Sebuah perayaan, identik dengan telah berhasilnya seseorang mengarungi suatu hal yang dinilai sebagai tantangan baginya. Puasa, misalnya. Setelah mengarungi masa-masa menahan dari keinginan maupun kehendak hawa nafsu yang merupakan sebuah tantangan yang begitu tidak mudah bagi sebagian muslim, puasa di bulan Ramadan mengantarkan setiap muslim yang mengerjakannya kepada kebersihan jiwa, sehingga akan menjadi lebih mudah taqarrub kepada-Nya.
Lantas, apakah hari raya hanya diperuntukkan bagi orang-orang muslim yang telah menunaikan kewajiban puasa di bulan Ramadan? Bagaimana hakikat raya yang sesungguhnya? Mari simak tafsir Q.S. al-A’lā ayat 14-15 berikut.
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ ١٤ وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىَّ ١٥
Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri. Dan mengingat nama Tuhannya, lalu ia salat.
Raya atas Keberuntungan Bagi Orang yang Menyucikan Diri
Abdul Malik bin Qasim menuturkan, bahwa lafaz Aflaḥa diambil dari kata al-Falāḥ, yang bermakna al-Fauzu bi al-Maṭlūb, yakni berhasil mencapai apa yang dikehendaki [Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm-Juz ‘Amma, 88]. Inilah hakikat dari orang yang benar-benar beruntung, yakni bilamana seseorang telah memberhasilkan diri menggapai apa yang dikehendaki. Namun, dalam konteks ini, dicapai dengan cara apa? Jawabannya adalah sebagaimana potongan ayat berikutnya: man tazakkā (bagi siapapun yang menyucikan diri).
Lafaz tazakkā diadopsi dari kata al-tazkiyyah, yakni al-taṭhīr yang berarti menyucikan atau membersihkan diri. Dan dari kata tersebut, melahirkan istilah serupa, yaitu zakāt. Fungsi zakat adalah pembersihan dan penyucian. Dalam Tafsir al-Sya’rawi (h. 501) dikatakan bahwa fungsi tersebut terjadi pada setiap elemen zakat, yaitu muzaki (orang yang mengeluarkan zakat), mustahik (penerima zakat), dan harta yang dizakatkan itu sendiri.
Baca juga: Merayakan Idulfitri; Momentum Maaf-memaafkan
Beberapa riwayat hadis mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan perintah zakat fitrah. Katsir bin Abdullah bin Umar bin Auf diceritakan oleh ayahnya, bahwa kakeknya berkata: “Dari Rasulullah saw., sesungguhnya beliau memerintahkan untuk menunaikan zakat fitrah sebelum salat Id. Kemudian beliau menuturkan ayat qad aflaḥa man tazakkā wa dzakarasma rabbihī faṣallā.” [al-Riwāyāt al-Tafsīriyah fī Fatḥ al-Bārī, 3/1341]. Umar bin Abdul ‘Aziz juga mengomentari bahwa ayat ini berkenaan dengan perintah mengeluarkan zakat fitrah [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaśīr, 2/631].
Seperti yang diketahui pada umumnya, bahwa salah satu prosesi dari Idulfitri adalah menunaikan zakat fitrah bagi yang telah memenuhi syarat. Maka, sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwa zakat fitrah merupakan salah satu rukun Islam yang ditujukan untuk menyucikan jiwa. Sehingga, seseorang yang telah menyucikan jiwa dengan zakat fitrah, maka akan sampai pada hakikat raya yang sesungguhnya pada bulan berikutnya, tepatnya bulan Syawal sebagai Idulfitri.
Raya dengan Mengingat Nama Tuhannya
Setelah berakhirnya bulan Ramadan, memasuki bulan berikutnya pada malam satu Syawal sebelum pelaksanaan salat Id, dikumandangkanlah kalimat-kalimat takbir di sejumlah titik wilayah mayoritas muslim sebagai ungkapan mengekspresikan hari kemenangan. Merayakan atas telah berhasilnya menyucikan jiwa dengan menahan nafsu selama sebulan lamanya.
Baca juga: Makna Salat Id pada Hari Raya Idul Fitri
Ini berkenaan dengan redaksi ayat berikutnya, bahwa setelah membersihkan jiwa dengan zakat fitrah, maka wa żakarasma rabbihī faṣallā (Dan mengingat nama Tuhannya, lalu ia salat). Abu al-Mudzoffar al-Sam’ani, mengarahkan makna “mengingat” ini dengan cara takbir, mengangungkan nama Allah [Tafsīr al-Sam’ani, 6/210]. Di samping takbir, dikumandangkan pula bacaan-bacaan yang menunjukkan ke-Esa-an Allah, yaitu dengan tahlil [Fatḥ al-Raḥmān fī Tafsīr al-Qur’ān, 7/343]. Dengan demikian, maksud dari żakara adalah mengingat-Nya dengan mengumandangkan takbir dan tahlil sebagaimana pengumandangan takbir yang biasa didengar pada malam takbiran pada umumnya.
Kemudian, setelah dikumandangkannya takbiran hingga fajar tiba, maka faṣallā (lalu ia salat). Maksudnya ialah salat Idulfitri, sebagaimana dikatakan oleh al-Ḍaḥḥāk dan Ibnu Abbas [Tafsīr al-Qurṭubī, 20/21].
Kesimpulan
Hakikat raya yang sesungguhnya pada momentum Idulfitri adalah bagi mereka yang telah menjalankan puasa dengan sebaik-baiknya dan menunaikan zakat fitrah. Sehingga hal tersebut mampu membersihkan jiwa yang mampu mengantarkan kepada ketakwaan, dan semakin taqarrub kepada-Nya. Kemudian perayaan ini diekspresikan oleh setiap muslim dengan mengumandangkan kalimat takbir dan tahlil, serta ditambah pula tahmid pada malam satu Syawal sebagai permulaan hari kemenangan. Mengagungkan, meng-Esa-kan, dan mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya.
Baca juga: Makna Id dan Makna Fitri