Hasan Mustapa merupakan seorang Penghulu Besar, ulama, dan dianggap salah satu Pujangga Sunda terbesar di Tatar Pasundan. Mustapa lahir di Cikajang, Garut pada tahun 1852 dan meninggal di Bandung pada tahun 1930. Ayahnya, Mas Sastramanggala (Haji Usman). Ibunya bernama Nyi Mas Salpah (Emeh), putri dari Mas Kartapraja dan masih keturunan Dalem Sunan Pagerjaya dari Suci, Garut.
Mustapa berasal dari keluarga yang taat beragama dan budayawan. Banyak keluarganya yang menjadi ulama dan menjadi bujangga Sunda, panayagan, dan pencipta lagu. Pada tahun 1965 ahli waris Mustapa menerima piagam penghargaan atas nama dirinya dari Gubernur Jawa Barat. Tahun 1977 dan 2013, Presiden RI memberikan anugerah seni dan kebudayaan kepadanya sebagai sasterawan daerah Sunda.
Selain itu, Mustapa juga menguasai bahasa Arab dan Melayu. Pada masa remajanya (17 tahun) Beliau belajar menuntut ilmu di Makkah selama sepuluh tahun. Tidak hanya belajar di Makkah, beliau juga berguru pada kyai-kyai di Indonesia seperti KH Hasan Basri, Kyai Muhammad, Raden Haji Yahya, Ajengan Abdul Hasan, Muhamnad Ijra’i, dan Kyai Khalil, Bangkalan Madura.
Baca Juga: Mengenal Tafsir Nurul Bajan: Kitab Tafsir Berbahasa Sunda Karya Muhammad Romli
Sekitar tahun 1880 M. setelah beliau menikah dan mempunyai anak, Mustapa berangkat lagi beserta anak dan istrinya ke Makkah dan menjadi pengajar di Masjidil Haram. Sejarawan asal Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje berkesempatan berkenalan dengan Hasan Mustapa di Makkah.
Hurgronje mengatakan bahwa Mustapa di sana diikuti oleh beberapa lusin murid setiap kali beliau mengajar. Pun demikian menurut Abubakar Djajadiningrat bahwa Mustapa mempunyai murid di Masjidil Haram lebih kurang 30 orang. Menurut Jajang A Rohmana dalam bukunya, Sejarah Tafsir al-Qur’an di Tatar Sunda, Mustapa merupakan salah satu informan pribumi yang membuka informasi bagi Snouck Hurgronje untuk memperoleh pengetahuan tentang Islam lokal.
Pada tahun 1895 Mustapa menjadi penghulu besar di Bandung setelah sebelumnya dua setengah tahun menjadi Penghulu Besar di Aceh. Selama beliau menjadi penghulu sampai dengan pensiun (1918), beliau banyak menulis karangan dalam bahasa Sunda dan juga bahasa Jawa baik berupa prosa maupun puisi.
Mustapa dianggap oleh khalayak umum sebagai orang yang benar-benar paham dengan adat istiadat Sunda. Oleh karenanya beliau diminta menulis buku yang menghasilkan Bab Adat-adat Urang Priangan Jeung Sunda Lianna ti Eta (Bab adat-adat orang Priangan dan Sunda selain dari itu) diterbitkan di Jakarta pada tahun 1913.
Tulisan-tulisan Mustapa antara lain mencakup bidang keagamaan, tasawuf, filsafat, dan adat istiadat orang Sunda. Di antara karya tulisanya yaitu: Dangding Djilid Anu Kaopat (1960), Aji Wiwitan Qur’an Sutji (1920), Dangding Djilid Anu Kaopat (1960). Tafsir Qur’anul Adhimi merupakan salah satu karya prosanya yang berkaitan dengan keagamaan.
Tulisannya banyak, namun sayangnya banyak juga karyanya yang tidak diterbitkan sebagai buku. Sekretarisnya, Wangsadiredja membuat salinan karangan Mustapa dan dikirimkan kepada Snouck Hurgronje di Leiden dan sampai sekarang di simpan di perpustakaan Universitas Leiden. Termasuk karyanya yang berjudul Injazu’l-Wa’d, fi ithfa-i-r-Rad yang merupakan hasil karnyanya untuk membantah tuduhan sebagai pengikut Wihdatul Wujud juga tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.
Baca Juga: Jajang A Rohmana: Penguak Ekspresi Lokalitas Tafsir Al-Quran di Sunda
Sekilas tentang Tafsir Qur’anul Adhimi
Menurut Prof Jajang A Rohmana (Guru Besar yang banyak meneliti tafsir Sunda) tafsir Qur’anul Adhimi, (1921-1922) karya Hasan Mustapa berbeda dengan sistematika tafsir standar. Pengarang kitab tafsir tersebut terkadang hanya menerjemahkan ayat secara bebas atau menafsirkan sesuai visinya dan memberi cacatan tentang maksud ayat. Namun, Mustapa hanya memilih menafsirkan 105 ayat yang menurutnya dianggap cocok dan paling penting untuk orang Sunda.
Beliau menganggap bahwa cukup 105 ayat yang dipilihnya itu saja untuk dipelajari orang Sunda karena yang lainnya terlalu terikat dengan budaya dan sejarah Arab yang (dianggapnya) tidak akan dipahami oleh orang Sunda (pada masa Mustapa hidup).
Jumlah yang disebutkan Mustapa 105 ayat, sebetulnya perhitungan dari ayat-ayat yang utuh saja. Menurut perhitungan Ajip Rosidi jumlah sebenarnya adalah 352 ayat dari 56 surat (dihitung seluruh ayat termasuk yang hanya penggalan). Ayat-ayat yang dipilih adalah ayat tentang akidah dan akhlak, tidak berhubungan dengan masalah syariat atau hukum.
Sesuai dengan background mufasir, yaitu seorang Bujangga Sunda, hal tersebut kerap menghiasi gaya penafsirannya. beliau seringkali menggunakan ungkapan tradisional yang berasal dari cerita pantun, sehingga diperlukan penafsiran tertentu untuk memahami kata-kata yang digunakan Mustapa dalam tafsirnya.
Baca Juga: K.H. Choer Affandi: Santri Kelana Pemilik Tafsir Sunda Choer Affandi
Corak penafsirannya cenderung termasuk ke dalam corak tafsir bil ishari atau sufi. Sedangkan metode penyanjiannya menggunakan metode ijmali meski tidak selalu berurutan, karena hanya memilih 105 ayat. Ciri khas dari tafsir sufistik Mustapa adalah aspek lokalitas Sunda yang menghiasi tafsirnya dan kepiawaiannya dalam menggunakan metafor alam kesundaan dan bahasa sastra Sunda.
Beliau seringkali menggunakan nuansa alam sunda dan bahasa sastrawi ketika menjelaskan makna batin ayat. Cerita seperti Babad Demak, Ciung Wanara dan nuansa alam kesundaan digunakannya secara spontan yang dipertemukan dengan tafsir sufistik Al-Qur’an.
Salah satu metafor cantik yang digunakan Mustapa dalam tafsirnya yaitu ketika beliau mengambarkan kasih sayang orang tua ketika menafsirkan surah al-Ahqaf ayat 15. Hasan Mustapa meminjam peribahasa Sunda yang berbunyi: Indung teu muguran bapa teu ngarangrangan (kasih ibu tidak berguguran, kasih ayah tidak pernah kering). Ayat tersebut berbicara mengenai keharusan berbuat baik kepada orangtua karena betapa susahnya seorang ibu ketika mengandung. Mustapa juga secara puitis meminjam bahasa pantun bahasa Sunda untuk menggambarkan nasihat bakti untuk keduanya.
“Nya munjung kudu ka indung, indung nu teu muguran; nya muja kudu ka bapa, bapa nu teu ngarangrangan. Indung nurunkeun wawatek pepek, bapa nurunkeun napsu pangala. Karek pantes boga basa tuang ibu tuang rama. Hartina tuang ibu perwatek jalma, tuang rama perwatek napsu manusa. Duanana tedak ti indung ti bapa, pendekna indung tuang bapa tuang, nu ngahuapkeun putrana”
(Mintalah kepada Ibu (yang kasih sayangnya) tidak pernah berguguran, memintalah pada ayah, kasih sayangnya tidak pernah mengering. Ibu menurunkan watak kecukupan, ayah menurunkan nafsu mencari nafkah. Maka baru pantas memiliki Ibu dan ayah. Artinya ibu menjadi watak manusia, ayah watak nafsu manusia. Keduanya asli keturunan ibu dan ayah. Pendeknya ibu makan, ayah makan dan yang memakannya anaknya).
Hal yang unik lainnya adalah Hasan Mustapa membumbui tafsirnya dengan menyebutkan kebiasaan orang Sunda untuk memperjelas makna ayat Alquran. Seperti ungkapan Lalab yang merupakan tradisi orang Sunda dan tidak ada dalam tradisi Arab. Selain itu, dalam menafsir, Mustapa sering menggunakan ungkapan tradisional seperti sisindiran, pantun, dan lainnya. Demikian sekilas tentang tafsir Sunda, setidaknya kita bisa melihat bagaimana Islam dapat beradaptasi dengan berintegrasi dengan beragam budaya, tanpa kehilangan esensi ajarannya. Wallah a’lam.