafir ini memberi pelajaran kepada kita tentang pentingnya mencerdaskan hati. Sebab ketika hati telah gelap dan buta akan kebanaran, kita akan mengalami delusi kefasikan yang menyeret ke jurang kebinasaan. Oleh sebab itu, riyadhah dalam amal-amal kebaikan sangat diharuskan untuk membina hati yang mulai buram.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengingatkan tentang pentingnya menghidupkan hati dengan nasehat, menyinarinya dengan tafakur, menguatkannya dengan keyakinan, dan senantiasa mengingat kisah-kisah umat terdahulu sebagai sebuah pelajaran. Wallahu A’lam.