BerandaTafsir TematikHikmah Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar dalam Surah Al-Fajr

Hikmah Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar dalam Surah Al-Fajr

Surah al-Fajr merupakan satu di antara beberapa surah dalam Alquran yang diawali dengan rangkaian sumpah Allah dengan makhluk-Nya. Di ayat pertama surah tersebut Allah bersumpah dengan waktu fajar, sehingga surah tersebut dinamakan surah Al-Fajr.

Makna “al-Fajr” Menurut Ulama Tafsir

Para mufasir berbeda pendapat terkait makna kata “al-fajr”. Ibnu Katsir mengutip riwayat sahabat Ali, Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, dan as-Suda yang mengatakan, bahwa al-fajr berarti waktu subuh (Tafsir Juz ‘Amma min Tafsir a-Quran al-Adzim, h. 180). Ada ulama yang memahami arti fajar yaitu yang muncul setiap hari sepanjang masa. Ada lagi yang memahaminya dalam arti sepanjang hari, bukan sekadar awal munculnya cahaya matahari. Dan ada pula yang menetapkan fajar hari tertentu (Tafsir Fi Zhilal al-Quran, 12/262).

Sementara dalam Tafsir al-Quran al-Majid al-Nur (h. 458), diterangkan bahwa Allah bersumpah dengan sesuatu untuk menarik perhatian manusia, agar manusia menelusuri dan memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah dengan menggunakan akal pikiran. Karena pada ayat selanjutnya Allah berfirman, “Adakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal.” (Q.S. al-Fajr: 5).

Al-Fajr: Teguran Keras untuk Pembangkang Dakwah Rasul

Menurut Wahbah al-Zuhaili, al-fajr merupakan sumpah yang agung, karena terbitnya matahari di waktu fajar merupakan fenomena yang luar biasa di alam semesta. Matahari bergerak tanpa pernah bergeser dari poros edarnya dan menyinari bumi sehingga dapat menopang kehidupan di bumi. Kepastian terbitnya matahari ketika waktu fajar tiba merupakan ibarat kepastian datangnya azab Allah terhadap orang yang durhaka kepada-Nya (Tafsir al-Munir, 15/599).

Baca juga: Keutamaan Istighfar di Waktu Sahur

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam Q.S. al-Fajr Allah bersumpah dengan waktu fajar salah satu tujuannya ialah untuk menegur orang-orang kafir yang membangkang dakwah Nabi Muhammad. Sebagaimana diketahui bahwa konteks surah ini pada mulanya diturunkan kepada Rasulullah di Makkah yang di antara audiensnya ialah orang-orang kafir Quraisy di kota Makkah.

Allah hendak mengingatkan mereka bahwa jika terus saja menentang risalah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad maka akan datang kepastian azab Allah terhadap mereka, sebagaimana waktu fajar yang hadir menghancurkan dan membelah kegelapan malam.

Munasabah dengan Ayat 6-14: Diazabnya Kaum Terdahulu

Setelah memerintahkan untuk berpikir imajinatif dan filosofis dengan sumpah al-fajr tadi (Q.S. al-Fajr: 5), Allah kemudian memberikan contoh kejadian nyata dengan mengisahkan umat terdahulu yang mendustakan para utusan-Nya supaya orang-orang kafir Quraisy berkaca dengan mereka, bahwa siapapun yang bersikap sombong dan menentang dakwah Rasul akan berakhir dengan kesengsaraan dan kondisi tragis.

Allah berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad? Yaitu penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum pernah dibangun seperti itu di bangsa-bangsa lain. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah. Dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak. Yang berbuat sewenang-wenang dalam bangsa. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam bangsa itu. Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.” (Q.S. al-Fajr: 6-14).

Baca juga: Rekaman Keruntuhan Bangsa-Bangsa dalam Alquran

Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun untuk menjadikan permisalan bagi kaum kafir Quraisy khususnya, dan semua umat pada umumnya, karena kezaliman yang mereka lakukan. Menariknya, mengapa Allah memilih mengisahkan kelompok-kelompok tersebut dalam surah al-Fajr? Ternyata hal itu terdapat kaitannya dengan surah ini bahwa ketiga kaum tersebut diazab Allah pada waktu fajar. Inilah keistimewaan waktu fajar, meskipun Allah bisa saja menghancurkan mereka kapan saja, siang atau malam.

Adapun kaum ‘Ad merupakan bangsa yang memiliki potensi sumber daya manusia yang maju, menjadikan mereka berambisi menjadi bangsa super power dengan peradaban yang kokoh. Imam al-Qurthubi (22/267) menyebutkan bahwa kaum ‘Ad memiliki fisik yang sangat kuat. Dikatakan bahwa tinggi tubuh mereka berkisar antara 300-500 hasta, yang dengan itu mereka memanfaatkan segala potensinya sehingga mereka memiliki kemajuan dalam bidang tata bangunan. Namun, karena kedurhakaannya, mereka dibinasakan dengan angin yang panas dan kencang pada waktu subuh atau fajar, sehingga hancurlah mereka dan hanya meninggalkan pilar-pilar bangunan yang tinggi, sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. al-Fajr: 6-8.

Baca juga: Surah Al-Fajr Ayat 27: Cara Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa

Demikian pula kaum Tsamud yang awalnya memiliki fisik prima dan mampu memecahkan bebatuan di atas lembah, kemudian Allah membumihanguskan mereka. Di hari keempat terbitnya fajar sebagaimana yang dijanjikan, Allah mengirimkan petir halilintar yang menyambar dari langit dan digoyang gempa dari bawah sehingga mayat-mayat jatuh bergelimpangan (Q.S. Hud 67-68).

Sementara Fir‘aun dan pasukannya ditenggelamkan di laut saat mengejar Nabi Musa dan pengikutnya. Ketika mereka menemukan Nabi Musa dan Bani Israil pada waktu matahari akan terbit di tepi pantai (laut Merah-laut Suez), Allah kemudian memerintahkan Nabi Musa untuk memukul dan membelah laut itu dengan tongkatnya, kemudian angin diperintahkan bertiup dan tanah laut itu menjadi kering dan Bani Israil melintasi laut itu. Ketika Fir’aun dan bala tentaranya ikut melintasi laut tersebut, Allah memerintahkan laut untuk menelan mereka, sehingga Fir’aun dan pasukannya mati ditelan air laut dan tidak ada yang selamat satu pun dari mereka (Tafsir al-Munir, 246-247). Wallahu a’lam. []

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...