“Saya cuma mau tobat, sebelum saya mati. Saya cuma mau menyelamatkan anak-anak biar enggak dibentak-bentak,” Namun saat ditanya oleh wartawan tentang cara menyelamatkan buah hatinya, pelaku menjawab, “Mendingan mati saja. Nggak perlu ngerasain sedih. Harus mati biar nggak sakit.” Demikian melansir kompas.com tentang kasus seorang ibu yang membunuh anak kandungnya.
Kasus tersebut memang tidak sederhana seperti yang terlihat pada hasil wawancara yang telah diberitakan, dugaan sementara tindakan pelaku itu dipicu oleh depresi yang menimpa sang ibu. Hal ini juga sedang didalami oleh psikolog. Meski demikian, dalam salah satu pernyataan sang ibu yang beredar, di situ ada bagian yang menunjukkan pandangan sang ibu tentang hidup. Dalam keadaan depresi, dia menganggap bahwa hidup itu sumber kesedihan, agar tidak sedih dan sengsara maka lebih baik mati. Apakah benar demikian? Tulisan ini tidak untuk menceramahi sang ibu, hanya saja sebagai pengingat bagi kita semua bahwa ada banyak hal menyenangkan yang hanya dapat kita rasakan sebab kita hidup.
Sebagai manusia yang beragama, dasar hidup kita hendaknya disandarkan pada ajaran-ajaran Allah dalam Alquran, salah satunya tentang arti dan nilai kehidupan. Berlandaskan ayat Alquran, para pakar tafsir berpendapat bahwa kehidupan bukan sumber segala kesengsaraan, hidup itu nikmat. Menurut mereka, jangan memandang kehidupan hanya akan berguna saat kita hidup saja, sehingga kita mengukur baik dan buruk kehidupan dari yang lebih banyak kita alami di dunia. Namun pandanglah fungsi kehidupan saat kelak kita mati atau menuju kehidupan berikutnya di akhirat. Berikut penjelasan lengkapnya,
Baca Juga: Tiga Fase Kehidupan Jiwa dalam Perspektif Tafsir al-Razi
Hidup Sebagai Sumber Segala Nikmat
Allah berfirman,
كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْۚ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ٢٨
Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia akan mematikan kamu, Dia akan menghidupkan kamu kembali, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan? (Q.S. Al-Baqarah [2] 28).
Imam Al-Alusi menyatakan, menurut sebagian ahli tafsir, kematian yang pertama yang disinggung di ayat di atas, artinya adalah ketiadaan sebelum kemudian diberi kehidupan. Ini adalah penafsiran yang diriwayatkan dari sahabat Ibn ‘Abbas dan Ibn Mas’ud(Ruhul Ma’ani/1/246).
Tatkala berbicara tentang tafsir dari ayat di atas Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya menyatakan, meski ayat tersebut berupa pertanyaan, tapi sejatinya ayat tersebut merupakan celaan keras dari Allah kepada orang yang mendurhakai-Nya. Hal ini bisa dilihat betapa besar nikmat yang dijadikan bahan pembicaraan, yang tentunya berbanding lurus dengan betapa besar dosa orang yang mengingkari nikmat tersebut.
Lalu seperti apakah besar nikmat yang terkandung di dalam proses dari ketiadaan menuju kehidupan? Imam Ar-Razi menyatakan, kehidupan adalah nikmat yang amat besar sebab kehidupan adalah sumber dari segala nikmat. Manusia yang dahulunya tidak ada, kemudian diberi kehidupan sehingga dapat merasakan berbagai nikmat yang memang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah hidup (Mafatihul Ghaib/1/427).
Dengan kehidupan manusia bisa merasakan nikmat-nikmat duniawi, seperti nikmat makanan, keindahan alam, hubungan sosial antar manusia, kesehatan tubuh, kecerdasan pikiran dan nikmat-nikmat lain. Tanpa kehidupan, apakah manusia dapat merasakan nikmat-nikmat tersebut?
Hidup adalah sumber dari segala nikmat di dunia dan juga di akhirat. Dengan kehidupan, manusia juga berkesempatan merasakan nikmat akhirat dengan dapat melakukan amal baik serta menjauhi amal buruk di dunia, sehingga memperoleh balasan nikmat surga di akhirat kelak (Mafatihul Ghaib/15/395).
Baca Juga: Memetik Replika Kehidupan dari Film Viral Squid Game
Imam Ibn Katsir mengutip sebuah hadis terkait surah Al-Mulk ayat 2, yang diriwayatkan Imam Ibn Abi Hatim dari Imam Qatadah (Tafsir Ibn Katsir/4/508):
« إنَّ اللَّه تعالى أذلَّ بَنِي آدَمَ بالموتِ ، وجَعلَ الدُّنْيَا دَار حياةٍ ثُمَّ دَارَ مَوْتٍ ، وجَعَل الآخِرةَ دَارَ جزاءٍ ، ثُمَّ دَارَ بَقَاءٍ »
Sesungguhnya Allah ta’ala membuat hina anak adam dengan kematian (ketiadaan). Dan Ia menjadikan dunia sebagai tempat kehidupan, kemudian tempat kematian. Dan ia menjadikan akhirat sebagai tempat pembalasan, kemudian tempat yang kekal (HR. Ibn Abi Hatim).
Hadis di atas menunjukkan kepada kita tentang cara Allah mengangkat manusia dari keadaan hina lewat kesempatan untuk hidup. Diberikan kehidupan adalah kesempatan untuk membuat diri memperoleh derajat mulia. Kemuliaan ini dapat kita peroleh tidak di dunia semata, tapi juga di akhirat. Oleh karena itu, kita harus bisa memanfaatkan kehidupan agar bisa memperoleh tambahan kebaikan di dunia dan akhirat, dan jangan sampai justru membuat diri semakin hina dengan kehidupan. Wallah a’lam